Sambut Pemilu 2024, Jurnalis Diminta Pegang Erat Kode Etik
Menyongsong tahun pemilu pada 2024 mendatang, Kominfo dan GreatEdu bersama sejumlah jurnalis Kota Surabaya mengadakan diskusi mengenai "Tantangan Etika Jurnalistik dan Etika Digital di Tahun Pemilu" pada Kamis, 29 September 2022.
Dalam diskusi ini menghadirkan tiga narasumber yang membedah tantangan jurnalistik ke depan, terutama saat tahun pemilu. Mereka adalah Lukman Rozaq Ketua Ikatan Jurnalis TV Indonesia (IJTI) Surabaya, Arif Afandi CEO Ngopibareng.id, dan Moh Soleh Kepala Pengembangan Riset dan Kerja Sama LBH Surabaya.
Dalam paparan Lukman Rozak, saat tahun politik berlangsung selalu ada fenomena munculnya media tidak jelas, berita hoaks dan fake news. Menurutnya, hal ini terjadi lantaran perkembangan era informasi yang sangat cepat, terutama informasi pada media sosial.
"Masalahnya perkembangan ini tidak diimbangi dengan SDM yang mumpuni, ini yang harus diperbaiki. Kalau mau produk jurnalistik yang bagus yang diperbaiki terlebih dahulu yang jurnalisnya. Jurnalis yang bagus akan menghasilkan informasi yang bagus juga. Begitu pula sebaliknya," terangnya ditemui di salah satu kafe di Surabaya, Kamis 29 September 2022.
Ia pun mewanti-wanti pada teman sejawatnya (sesama jurnalis) untuk tetap berpegang pada kode etik jurnalistik, agar tidak dimanfaatkan oleh satu pihak. Lukman menegaskan, saat pemilu tugas jurnalis hanya meliput bukan untuk memenangkan salah satu kandidat.
"Etika peliputan saat pemilu antara lain, tetap menjaga kredibilitas sebagai seorang jurnalis, independen, netral, tidak berpihak, pemberitaan yang akurat serta berimbang," jelasnya.
Sementara jurnalis yang juga merupakan CEO media online Ngopibareng.id Arif Afandi mengungkapkan, reformasi digital yang terjadi menjadi tantangan tersendiri bagi seorang jurnalis dalam menyajikan suatu berita.
Menurutnya, reformasi digital ini melahirkan dua sisi, baik dan buruk. Sisi baiknya kehidupan lebih mudah dan cepat, kehidupan juga semakin berwarna dengan adanya media sosial.
"Orang introvert jadi extrovert dan bisa mengungkapkan emosi itu karena reformasi digital. Di sisi lain arus informasi juga semakin cepat, sehingga terkadang orang tidak bisa membedakan mana yang benar-benar informasi mana yang hoaks," kata Arif Afandi ditemui di tempat yang sama.
Karena kebenaran informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ini, lanjut eks Wakil Walikota Surabaya itu, saat tahun politik banyak masyarakat yang sudah terpolarisasi.
"Polarisasi politik saat ini merupakan salah satu dari sisi suram reformasi digital. Akses penyebaran informasi semakin gampang, setiap orang bisa menyebarkan informasi dan bisa juga informasi tersebut menjadi disinformasi. Kalau orang terus dijejali hal tersebut, mereka bisa bersikap lain," ungkapnya menjelaskan.
Guna meminimalisir hal tersebut, Arif Afandi berkeyakinan seorang jurnalis harus tetap terikat pada kode etik jurnalistik. Sehingga tidak sembarangan dalam menyampaikan informasi melalui pemberitaan.
"Ada tiga hal yang bisa dilakukan jurnalis untuk tetap bertahan dalam era reformasi digital ini. Pertama harus selalu menggunakan akal sehat. Harus menjadi verifikator dari pemberitaan media sosial yang ada bukan hanya distributor, ketiga menjadi lembaga yang faktual, baik fakta sosial di lapangan maupun fakta psikologis," tandasnya.