Saling Menghargai Perbedaan, Empat Nilai Pendidikan dalam Islam
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS Al-Hujurat: 13)
Asbabun Nuzul
Asbabunnuzul ayat tersebut, menurut Imam al-Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, berkenaan dengan keinginan Rasulullah SAW untuk menikahkan seorang budak bernama Abi Hindin dengan salah seorang putri keturunan Bani Bayadhah.
Namun, Bani Bayadhah dengan sinis menolak dengan mengatakan: “Ya Rasulullah, pantaskah kalau putri-putri kami yang cantik jelita dengan budak-budak kami yang hitam legam?” Rasulullah belum sempat menjawab, pada saat itu turunlah ayat tadi, yang pada ayat tersebut terdapat kalimat, “Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” Yaitu, agar kamu saling mengenal, menjalin komunikasi harmonis, dan menebarkan cinta kasih, serta kasih sayang yang tiada pilih kasih. Demikian penafsiran Imam Ali as-Shabuni dalam Shafwat at-Tafasir.
Dengan demikian, untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, syarat utama dan pertamanya ialah kita harus saling mengenal, saling menghormati, menghargai, dan bertoleransi di antara sesama kita. Bukan sebaliknya, saling menutup diri, melecehkan, menghina, membangga-banggakan daerah, golongan, suku, dan agamanya masing-masing. Sebab sikap seperti ini hanya akan menjadi cikal-bakal terjadinya disintegrasi bangsa, hingga hancurnya bangsa.
Demikian pesan-pesan Keislaman disampaikan Prof Dr H Sofyan Sauri, MPd, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia.
Interpretasi Para Mufasir
Imam Ar-Razi dalam kitab tafsir Mafātīh Al-Ghayb menyebutkan, ayat di atas menegaskan agar manusia tidak saling meninggikan diri, sombong, dan membanggakan diri di hadapan manusia yang lain. Karena apapun kondisinya, manusia tetaplah manusia. Mereka sama-sama berasal dari bapak dan ibu yang sama.
Dalam khazanah ilmu tafsir, “sapaan universal” seperti di atas (wahai manusia) menjadi ciri utama bagi ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di masa-masa awal kedatangan Islam, yakni di Mekkah. Secara umum, ayat-ayat yang turun pada fase ini bertujuan untuk mengokohkan sisi kemanusiaan umat Islam sebagai dasar utama kehidupan mereka, sehingga umat Islam tidak terpecah-pecah oleh perbedaan yang bersifat niscaya.
Empat Pesan Tafsir Al-Wajiz
Kandungan ayat dalam Tafsir Al-Wajiz.
Pertama, Allah SWT menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Kedua, orang yang paling mulia di hadapan Allah SWT yaitu orang yang bertakwa.
Ketiga, manusia tidak boleh sombong dengan apa saja yang ia miliki.
Keempat, harus saling menghargai dan menghormati suku bangsa lain.
Empat Nilai-nilai pendidikan
QS Al-Hujurat: 13 di atas mengandung sejumlah nilai pendidikan bagi manusia.
Pertama, mendidik kita agar senantiasa saling mengenal, tidak memandang perbedaan dan berlomba dalam kebaikan.
Kedua, mendidik kita agar senantiasa memiliki akhlak yang baik kepada siapa pun.
Ketiga, mendidik kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dan saling menghargai di antara sesamanya.
Keempat, mendidik kita agar menjadi pribadi yang berhati-hati dalam menjalankan kehidupan.
Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi. Setiap orang memerlukan penghargaan dan pengakuan dari sesamanya. Saling menghormati antarsesama manusia merupakan kewajiban dan kebutuhan.
Menjaga hubungan antarmanusia merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menjaga hubungan baik dengan manusia, yang dalam istilah Islam disebut hablu min al-nas.
Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa: 86:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (2015: 406) menjelaskan bahwa maksud ayat “Wa idza huyyitum bitahiyyatin (apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan),” ialah apabila seseorang didoakan dengan panjang umur, selamat, dan sejahtera, maka selayaknya orang yang didoakan mendoakan dengan lebih baik atau minimal setara.
Secara garis besar bentuk saling menghormati yang dilakukan seseorang kepada orang lain bisa dalam dua bentuk: saling menghormati melalui ucapan dan saling menghormati melalui perbuatan. Salah satu bentuk saling menghormati melalui ucapan di antaranya yaitu makna tekstual dari Surat An-Nisa: 86 yakni mengucapkan salam apabila berjumpa.
Termasuk bentuk penghormatan dalam ucapan kepada Rasulullah SAW yaitu dengan bershalawat kepadanya sebagai bentuk kecintaan umatnya kepadanya. Bahkan Allah SWT serta para malaikat bershalawat kepada Nabi Muhammad. Ini menjadi indikasi kecintaan Allah kepada Nabi Muhammad.
Hal tersebut tertuang dalam surat Al-Ahzab: 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS Al-Ahzab: 56)
Ekspresi Saling Menghormati
Selain dalam bentuk ucapan, ungkapan atau ekspresi saling menghormati dalam bentuk perbuatan. Ada beberapa bentuk perbuatan yang bisa dinilai sebagai ekspresi saling menghormati. Misalnya, mencium tangan atau berdiri menyambut tamu.
Mencium tangan merupakan adat yang banyak dilakukan oleh berbagai bangsa. Salah satunya Indonesia. Masyarakat Indonesia sering melakukan kebiasaan mencium tangan. Umumnya orang yang usianya lebih muda akan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan, saat tangannya telah dijabat oleh orang tua, guru, sanak keluarga, atau orang yang usianya lebih tua. Seketika itu orang yang usianya lebih muda akan mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan.
Sedangkan berdiri untuk menyambut tamu atau seseorang tidak hanya dilakukan sebagai bentuk penghormatan, melainkan dapat juga dilakukan sebagai bentuk kasih sayang terhadap seseorang.
Islam senantiasa mengajarkan untuk memberikan penghormatan, sekalipun orang tersebut telah meninggal dunia. Saat keranda yang membawa jenazah melintas di hadapan umat Islam, maka kita disyariatkan untuk berdiri hingga keranda yang membawa jenazah tersebut berlalu. Seperti Rasulullah SAW sabdakan dalam hadis yang diceritakan oleh Suraij bin Yunus dan Ali bin Hajr yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim.
إِذَا رَأَيْتُمُ الْجَنَازَةَ فَقُوْمُوْا فَمَنْ تَبِعَهَا فَلَا يَقْعُدْ حَتَّى تُوْضَعَ
Artinya: “Jika kalian melihat jenazah, maka berdirilah. Dan siapa yang mengikutinya, maka janganlah ia duduk hingga jenazah itu diletakkan.” (HR Mutafaq Alaih)
Demikian penjelasan dikutip gontornews.com, disampaikan Prof Dr H Sofyan Sauri, MPd, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia.