Sandal Jepit dan Kaos Oblong Pak Presiden
Para pegiat media sosial dalam beberapa hari terakhir dihebohkan penampilan Presiden Jokowi ketika meresmikan Kereta Api Bandara, Selasa (2/1/18). Jokowi tampil beda dengan para menteri dan undangan terhormat lainnya.
Presiden mengenakan kaos tangan panjang tanpa kerah warna marun, sementara undangan lainnya rapi jali, berbatik ria.
Tampilan Jokowi yang casual benar-benar catchy. Dalam bahasa gaul anak zaman now, "gue bingitsss." Penampilan Jokowi mengingatkan mereka kepada pendiri Facebook Mark Zuckerberg yang selalu mengenakan pakaian kebesarannya berupa kaos oblong, atau pendiri Apple Steve Jobs yang selalu mengenakan celana jeans, kaos tangan panjang warna hitam dengan kerah tinggi (turtle neck). Muda, sukses, dan gaul abisss…
Selain kaos, Jokowi melengkapi penampilannya dengan sepatu kets warna merah. Jokowi benar-benar terlihat siap ke lapangan, sementara para menteri dan undangan, termasuk Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar nampak seperti para priyayi yang mau kondangan. Saltum, alias salah kostum.
Beberapa hari sebelumnya Jokowi juga bikin heboh ketika akun facebook-nya mengunggah fotonya bersama Kaesang Pangarep –anak bungsunya-- sedang memancing di Raja Ampat, Papua.
Netizen dihebohkan dengan tampilan Jokowi yang mengenakan jaket merah dengan sandal jepit. Netizen sibuk memperbincangkan harga sandal jepitnya yang diduga merek swallow seharga Rp 20.000,-
Bukan hanya kali ini saja Jokowi tampil apa adanya dan “sederhana.” Sejak awal citra sederhana itu sangat kuat melekat (dilekatkan?) kepada Jokowi.
Dia sering tampil menggunakan pakaian kebesarannya berupa kemeja putih tangan panjang, lengan digulung dan celana kain berwarna hitam. Ketika mengumumkan kabinet kerja yang dipimpinnya, Jokowi juga menggunakan kemeja putih, celana hitam. Demikian pula halnya para menterinya.
Dalam pelantikan kabinet kerja, penampilan Jokowi dan para menteri sedikit “naik kelas.” Mereka mengenakan batik, bukan pakaian sipil lengkap (jas, berdasi) seperti kebiasan yang dilakukan oleh para presiden sebelumnya. Presiden sekelas Gus Dur yang terkenal sangat informalpun, menggunakan pakaian sipil lengkap ketika melantik kabinetnya.
Seperti biasa gaya Jokowi ini mengundang pro kontra. Para pendukung Jokowi langsung ramai-ramai menyampaikan pujian dan sanjungannya. Sementara para penentangnya menganggap apa yang dilakukan Jokowi tak lebih sekedar pencitraan.
Para pendukungnya menonjolkan betapa sederhananya seorang Jokowi yang mau menggunakan sandal jepit seharga Rp 20.000,-. Sementara para penentangnya membandingkan sewa yacht yang dipakainya seharga Rp 20 juta/hari. “Sederhana dari Hongkong?”
Empan papan dan dress code
Dalam alam demokrasi apapun yang dilakukan, termasuk apa yang dikenakan seorang pejabat negara menjadi sorotan dan perdebatan, sangatlah wajar. Apalagi menyangkut seorang presiden.
Ketika baru dilantik sebagai Wagub DKI, Sandiaga Uno sempat mengundang kritik dan sorotan karena kebiasaannya mengenakan celana tanpa ikat pinggang (beltless pants) dan sepatu kets. Sandi dianggap melanggar Pergub. Bila seorang Wagub ditolerir melakukan pelanggaran, bagaimana dengan para staf dan karyawan. Berlaku pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Sebagai seorang pejabat tertinggi di sebuah negara, seorang presiden terikat berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk apa yang dia kenakan. Tidak boleh seenaknya. Untuk soal busana diatur dalam UU No 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan dan Keppres No 18 Tahun 1972.
Dalam UU Keprotokolan Pasal 23 (2) disebutkan dalam acara kenegaraan digunakan pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran, atau pakaian nasional yang berlaku sesuai dengan jabatannya, atau kedudukannya dalam masyarakat.
Dalam Keppres No 18 Tahun 1978 disebutkan, pakaian sipil lengkap dipakai pada upacara-upacara resmi kenegaraan, atau berpergian resmi ke luar negeri.
Mancing di Raja Ampat jelas merupakan acara pribadi. Jadi tidak perlu diatur-atur. Terserah presiden dan keluarganya mau pakai apa. Lagi pula kalau pakai sepatu resmi juga jadi tidak pas.
Di kalangan orang Jawa seperti Presiden Jokowi berlaku pepatah “empan papan.” Segala sesuatu yang dikenakan harus sesuai dengan tempat dan sesuai dengan posisi dan kedudukan orang tersebut.
Dalam konsep budaya Jawa cara berpakaian tidak boleh sembarangan. Apalagi untuk acara-acara yang bersifat seremoni dan resmi.
Ketika menikahkan putri semata wayangnya Kahiyang Ayu, setidaknya ada empat pakaian adat yang dikenakan pasangan pengantin, Jokowi dan keluarganya.
Saat prosesi siraman (memandikan mempelai) Jokowi dan keluarga mengenakan seragam lengkap dengan beskap dan kebaya berwarna oranye. Pada malam midodareni mereka berganti dengan pakaian adat berwarna hijau tua.
Pada momen akad nikah Jokowi dan keluarga mengenakan beskap warna hitam dan dalaman warna putih. Warna yang sama dipakai pada saat resepsi, hanya saja seragam pengantin berubah mengenakan pakaian adat basahan Surakarta.
Mengapa soal pakaian saja begitu ribet dan ada tata aturan yang baku? Dalam budaya Jawa unggah-ungguh (sopan santun), tata krama sangat diutamakan. Tidak boleh sembarangan dalam berbusana dan berbicara.
Dalam bahasa Jawa dikenal sebuah ujaran “Aji ning rogo, gumantung soko busono. Aji ning ati, gumantung soko lathi.”
Secara bebas kira-kira bisa kita artikan, kekuatan kita, atau siapa diri kita akan dihargai sesuai dengan pakaian yang kita kenakan. Demikian pula kekuatan, kebaikan hati kita dinilai dari apa yang diucapkan.
Dalam tradisi barat dikenal istilah dress to success. Sebuah panduan untuk para profesional dan politisi agar sukses meniti karir.
Kalau Presiden Jokowi dan keluarga sampai harus berganti pakaian sebanyak empat kali dan terkesan ribet, maka itu adalah sebuah bentuk kesadaran dan penghormatan mereka untuk menjaga budaya warisan para leluhur (nguri-uri kabudayan Jawi).
Sesantai dan sesederhana apapun gaya hidup keluarga Jokowi, untuk acara-acara resmi, mereka tidak berani melanggar, karena takut dianggap tidak tahu unggah-ungguh-,dan tidak empan papan.
Coba buka-buka kembali album rangkaian prosesi pernikahan putri Jokowi. Semua tamu yang hadir menyesuaikan diri. Tidak ada yang mengenakan pakaian santai, atau kaos dan sepatu kets. Tidak ada yang berani menjadi “burung gagak, di tengah burung merak.”
Bagaimana dengan peresmian KA Bandara apakah itu termasuk acara resmi kenegaraan atau bukan?
Melihat pakaian yang dikenakan para menteri dan undangan, nampaknya kegiatan tersebut adalah acara resmi . Karena itu mereka berbatik ria.
Biasanya dalam acara resmi seperti itu, undangan yang disampaikan protokol istana disertai panduan pakaian yang harus dikenakan (dress code). Jangan sampai para undangan salah menggunakan pakaian dan tidak sesuai dengan sifat acara tersebut (saltum).
Untuk kalangan korps diplomatik perwakilan negara asing, kesalahan mengenakan busana bisa menimbulkan implikasi yang sensitif.
Mengapa presiden menggunakan dress code yang “salah?” Setidaknya ada dua penjelasan yang bisa disampaikan.
Pertama, Presiden Jokowi adalah pribadi yang informal dan senang dengan “kesederhanaan.” Dia mencoba mendobrak tradisi, bahkan mendekonstruksi kesakralan lembaga kepresidenan. Jika memang begitu maksudnya, tentu saja perlu disampaikan kepada para undangan yang lain. Dengan begitu mereka bisa menyesuaikan diri dengan pakaian yang dikenakan oleh Presiden.
Jangan hanya presidennya saja yang terkesan sederhana. Para pejabat tinggi lainnya juga harus ikut meneladani.
Bagaimanapun citra para menteri dan pejabat pemerintahan adalah cermin dari seorang presiden yang memimpinnya.
Sangat menyenangkan bila melihat berbagai upacara resmi kenegaraan, presiden dan para undangan mengenakan pakaian santai model kaos yang dikenakan Jokowi. Selain terkesan santai dan siap kerja, mereka juga bisa menyampaikan pesan, bahwa para pejabat sedang prihatin dengan kondisi perekonomian yang sedang kurang baik.
Kedua, yang ini rada lebih serius, berkaitan dengan pencitraan (permanent campaign) yang disarankan oleh konsultan Jokowi. Dengan mengenakan sandal jepit, kaos “oblong” citra Jokowi yang sederhana akan semakin kuat. Itulah diferensiasi (kekuatan pembeda) Jokowi dibandingkan dengan para kompetitornya. Formula itu terbukti sangat manjur dan ampuh dalam Pilpres 2014.
Bila benar itu yang dimaksudkan oleh Jokowi dan konsultannya, tentu tidak ada salahnya bila disesuaikan dengan jenis kegiatan presiden. Toh sebagai seorang kepala negara, apapun kegiatan presiden akan selalu menjadi perhatian media (medsos). Tidak perlu khawatir pesan dan kesan sederhana yang ingin dibangun, tidak tersampaikan dan ditangkap oleh publik.
Masalahnya apakah brand “sederhana” itu masih tepat digunakan seperti halnya pada Pilpres 2014? Waktu yang akan membuktikan. Namun melihat hasil survei SMRC terbaru bahwa elektabilitas Jokowi stagnan di kisaran angka 38 persen, brand “sederhana” kelihatannya tidak lagi cukup kuat mendongkrak citra dan elektabilitas Jokowi.
Publik butuh brand dan kemasan yang lain. Masih ada waktu untuk membenahi. Belanda masih (rada) jauh……………….end
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik