Sampean Percaya Nabi atau Kiai?
Di zaman kini, banyak orang melakukan perbandingan namun tidak menunjukkan logika berpikir yang tepat. Beberapa waktu lalu, ada pertanyaan: siapa paling berjasa dalam negara Indonesia, Nabi Muhammad atau Bung Karno?
Perbandingan semacam ini, ternyata pada lapisan masyarakat kita masih terjadi, khususnya dalam kaitan pelaksanaan keberagamaan.
Ulasan Ust Shuniyya Ruhama, cukup menggugah pemikiran dan kesadaran kita dalam memahami Islam di tengah masyarakat. Berikut pandangan Pengajar Ponpes Tahfidzul Quran Al Istiqomah Weleri - Kendal:
"Sampean Percaya Nabi atau Kiai?" Kalimat di atas kerap sekali terdengar, menghenyakkan kita semua. Mempertanyakan kapasitas muktabaroh Ulama (pengakuan ulama, red), dan membandingkan dengan Kanjeng Nabi yang memang jelas tidak berbanding sama sekali. Jika tidak faham, maka akan jelas sekali seolah-olah banyak perkara yang dilakukan oleh Kiai bertentangan dengan Kanjeng Nabi.
Kiai itu tidak berpendapat melalui hayalan beliau sendiri, melainkan berdasarkan ajaran dari kiainya juga. Demikian seterusnya hingga sanad bersambung kepada Kanjeng Nabi. Jadi tidaklah benar bahwa Kiai itu menyelisihi Kanjeng Nabi.
Ibaratnya, saat Kanjeng Nabi memerintahkan kita untuk “ngliwet sego”. Maka yang dilakukan kiai bukan ‘sego diliwet’, melainkan akan ‘mususi’ beras, ‘dikaru’. Setelah setengah matang, ‘beras karon’ ini ditanak dalam dandang. Inilah yang disebut ngliwet sego.
Sementara, mereka yang tidak punya guru yang jelas sanadnya, begitu ada perintah Kanjeng Nabi untuk ‘ngliwet sego’, maka yang mereka lakukan adalah mencari nasi untuk diliwet. Karena dalam khayalannya yang namanya ‘ngilwet sego’ berarti harus ada ‘sego’ kemudian ‘diliwet’.
Tidak sampai di situ, mereka memprovokasi, mencaci maki dan mentertawakan serta menganggap kita bodoh, salah, menyelisihi Al-Quran dan Hadits karena diperintahkan ‘ngliwet sego’, tapi malah kita ‘mususi beras’ dst.
Itulah gambaran bagi wong NU yang belajar dari kiai dalam memahami Al-Quran dan Al-Hadits, jika dibandingkan dengan mereka yang over percaya diri “memurnikan” Quran Hadits dan langsung mengambil hukum dari sumbernya, tanpa menggunakan ilmu alat.
Lalu, mereka akan mempertanyakan kepada kita, “Anda percaya dengan Nabi atau Kiai?”, seakan-akan kiai kita itu salah dan tersesat dalam memahami nash suci. Bagi masyarakat awam, hal ini tentu akan bisa menjerumuskan mereka untuk tidak percaya lagi dengan para ulama Muktabaroh An-Nahdliyyah.
Maka kita saksikan akhirnya, mereka beribadah, berijtihad dan mengambil hukum tidak jelas jluntrungnya karena memang tidak pernah dilakukan oleh generasi-generasi Ulama terdahulu..
Demikian wallahu a'lam.