Sandiaga Uno Diperiksa KPK
Jakarta: Hari ini, Jumat (14/7) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memeriksa Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Sandiaga Uno sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pembangunan RS Pendidikan Udayana Tahun Anggaran 2009-2011.
"Memenuhi panggilan dari KPK mengenai posisi saya mantan komisaris PT Nusa Konstruksi Enjiniring. Saya sudah memberikan konfirmasi sekitar bulan Mei, namun ada panggilan lagi, sebagai warga negara yang baik tentunya patuh hukum," kata Sandiaga saat tiba di gedung KPK, Jakarta.
Dalam pemeriksaannya kali ini, Sandiaga menyatakan akan memberikan keterangan secara "full" dan kooperatif kepada KPK.
Ia pun menyatakan saat ini dirinya masih berkoordinasi dengan komisaris dan direksi PT Nusa Konstruksi Enjiniring yang dulu bernama PT Duta Graha Indah (DGI) itu.
"Untuk itu izin saya masuk dulu jangan suudzon, ini langkah-langkah politik atau apa kita dukung langkah KPK untuk betul-betul membersihkan praktek-praktek korupsi di pemerintahan maupun di dunia usaha di Indonesia. Setelah pemeriksaan, saya akan memberikan keterangan lengkap," ucap Sandiaga.
Sebelumnya, KPK telah melimpahkan dari proses penyidikan ke penuntutan terhadap Dirut PT Duta Graha Indah (DGI) Dudung Purwadi, tersangka tindak pidana korupsi pembangunan RS Pendidikan Udayana Tahun Anggaran 2009-2011.
"Untuk tersangka Dudung Purwadi (DPW), hari ini dilakukan pelimpahan tahap kedua. Jadi pelimpahan dari proses penyidikan ke penuntutan dan direncanakan persidangan akan dilakukan di jakarta, ini terkait kasus RS Udayana," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin (3/7).
Febri menyatakan KPK akan menginformasikan lebih lanjut terkait kapan proses selanjutnya terkait pelimpahan berkas penuntut umum ke pengadilan.
"Jadi proses saat ini, tersangka dan berkas semuanya sudah dilimpahkan ke penuntutan," ucap Febri.
Sebelumnya, dalam penyidikan kasus tersebut, KPK telah memanggol Sandiaga Uno sebagai saksi pada Selasa (23/5) lalu.
Terkait apakah ada peran dari Sandiaga yang nantinya akan dipaparkan dalam surat dakwaan Dudung Purwadi, Febri belum bisa menjawabnya secara rinci.
"Nanti kita lihat dalam surat dakwaan, dakwaan itu tentu akan menguraikan indikasi korupsi atau perbuatan-perbuatan yang diduga dilakukan bersama-sama pihak lain. Kaitannya dengan pihak lain itu siapa saja, apakah orang per orang atau korporasi nanti kita akan lihat lebih lanjut," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Sandiaga Uno diperiksa sebagai mantan komisaris PT Duta Graha Indah dalam dua kasus yang disidik KPK.
"Kasus-kasus ini dulu berawal dari OTT (operasi tangkap tangan) di Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Kemudian berkembang ke Nazaruddin dan proyek-proyek yang terkait Group Permai. DGI (Duta Graha Indah) termasuk perusahaan yang saat itu menangani beberapa proyek," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (23/5).
Sandiaga menjalani pemeriksaan dalam dua kasus yaitu pertama kasus dugaan tindak pidana korupsi RS Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana tahun anggaran 2009-2011 dan kasus dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan Wisma Atlet dan Gedung Serba Guna pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tahun anggaran 2010-2011.
Tersangka dalam dua kasus itu adalah mantan Direktur Utama PT DGI Dudung Purwadi.
"Sandiaga saat itu berada dalam posisi sebagai komisaris," tambah Febri.
Dalam putusan Manager Marketing PT Duta Graha Indah Tbk Muhammad El Idris disebutkan bahwa PT DGI memberikan uang sebesar Rp4,34 miliar kepada Nazaruddin agar PT DGI menjadi pemenang dalam pengadaan proyek pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Sumatera Selatan.
Dudung Purwadi disangkakan pasal pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dudung sudah ditahan pada 6 Maret 2017.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. (ant)