Sambo, Eliezer, dan Rasa Keadilan
Pengantar Redaksi
Ekspresi para pendukung Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E pecah setelah hakim membacakan vonis 1 tahun 6 bulan kepada Eliezer. Hal itu terungkap dalam sidang kasus pembunuhan yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 15 Februari 2023.
Hal itu terkait dengan proses pengadilan Ferdy Sambo. Dalam vonisnya, hakim menilai bahwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa. Hakim berpandangan, pembunuhan Yosua bukan karena korban membuat Putri sakit hati.
“Motif kekerasan seksual yang dikakukan korban Nofriansyah Yosua Hutabarat kepada Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum, sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap Nofriansyah Yosua Hutabarat yang menimbulkan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso saat membacakan vonis kepada Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 13 Februari 2022.
“Di mana perbuatan atau sikap tersebut yang menimbulkan sakit hati yang mendalam kepada Putri Candrawathi. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas majelis hakim tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah melakukan pelecehan seksual, atau perkosaan atau perbuatan lebih dari itu kepada Putri Candrawathi sehingga untuk alasan tersebut patut dikesampingkan,” lanjutnya.
"Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya,” ujar Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu, pidana mati," kata dia melanjutkan.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut agar Ferdy Sambo dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Dalam kasus ini, eks Kadiv Propam Polri itu menjadi terdakwa bersama istrinya, Putri Candrawathi, serta dua ajudannya, yaitu Richard Eliezer atau Bharada E dan Ricky Rizal atau Bripka RR.
Selain itu, seorang asisten rumah tangga (ART) sekaligus sopir keluarga Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf, juga turut menjadi terdakwa dalam kasus ini. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J yang direncanakan terlebih dahulu.
Ferdy Sambo, eks anggota Polri dengan pangkat terakhir jenderal bintang dua itu dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Ferdy Sambo juga terbukti terlibat obstruction of justice atau perintangan penyidikan terkait pengusutan kasus kematian Brigadir J. Ia terbukti melanggar Pasal 49 UU ITE jo Pasal 55 KUHP.
Guna memahami hal itu, berikut pandangan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD:
VONIS pidana mati terhadap Ferdy Sambo bisa berkurang apabila mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri itu belum dieksekusi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah berlaku. Aturan tentang hukuman mati diatur dalam Pasal 100 KUHP baru yang isinya, apabila terpidana menunjukkan sikap terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan putusan presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
Itu bisa terjadi setelah terpidana menjalani masa percobaan 10 tahun. Adapun KUHP baru itu berlaku pada 2026. Ya bisa (berkurang) kalau belum dieksekusi, kalau belum dieksekusi sebelum tiga tahun. Nanti sesudah 10 tahun, kalau berkelakuan baik, bisa menjadi seumur hidup, itu dalam UU yang baru.
KUHP baru berlaku bagi terdakwa atau terpidana jika kasus belum inkracht (berkekuatan hukum tetap). Jika seseorang dalam proses hukum lalu terjadi perubahan peraturan UU, maka diberlakukan yang lebih ringan kepada terdakwa. Jadi dia (Sambo) mungkin akan menerima (keringanan), kecuali mau diperdebatkan.
Tapi itu tidak penting, menurut saya keadilan rasa publik sudah diberikan oleh hakim yang gagah perkasa dan berani.
Vonis Hukuman Eliezer
Saya gembira dan bersyukur setelah mendengar putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan atau 1,5 tahun pidana penjara terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.
Saya menyaksikan sidang vonis Eliezer yang digelar PN Jaksel pada hari ini dari ruang kerjanya di Kemenko Polhukam. Alhamdulillah saya tidak tahu mengapa hati saya bergembira dan bersyukur setelah membaca vonis hakim atas Eliezer ini.
Majelis hakim PN Jaksel memiliki keberanian dalam menjatuhkan vonis terhadap Eliezer atas perkara dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Hakim, objektif membaca seluruh fakta persidangan dan dibacakan semua. Yang mendukung Eliezer yang memojokkan Eliezer semua dibaca. Suara-suara masyarakat didengarkan, rongrongan-rongrongan yang mungkin ada untuk membuat putusan tertentu tidak berpengaruh kepada hakim.
Hal ini yang membuat putusan hakim menjadi logis dan berkemanusiaan. Majelis hakim, katanya, mendengar denyut-denyut kehidupan masyarakat dan progresif.
Para hakim ini adalah hakim-hakim yang bagus di antara banyak hakim yang memang juga bagus kalau tidak menangani kasus-kasus yang biasanya penuh tekanan menjadi tidak bagus.
Majelis hakim PN Jaksel yang menangani perkara Eliezer tidak terpengaruh oleh public opinion, tetapi memperhatikan public common sense. Untuk itu, konstruksi putusannya sangat bagus, ilmiah. Tidak jadul.
Banyak memang hakim yang sampai hari ini kalau menulis putusan pakai bahasa-bahasa Belanda, strukturnya pakai Belanda. Kali ini tidak. Modern, bisa dipahami dan sulit untuk dibantah perspektif yang digunakan. Narasinya modern juga.
Untuk itu, saya bersyukur atas putusan hakim terhadap Eliezer. Tanpa bermaksud mengintervensi kewenangan pengadilan, saya mengapresiasi putusan tersebut.
Saya tidak ingin mempengaruhi karena ini pengadilan, apakah Eliezer dan lain-lain mau naik banding atau apa, tetapi saya melihat putusan hakim ini hebat. Saya bersama masyarakat tentu saja yang selama ini ingin menyuarakan kebenaran tentang kasus ini berterima kasih kepada hakim, kepada jaksa yang sungguh sangat serius juga sudah bagus. Soal perbedaan angka tuntutan itu soal tafsir saja. Kepada pengacara juga yang telah membela kliennya dengan penuh profesional, tetapi pada akhirnya hakim yang memutuskan. Itulah peradaban atau peradilan yang berkeadaban. Selamat. Alhamdulillah.
Soal vonis Richard Eliezer apakah sepadan atau tidak, menurut saya, vonis satu tahun enam bulan penjara atas kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J sudah sepadan dengan status Eliezer sebagai justice collaborator. Iya, justice collaborator tadi 'kan jadi unsur yang dipertimbangkan.
Meskipun vonis jauh di bawah tuntutan jaksa, hasil kerja jaksa sudah bagus, sebab konstruksi urutan-urutan putusan tetap mengikuti alur yang dibangun oleh jaksa dengan sedikit tambahan dari hakim.
Nah, itu menurut saya bagus dan saya kira kejaksaan juga bagus karena konstruksi urutan-urutan putusan tadi tetap ikut alur yang dibangun oleh jaksa cuma hakim memberi tambahan atau selipan pendapat baru.
Seperti diketahui, jaksa menuntut 12 tahun penjara untuk Eliezer. Kemudian memberi kesimpulan sendiri tidak-apa. Jaksa itu sukses juga berhasil menyusun konstruksi seperti itu, hakim tidak bisa berbuat apa-apa.
Terkait banyak pihak yang mengatakan vonis Richard Eliezer terlalu ringan selaku eksekutor Brigadir J, ya... Tapi, saya bangga kepada hakim yang bisa keluar dari tekanan sorotan masyarakat luas. Saya hanya bangga kepada hakim yang bisa keluar dari tekanan opini publik dan rongrongan dari dalam yang secara diam-diam mungkin mau mempengaruhi begitu saja.
Putusan itu bisa disetujui bisa tidak. Sebab ke depannya masih ada proses selanjutnya. Bahwa itu putusannya bisa setuju bisa tidak terserah saja nantikan ada prosesnya.
*) Pernyataan Mahfud MD, di antaranya diungkap saat dijumpai pers di Nusantara II, Kompleks Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Rabu 15 Februari 2023.