Salahnya Harga Tiket Pesawat
Menteri Wishutama menyampaikan, realisasi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tahun ini meleset. Targetnya 18 juta orang. Sedangkan yang datang diprediksi hanya 16,3 juta orang.
Nah, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu menuding, salah satu penyebab utamanya urusan tiket pesawat. Dirasa masih mahal.
"Saya, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN akan mereview semuanya. Possibility kita menekan harga tiket pesawat," ujarnya kepada wartawan.
Para juru warta itu bertemu dengannya di kediaman Menko Kemaritiman dan Investasi, Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan. Di sela acara open house Pak Luhut di Widya Chandra, Jakarta, Rabu, 25 Desember 2019.
Memang, komponen transportasi adalah pokok bagi wisatawan. Kalau urusan makanan dan hotel, banyak pilihan. Para penyedia jasa, kini, berkompetisi memberikan harga termurah dan servis terbaik.
Namun, perlu diingat. Transportasi dalam negeri juga butuh dilihat. Sudahkan mendukung semangat pariwisata? Apakah jaringan transportasi publik sudah bagus dan murah?
Untuk yang satu ini, sepertinya malah pekerjaan rumah terbesar. Selain bagus dan murah, transportasi publik harus punya syarat utama. Saling mendukung dan terhubung.
Belum lagi, pertanyaan susulannya. Apakah transportasi publik sudah bisa terjadwal dan mengantar sampai ke titik atraksi wisata? Bila beberapa hal tadi belum ada jawaban pasti, ya mohon maaf saja.
Mimpi mendapatkan devisa besar dari pariwisata, mohon di pinggirkan dulu. Benahi itu semua. Caranya? Ya bikin jaringan kereta api yang baik. Tak perlu dulu sampai sempurna.
Tapi dengan jumlah perjalanan yang banyak, murah, akan sangat membantu. Apakah perlu subsidi di sini? Bisa juga, alihkan sebagian dari dana promosi yang gede itu.
Sebentar, kan jaringan jalan tol sudah ada. Di Pulau Jawa sudah nyambung lho, dari Anyer sampai Surabaya. Sedang dikebut sampai Banyuwangi. Belum lagi ada jalan tol layang yang meliuk itu.
Cuma, harap maklum. Tol hanya menarik bagi yang punya mobil pribadi dan duitnya lebih. Itu lho, harga tarif tol juga tinggi. Coba saja tarifnya dimurahkan atau digratiskan.
Apakah perlu subsidi di sini juga? Saya memilih iya. Lagi, lagi bisa dialihkan dari dana promosi yang gede itu.
Berikan subsidi ke sana. Beberapa negara mengratiskan tarif tol. Pasti kunjungan akan naik.
Apalagi kalau sudah ada penyedia sewa mobil yang terintegrasi. Wisatawan bisa nyewa mobil di Bandara Soetta, terus dibalikin di Bandara Ngurah Rai. Atau di beberapa kota besar di Jawa.
Apakah mungkin? Tentu saja. Di Amerika dan beberapa negara di Eropa bisa kok. Di Indonesia, ya pemerintah bisa membangun ekosistem itu. Atau memfasilitasi perusahaan teknologi yang serius mendukung inisiatif ini.
Kok saya jadi heboh sendiri ya? Maklum gemes saja. Saya yakin, para petinggi negeri itu sudah sering berpergian ke luar negeri. Mereka sudah menikmati kenyamanan transportasi publik yang mendukung wisata di sana.
Apa salahnya, yang baik itu diamati lantas ditiru. Bila perlu modifikasi sedikit. Jika kebijakan publik yang baik diluncurkan, pasti banyak yang membantu.
Tapi kembali ke urusan jalan tol itu. Akhirnya saya mencoba tol layang Jakarta Cikampek itu. Pada Selasa, 24 Desember itu, kami sekeluarga, melewatinya siang hari dengan tujuan akhir ke Guci, Kab Tegal.
Siang itu, jalan layang itu lenggang. Agak bergelombang di tiap sambungan antar tiang. Apalagi bagi yang duduk di belakang. "Kayak naik wahana ombak air," kata mbak-mbak asisten saya.
Tentu saja, saya tetap mengarungi jempol atas hasil infrastruktur ini. Bagaiamana tidak, dari seputaran Senayan, kami berangkat jam 01.00 siang. Hanya butuh empat jam tiga puluh menit, kami sudah melewati pintu masuk Taman Wisata Guci.
Sudah bertemu dengan kabut yang turun membekap kaki Gunung Slamet. Indah sekali. Memang, tol memangkas waktu perjalanan. Walau tarifnya tetap mahal sih.
Seusai dari Guci, kami mampir ke Batang. Mencari nasi megono, soto, dan berburu batik tiga negeri. Hanya butuh waktu sekitar tiga jam saja.
Dari sana, perjalanan kami berlanjut ke Kartosuro. Masuk dari Pintu Tol Batang dan keluar di exit Solo. Juga hanya butuh waktu dua jam tiga puluh menit.
Di sini, saya mampir ke Warung Sate Klatak Pak AW di Jalan Adisutjipto No. 31 B. Olahan sate klataknya empuk sekali. Juga kicik dan tongseng kambingnya sempurna.
Masih ditambah tongseng ayam. Ini seger dan enak banget. Dan minumnya, wedang uwuh yang segar. Meluruhkan segala lemak kambing yang masih tersisa.
Warung ini dikelola Mbak Janah dan Mas Warsito. Keduanya Kagama. Mbak Janah lulusan ekonomi dan Mas Warsito lulusan teknik.
Mas Warsito memilih berhenti dari perusahaan minyak dan gas di Timur Tengah. Lantas berkhidmad menjadi pedagang sate kambing. Tak perlu tanya ke mereka, tentang rumus akuntansi atau teknik pengeboran lagi.
Saya yakin mereka lupa. Dibenak mereka hanya satu, apakah masakannya enak. "Ada yang kurang rasanya ngga Mas?" tanya Mbak Jannah merendah.
Baik saya dan istri menggeleng berulang. "Ini enak banget. Setiap kali ke sini, rasanya makin mantab," puji istri saya. Ini beneran, masakan keduanya layak diadu.
Tak heran, kelezatan itu mengantarkan pada guyuran pelanggan. Apalagi di musim liburan ini. Parkiran mobilnya penuh, bahkan acap kali bus pariwisata juga masuk.
Banyak pelanggannya yang publik figur. Dua pelanggan yang terhitung sangat setia adalah Lord Didi Kempot dan Gubernur Ganjar Pranowo. Setiap ada acara di Solo, terutama setelah dari Bandara Adi Sumarmo, Pak Ganjar pasti mampir ke sini.
Menikmati sate klatak dan tongsengnya. Walau keduanya belum pernah mengaku ke Pak Ganjar, Kalau jadi anggotanya di Kagama.
Sedangkan Lord Didi beberapa kali mampir. Namun, dia lebih suka memesan sate klathak untuk dikirim ke hotel tempatnya menginap. "Kalau dikirim ke hotel, tusuk ruji sepedanya sudah saya lepas," ungkap Mas Warsito sambil tertawa.
Perjalanan saya pun berlanjut. Bergeser ke Gunung Kidul. Ingin menikmati jualan pariwisata di pinggiran Laut Selatan Jawa.
Jalan tol memang memudahkan urusan, setidaknya bagi saya yang hobi keluyuran. Cuma satu, alangkah bijaknya, bila tarif tolnya diturunkan.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar di ngopibareng.id