Saling Tantang Rizieq dan Megawati, Kapan Berakhir?
IMAM Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab mengancam melaporkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri ke polisi. Putri Bung Karno tersebut dianggap melecehkan rukun iman umat Islam, terutama tentang hari akhir.
Pangkal persoalannya adalah pidato politik Megawati dalam HUT ke 44 PDIP di JCC, Jakarta, beberapa waktu lalu. Saat itu, Mbak Mega --demikian ia biasa dipanggil-- mencemaskan menguatnya kelompok yang menganut ideologi tertutup. Ideologi yang memonopoli kebenaran dan bahkan bisa meramalkan masa depan setelah kematian.
Meski rencana melaporkan polisi belum dilaksanakan, namun niat Habib Rizieq yang bermarkas di Patamburan Jakarta ini membuat panas para kader PDIP. Melalui Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, partai berlambang kepala banteng moncong putih itu siap meladeni langkah hukum FPI.
Mendapat reaksi keras seperti ini, Habib Rizieq mulai melunak. Saat bertemu dengan Komisi III DPR RI, dia meminta polisi untuk memediasi pertemuan dirinya dengan Megawati. Juga dengan Presiden Jokowi. Untuk apa? Untuk saling berbicara tentang berbagai persoalan bangsa.
Bisakah Habib Rizieq bertemu dengan Megawati? Tampaknya sulit. Selain soal image politik, orang nomor satu di FPI tersebut punya pandangan tentang hubungan antara Islam dan kebangsaan secara berbeda. Di luar gaya politik temperamental Rizieq, pandangan keduanya dalam melihat Islam dalam NKRI tampak berseberangan. Juga tentang Pancasila.
Megawati melihat Pancasila sebagai ideologi final yang mempersatukan bangsa. Pancasila adalah jalan tengah bagi Indonesia yang majemuk. Karena itu, Pancasila seperti diyakini Bung Karno merupakan ideologi terbuka dan bersumber dari nilai-nilai yang telah berkembang di negeri ini.
Apakah dalam pandangan tersebut berarti Islam merupakan ideologi tertutup? Tidak sepenuhnya demikian. Dia lebih mengarahkan telunjuknya kepada pandangan Islam ekslusive. Pandangan yang melihat Islam sebagai sebuah nilai tekstual sesuai Alqur'an dan hadist. Bukan Islam yang membuka ruang atas penafsiran baru terhadap teks.
Dalam pengertian umum, Islam ekslusif adalah paham muslim yang memandang keyakinan, pandangan dan prinsip Islam-lah yang paling benar. Sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut orang lain adalah sesat dan harus dijauhi.
Sedangkan Islam inklusif merupakan paham yang melihat Islam dengan cara terbuka. Juga menyadari adanya keragaman ummat manusia. Islam inklusif bersifat terbuka tidak hanya dalam berdakwah dan hukum. Tapi juga masalah ketauhidan, sosial, tradisi, dan pendidikan. Paham inklusif lebih melihat Islam sebagai jalan mencapai Rahmatan lil 'alamin.
Mayoritas muslim di Indonesia adalah penganut Islam inklusif. Mereka mengakomodasi kemajemukan dan nilai-nilai lokal. Salah satu manifestasi paham Islam inklusif ini adalah munculnya konsep Islam Nusantara seperti yang telah dikampanyekan NU. Para intelektual Muslim Indonesia seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurkholish Madjid (Cak Nur) menyebutnya dengan pribumisasi Islam.
Sejak dulu kedua paham dalam Islam tersebut mempunyai kecenderungan berbeda dalam melihat negara bangsa Indonesia. Paham eksklusif cenderung menekankan penerapan syariah Islam dalam berbangsa dan bernegara. Mereka lebih menekankan formalisme agama.
Sedangkan paham inklusif menekankan kepada nilai-nilai Islam, bukan formalisme agama. Islam lebih dilihat sebagai tata nilai atau akhlak yang mengatur praktik berbangsa dan bernegara. Tidak penting apakah berbentuk negara Islam atau bukan. Mereka cenderung mengakomodasi kemajemukan seperti realitas masyarakat yang ada di Indonesia.
Perilaku politik Rizieq dan FPI lebih mendekati paham ekslusivisme Islam. Mereka melihat kelompok lain sebagai kelompok sesat. Perjuangan politiknya lebih mengarah kepada penerapan syariah Islam.
Bahkan, beberapa kali terlontar semangat untuk mengembalikan UUD 1945 yang asli, sesuai dengan Piagam Jakarta. Yakni penyebutan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.
Megawati dengan PDIP melihat Pancasila sebagaimana yang telah digali oleh Bung Karno. Pancasila seperti yang secara politik diakui Pemerintah Jokowi dengan memutuskan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Pancasila yang menurut Bung Karno bisa diperas menjadi Trisila, yakni Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan.
Pertentangan antara kelompok Islam ekslusif yang formalis dengan kelompok nasionalis dan Islam inklusiv ini merupakan pertentangan lama. Sejak perumusan negara bangsa Indonesia merdeka. Pertentangan itu tidak pernah padam. Yang berbeda hanyalah skalanya saja.
Kalau kemudian pertentangan dua kelompok ini menguat belakangan ini antara lain karena revolusi teknologi informasi. Penggunaan media sosial menjadikan diksursus tentang paham-paham tersebut makin merata dan terbuka. Bahkan, bisa mengarah kepada perang cuitan (twittwar) atau perang opini.
Sampai kapan diskursus ideologi yang bisa membuat gaduh dan menghabiskan energi bangsa Indonesia ini akan berakhir? Tentu saat kita semua berpikir lebih mengedepankan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan kelompok masing-masing.
Juga pada saat negara hadir secara kuat dan mampu menjaga penegakan hukum secara adil serta memberi kemakmuran kepada seluruh Rakyat Indonesia. Ketimpangan dan tidak adanya kepastian penegakan hukum akan memberi ruang suburnya diskursus ideologis tanpa akhir. (Arif Afandi/@arifafandi05)