Salman Rusdie, Cermin Konflik Peradaban
Penusukan terhadap Salman Rusdie (Cerminan Konflik Peradaban)
Hadi Marta (HM), warga Libanon dari desa Yaroun, kabupaten Bint Jubeil, Provinsi Nahariya, Libanon, bangkit dari kursi berjalan ke arah Salman Rusdie (SR) yang sedang berceramah di Los Angeles, Amerika Serikat. HM munusukkan pisau ke arah muka SR mengenai leher dan mata. Kemungkinan penulis buku “Ayat Ayat Setan“ (The Satanic Verses), suatu penistaan terhadap kitab suci umat Islam itu, akan mengalami buta sebelah.
Ayatollah Khomeiny pada 1989 mengeluarkan fatwa halal untuk menghabisi SR. Jadi bukan suatu kebetulan pelakunya adalah Hadi Marta, warga Libanon Selatan yang mayoritas penduduknya pengikut Syiah. Tentu saja bukan hanya kaum Syiah saja yang marah, Muslim lainnya juga geram terhadap Salman Rusdie.
Penduduk Bint Jubail pernah berjuang mati-matian menghadapi serangan Israel yang mengerahkan 5000 prajurit yang didukung 1 unit pasukan khusus dan angkatan udara serta sejumlah tank. Bint Jubail dipertahankan oleh 140 pasukan dari garnisun lokal dan 70 pasukan khusus Hizbullah serta 400 milisi Libanon dari sekitar Bint Jubail.
Israel gagal merebut Bint Jubail, faktor utama karena kondisi geografi yang merupakan kawasan perbukitan batu sempit-berliku. Hizbullah membangun pertahanan kokoh di perbukitan batu tersebut. Perang 23 Juli - 9 Agustus 1986 itu dimenangkan secara telak oleh Hizbullah. Kota Jubail kemudian menjadi “simbol kemenangan Hizbullah“ atas Israel.
Konflik Peradadan
Penusukan terhadap Salman Rusdie merupakan cerminan, tajamnya “konflik peradaban” (The Clash Civilization), antara sekularisme Barat versus peradaban Islam (Timur) yang mempertahankan nilai religi. Pada awal kemunculannya pada 1648, kaum sekularisme berhasil memisahkan agama Nasrani dari politik. Vatican yang sebelumnya merupakan induk kerajaan kerajaan Nasrani-Eropa, hilang kekuasaan politiknya dan semata hanya negara simbolik.
Dalam perkembangan khususnya sejak globalisasi awal 80-an, sekularisme berkembang yang meletakkan akal-manusia sebagai dewa peradaban. Sebaliknya mereka mendegradasikan nilai agama dari kehidupan dan menganggap hanya sebagai bagian dari nilai ritual. Kaum sekulerisme semakin menjauhkan agama, sehingga gereja-gereja banyak dijual dan para pengasuh gereja didiskreditkan.
Ekspansi Sekularisme Barat berjalan secara massif di negara negara sedang berkembang dalam bentuk peningkatan strategi liberalisasi politik-ekonomi. Nah didalam strategi tersebut, mendompleng liberalisasi sosial-agama. Wujudnya antara lain isu kawin sejenis, kebebasan seks, isu gender yang ekstrem, aborsi bebas, Kristenfobia, Islamofobia, agnotisme, atheisme dll-nya.
Indonesia termasuk bagian dari ekspansi Sekularisme secara masif seperti kita rasakan sejak 1998. Pintu masuknya melalui Amandemen UUD 1945 khususnya amandemen pasal 28 ayat A sampai ayat I. Pasal tersebut adalah copy paste dari Universal Declaration of Human Rights, ekspresi dari liberalisme Barat.
Kita masih beruntung angauta MPR berhasil memperjuangkan pasal 28 (ayat Y) yang pada intinya negara berhak membatasi HAM seseorang kalau hal itu melanggar HAM orang lain. Dua orang yang gigih itu adalah Lukman Hakim Saifudin (NU) dan Patrialis Akbar (Muhammadiyah).
Persoalannya adalah apakah cara kekerasan seperti dilakukan oleh Hadi Marta itu metode perjuangan yang ideal?. Atau apakah cara tersebut sebaliknya kontra produktif, menorehkan tinta hitam ke muka kaum Muslim yang ajarannya cinta damai. Tentu saja saya mengapresiasi spirit dan niat dari Hadi Marta tersebut, sebagai bentuk eskspresi keimanannya.
Dalam dunia politik terdapat frasa yang patut kita renungkan bersama: politik adalah citra dan citra memerlukan seni agar mendapat respon baik, kalau citra buruk maka hasilnya juga negatif. Ekspansi masif dari ultra - Neo Liberalisme atau ultra Sekularisme harus direspons dengan politik yang rasional. Bukan dijawab dengan melayani kehendak mereka dengan benturan peradaban, tetapi dengan menawarkan dialog antarperadaban.
Seperti anjuran Gus Dur dengan adagium (qawaidul fiqh);“ memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik“. Bukan konfrontatif, tetapi transformatif.
Penyeragaman peradaban seperti dikehendaki Barat adalah suatu hal yang tidak masuk akal, karena melawan kodrat atau nature umat manusia.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik tinggal di Jakarta.
Advertisement