Sambut Tahun Politik, Ini 7 Pesan Penting Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan tujuh pesan agar proses politik di Indonesia jauh dari kekerasan, menjelang Pemilu 2019. Hal itu diungkapkan terkait fenomena kekerasan di sejumlah daerah, khususnya dalam kaitan hak publik untuk menyampaikan pendapat.
Pertama, siapapun dengan dalih apapun dan kepada siapapun tidak dibenarkan melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik. Kekerasan dalam bentuk apapun bertentangan dengan agama, Pancasila, kebudayaan luhur bangsa, serta hukum dan tertib sosial yang dijunjunjung tinggi di Indonesia.
“Tidak ada ruang toleransi untuk tindakan kekerasan, baik sebagai bentuk aksi maupun reaksi. Sekali kekerasan dibiarkan dan dibenarkan maka akan menjadi kebiasaan dan budaya kekerasan, yang akhirnya sulit untuk dihentikan. Kekerasan bankan akan mengundang dan melahirkan kekerasan berantai,” ucap Haedar, dikutip ngopibareng.id, Sabtu 1 September 2018.
Kedua, perorangan maupun kelompok masyarakat bahkan aparat tidak dibenarkan melakukan tindakan kekerasan terhadap siapapun, atasnama apapun, dan bertujuan apapun. Tidak dibenarkan dan tidak boleh ditoleransi ada kelompok masyarakat yang melakukan kekerasan sekecil apapun dengan dalih agama maupun dengan mengklaim diri sebagai penjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945, Kebhinekaan maupun atasnama lainnya.
“Kekerasan tetaplah kekerasan yang sifatnya buruk dan berdampak buruk bagi kehidupan. Tidak ada satu orang atau kelompok masyarakat di negeri ini yang diberi hak untuk melakukan kekerasan,” tegas Haedar.
“Hidup bersosial melalui relasi media sosial maupun langsung tetap memerlukan keadaban dan nilai-nilai luhur kehidupan. Pesta politik lima tahunan jangan merusak relasi sosial kebangsaan yang selama ini terjalin dengan baik dan harmoni,” kata Haedar Nashir.
Ketiga, pihak kepolisian dan aparat keamanan di seluruh tingkatan hendaknya bersikap dan bertindak tegas dalam menegakkan keamanan dan ketertiban, serta dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap siapapun atau pihak yang melakukan anarki dan kekerasan.
Tegakkan hukum dan peraturan dengan tegas, adil, dan objektif kepada siapapun yang berbuat anarki dan kekerasan tanpa memberi toleransi dalam bentuk apapun.
“Sekali kekerasan dibiarkan atau ditoleransi maka akan melahirkan atau memperluas kekerasan serupa atau lainnya yang merugikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” imbuh Haedar.
Keempat, lembaga-lembaga negara atau pemerintahan, aparatur pemerintahan, aparat keamanan, partai politik, Komisi Penyelenggaraan Pemilu, Badan Pengawas Pemilu, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan semua pihak hendaknya menjalankan tugas dan kewajiban konstitusional yang sebaik-baiknya. Yakni, dalam mengawal proses politik Pemilu 2019 agar berlangsung jujur, adil, demokratis, dan berkeadaban.
Jalin kerjasama semua pihak dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam mencegah peluang dan tindakan kekersan di masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan politik maupun yang lainnya.
Kelima, hendaknya pemerintah, aparat kepolisian dan keamanan, serta penyelanggara dan pengawas Pemilu hendaknya benar-benar netral dan objektif dalam mengawal penyelenggaraan proses politik lima tahunan di negeri ini. Kecenderungan partisan atau pemihakan baik terbuka maupun terselubung akan menghilangkan wibawa dan otoritas dalam menegakkan hukum dan tatanan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam mencegah dan menindak kekerasan yang terjadi di masyarakat.
“Sekali aparatur pemerintahan dan aparat kemanan memihak atau partisan maka akan mengundang reaksi balik yang negatif dari pihak-pihak yang merasa dirugikan, yang berpeluang terjadinya benturan atau konflik politik yang keras,” tutur Haedar.
Keenam, media sosial dan media massa semestinya dijadikan wahana partisipasi politik dan peran kebangsaan yang cerdas, demokratis, dan berkeadaban mulia menuju Pemilu dan perikehidupan keindonesiaan yang damai dan berkemajuan. Media sosial maupun media massa tidak dijadikan arena radikalisme politik dan segala bentuk kekerasan baik dalam bentuk aksi maupun reaksi.
Para pengguna media sosial dan media massa mesti seksama dan bertanggungjawab jangan sampai memproduksi pesan-pesan dan ujaran-ujaran yang serbakeras, menghasut, serta menebar kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa hanya karena perbedaan politik.
“Hidup bersosial melalui relasi media sosial maupun langsung tetap memerlukan keadaban dan nilai-nilai luhur kehidupan. Pesta politik lima tahunan jangan merusak relasi sosial kebangsaan yang selama ini terjalin dengan baik dan harmoni,” jelas Haedar.
Ketujuh, kepada segenap organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan bersama para tokoh agama dan tokoh masyarakat di dalamnya dituntut peran luhurnya secara bersama-sama untuk mengawal proses politik Pemilu 2019 agar damai, aman, demokratis, dan berkeadaban utama. Bersama-sama dapat mencegah segala bentuk kekerasan dan anarki yang membuat bangsa ini terpecah dan hilang kebersamaan.
Alangkah mulia peran para elite nasional dan daerah dapat menjaga kontestasi politik berlangsung rukun dan gembira dalam perbedaan pilihan politik melalui keteladanan dan bimbingan moral yang luhur serta tidak terjebak pada sikap partisan. Keteladan para tokoh wibawa sangatlah penting dan berpengaruh terhadap umat atau masyarakat Indonesia yang bercorak patrimonial. Karenanya para tokoh umat atau masyarakat secara positif penting memproduksi pesan-pesan yang menenteramkan, menyejukkan, mendewasakan, dan mendamaikan.
“Sebaliknya tidak menebar pesan-pesan yang memanaskan, perseteruan, kekerasan, dan permusuhan yang merugikan hajat hidup bangsa dan negara serta kemanusiaan universal. Tunjukkan dan buktikan semuanya menyebarkan pesan-pesan kerahmatan bagi semesta sehingga Allah SWT menurunkan berkahnya bagi bangsa dan negara Indonesia,” pungkas Haedar. (adi)