Salam Lintas Agama Diperdebatkan, Pakar Maqashid Syariah pun Bicara
Dr KH Nasrulloh Afandi Lc MA, Pakar Maqashid Syari'ah sekaligus Wakil ketua Komisi kerukunan antarumat beragama MUI pusat, menyampaikan materi bertema: Fikih Salam lintas agama perspektif maqashid syariah. Pria yang akrab disapa Gus Nasrul, memulai orasinya dalam kapasitasnya sebagai peneliti lepas maqashid syariah.
Ia menerangkan, jauh sebelum dirinya masuk jajaran pengurus MUI pusat, dalam disertasi doktornya di Universitas al-Qurawiyin dia mengkritik bahwa MUI tidak memenuhi syarat sebagai lembaga fatwa.
Hal itu tertuang dalam disertasinya yang berjudul: “al-fikrul al-Maqashidy Wa atsaruhu Fi fatawa al-Majami’ al-Fiqhiyyah Al-Mu’asyiroh, dengan predikat Summa Cum laude (Universitas al-Qurawiyin Maroko, 2017).
"Apa yang dikeluarkan oleh MUI lebih tepat untuk disebut at-taujih,atau at-tauiyyah ad-diniyah," terangnya.
Hal itu terungkap pada acara yang digelarbFakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, menggelar forum kajian “Hall Al-Masail V”, di Auditorium Fakultas Syariah, Kamis (4 Juli 2024). Kegiatan ini merespon Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman mengucapkan salam lintas agama di ruang publik Indonesia menuai pro kontra.
Acara tersebut dihadiri oleh para profesor, dan dosen muda Fakultas Syariah. Ada beberepa narasumber yang dihadirkan. Seperti Anggota FKUB Kota Malang Dr Muhammad Annas , M. Pil dan Pakar Maqashid Syari'ah sekaligus Wakil ketua Komisi kerukunan antarumat beragama MUI pusat Dr KH Nasrulloh Afandi, Lc, MA yang bertindak sebagai narasumber inti.
Dua hal Penting
Pada bagian lain, Gus Nasrul yang juga salah satu ketua Pimpinan Pusat PERGUNU itu menjelaskan mengapa lebih tepat disebut tausiyah ad-diniyah. Pertama Karena latar belakang berdirinya MUI syarat diwarnai kepentingan politik Orde Baru.
"Di antaranya pragmatisme untuk “merangkul” para cendikiawan, ulama, akademisi, ilmuwan, dalam wadah dinamakan Majlis Ulama Indonesia, sebagai mana faktor lahirnya ICMI. Sedangkan dalam ushul fikih, syarat mutlak berdirinya lembaga fatwa adalah harus bebas dari kepentingan politik kekuasaan," terangnya.
Kedua, Para pakar ushul fikih modern, menegaskan, untuk kredibilitas dan autentisitas kualitas fatwa kolektif(Ijtihad jama’i) Perspekftif Ushul Fikih, diantara syaratnya lembaga fatwa adalah harus mustaqil(Independen) Tidak ada kaitan dengan pemerintah.
"Sebagaimana lembaga atau haiah fatwa di berbagai negara. Sedangkan MUI tidak independen, hingga difasilitasi oleh negara, hal itu bisa mengurangi otoritas produk fatwa," imbuhnya.
Dua hal tersebut, yang menyebabkan MUI tidak memenuhi syarat sebagai lembaga Fatwa. Bahkan jika menyebut, dibandingkan dengan lembaga Bahtsul masail NU, pihaknya sebagai akademisi yang juga orang pesantren, lebih mengakui keunggulan hal-hal yang menjadi keputusan bahtsul masail NU, dibanding dengan produk fatwa MUI.
Gus Nasrul yang juga aktif dakwah di berbagai penjuru Indonesia itu juga memaparkan perbedaan posisi antara salam, “assalamulaikum” dan tutur sapa, yang menurutnya jelas jauh berbeda.
"Tutur sapa, atau sekedar basa –basi dalam interaksi sosial sehari-hari, seperti menyapa tetangga saat lewat depan rumah dan sejenisnya, bebas dengan kosa kata dan apa saja, apapun agamanya, kita dianjurkan melakukannya. Sedangkan salam ummat Islam, dengan bentuk juga kosa kata ”assalamualaikum”, adalah shorih (jelas) Dalam Al-Quran dan hadits. Ada aturan mainnya," jelasnya.
Dalam tinjauan maqashid syariah, lanjut Gus Nasrul, kalaupun kita menarik ke zona maslahah apa yang dihasilkan dari salam lintas agama (Mencampur salam dari berbagai agama), maka salam lintas agama adalah hanya bagian kecil dari upaya untuk menerapkan maqoshid takhsiniyyah (kepantasan).
"Sekali lagi, itupun hanya bagian kecil dari kepantasan, tidak sampai pada taraf khajjiyah(Kebutuhan pokok) dan sangat jauh dari zona Dhoruriyyah (Sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan)," terang alumnus pesantren Lirboyo Kediri itu.
Gus Nasrul pun menegaskan, sejumlah orang mengklaim bahwa salam lintas agama, adalah bagian dari upaya toleransi, menghormati agama lain, demi terciptanya kerukunan antar ummat beragama.
Hal itu, menurut Gus Nasrul, dalam perspektif maqashidus syariah, adalah maslahah mutawahhamah (adanya kemaslahatan hanya sebatas berdasarkan asumsi). Karena realita di lapangan, kerukunan antar ummat beragama tetap terjaga sekian lama. Tidak akan ada mafsadah (Kerusakan) Meski tidak ada satupun orang yang mencampur adukan salam lintas agama itu.
"Karena diplomasi sosial dengan perbedaan agama, sungguh sangat banyak bentuknya. Tidak hanya dengan cara bentuk salam lintas agama," tuturnya.
Yang perlu ditekankan, saat melakukan salam lintas agama, dalam waktu yang bersamaan, nyata-nyata, terjadi mafsadah muhaqqoqoh (kerusakan yang terang benderang) akibat pencampuradukan salam semua agama. Kerusakan itu, minimalnya, hilangnya salah satu autentisitas identitas agama tertentu.
Pengasuh pesantren Balekambang Jepara Jateng itu melanjutkan, di konteks kajian maqashid, maslahah mutawahhamah jelas wajib dicampakkan.
"Jadi, fenomena salam mencampur semua salam dari berbagai agama, dominan al-maslahah al-mutawahaamah (Kemaslahatan sebatas asumsi). Maka sekali lagi, salam lintas agama adalah haram," katanya.
Karena bagi umat Islam, mengucapkan salam, berupa” assalamualaikum,” adalah bagian dari berdoa memohon kebaikan pada Allah, disertai adanya keyakinan terdapat kekuatan Dat Allah swt satu-satunya sang pemberi kebaikan.
"Apakah dengan mengharamkan salam lintas agama, lantas Islam dituduh tidak moderat? Tidak toleran? Sama sekali tidak!," tegasnya.
Karena bahwa hampir semua kitab Maqashid syariah mengaskan, tak terkecuali babon ilmu maqashid syariah, kitab al-Muwafaqoth karya Imam asy-Syatiby sang lokomotif Ilmu maqashid.
Dapat disimpulkan, bahwa syariat Islam diturunkan untuk menjaga kemaslahatan para hamba, apapun agamanya, apapun sukunya, apapun adat tradisinya. Punya hak yang sama di hadapan syariat Islam.
Sekali lagi, untuk kemaslahatan para hamba, bukan kemaslahatan agama, bukan kemaslahatan agama Islam, bukan kemaslahatan rukun Iman, bukan kemaslahatan rukun Islam”. Selagi hal itu tidak menabrak ”tulang punggung” maqashid syariah.
Hal ini, yang dalam konteks negara Indonesia, terkandung dalam sila ke lima, berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pernah kami paparkan dalam sebuah forum di IAIN Kudus, tahun lalu, “Pancasila perspektif Maqashid Syariah” pada 26 Mei 2023.
Oleh karenanya, dalam kehidupan interaksi sosial, kita bisa membagi rumus maqashid syariah, itu menjadi empat:
Pertama: Maqshid Fard (Maqashid perorangan), Kedua : Maqashid Usyroh (Maqashid lingkup keluarga), Ketiga : Maqshid Mujtama(Maqashid lingkup masyarakat), dan Keempat: Maqashid Insaniyyah (Maqashid kemanusiaa).
"Yang kesemuanya bermuara pada kesetaraan, kesejahteraan, dan keadilan, kerukunan dan lainnya, demi terwujud kondusifnya kehidupan sosial," pungkasnya.
Advertisement