Saling Merendah, Adab Para Ulama Besar Bertemu
Merendahlah, demikian gambaran suatu ilmu. Karena sebagaimana air, ilmu tak akan pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Dalam kitab al-Kamil fit Tarikh, terdapat cerita tentang seorang ulama besar bernama Syekh Abu Ishaq Asy-Syirazi (393–476 H/1003–1083 M).
Nama lengkap ulama besar mazhab Syafi’i ini adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf bin Abdillah Asy-Syirazi Al-Fayruzabadi.
Kitab Al-Muhazzab karya Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi adalah salah satu kitab rujukan utama dalam mazhab Syafi’i sampai abad ke 6 hijriah.
Al-Muhazzab banyak menjadi bahan kajian ilmiah bagi para ulama, sehingga muncul banyak karya ilmiah yang didasarkan darinya baik berupa Syarah dan Hasyiah. Yang paling termasyhur tentu saja kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab karangan Imam Nawawi.
Suatu ketika Syekh Abu Ishaq Asy-Syirazi menjadi utusan Khalifah ke Bastam dalam menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara Sultan Malik Syah dengan ‘Amid Abu al-Fath bin Laits, seorang pejabat di Iraq.
Demikian dikisahkan dalam al-Kamil fit Tarikh (juz 8, halaman 283). Ini artinya Khalifah al-Muqtadi sangat mempercayai Syekh Abu Ishaq Asy-Syirazi.
Nama besar Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, sebagai utusan Khalifah, menjadi magnet tersendiri. Para ulama keluar menemui beliau, termasuk Syekh Juwaini yang dikenal sebagai Imam al-Haramain, guru dari Imam al-Ghazali. Rakyat juga berbondong-bondong menyambut sambil membawa roti dan buah-buahan.
Dikisahkan seorang Syekh Sufi bernama as-Sahlaki mendatangi Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi. Ibn al-Atsir menyebut Sahlaki ini sebagai “Syaikhun Kabirun”. Abu Ishaq yang diberitahu kedatangan Syekh as-Sahlaki ini langsung keluar menemuinya dengan berjalan kaki.
Syekh as-Sahlaki segera turun dari kendaraannya dan mencium tangan Syekh Abu Ishaq. Syekh Abu Ishaq membalas penghormatan ini dengan mencium kaki Syekh as-Sahlaki, lantas menempatkan Syekh as-Sahlaki di kursinya, sementara Syekh Abu Ishaq memilih duduk di bawah di antara kedua tangan Syekh as-Sahlaki.
Jelas tampak kedua orang ulama besar berbeda disiplin ilmu ini saling menghargai. Yang satu ahli fiqh; satunya lagi seorang sufi.
Syekh as-Sahlaki memberi hadiah, yang disebut-sebut merupakan perbendaharaan dari masa Syekh Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi agung generasi sebelumnya. Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi menerimanya dengan gembira.
Syekh as-Sahlaki ini, hasil pelacakan saya, nama lengkapnya adalah Abu al-Fadl Muhammad bin Ali bin Ahmad as-Sahlaki. Beliau mengumpulkan berbagai pernyataan dan ujaran Syekh Abu Yazid al-Busthami.
Itulah contoh pertemuan antara seorang faqih dengan seorang sufi. Contoh ini menjadi penting karena seringkali terjadi pertentangan antara ahli Hadits dengan ahli Fiqh, dan juga antara ahli Fiqh dengan ahli Tasawuf. Maka jauh-jauh hari Imam Malik sudah mengingatkan:
“Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq. Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik. Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat.”
Para ulama, apapun disiplin keilmuannya, bila bertemu akan saling menghormati.
Bahkan kalaupun mereka saling berbeda pandangan.
Tidak ada caci-maki yang keluar dari lisan mereka. Itulah akhlak yang diwariskan kepada kita semua.
Maukah kita meneladaninya?
Insya Allah.
Sumber:
Dalam kitab al-Kamil fit Tarikh (juz 8, halaman 283).
Advertisement