Salah Kaprah Mamaknai Peran Perempuan, Ini Warning Aisyiyah
Jauh sebelum Kongres Perempuan Indonesia yang pertama pada 22 Desember 1928 digelar, Muhammadiyah telah mengorganisir gerakan perempuan melalui perkumpulan ‘Sapa Tresna’ pada 1914. Itulah embrio berdirinya ‘Aisyiyah pada 1917, organisasi perempuan Islam yang tetap eksis sampai sekarang.
Siti Noordjanah Djohantini, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah mengungkapkan hal itu, pada peringatan Hari Ibu yang diselenggarakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Bertema ’90 Tahun Kongres Perempuan: Menjaga Kesetaraan, Meninggkatkan Peran Kebangsaan’, digelar pada Sabtu 22 Desember 2018 di Ndalem Joyodipuran, Keparakan, Mergangsan, Yogyakarta.
“Banyak yang salah paham tentang peringatan hari ibu yang banyak diperingati di Indonesia, banyak anggapan ini sama dengan ‘Mother’s day’. Padahal di sini (Indonesia) merupakan peringatan hari Kongres Perempuan pertama,” ucap Noordjannah.
“Isu yang diangkat kedua tokoh ini merupakan isu yang tetap hangat sampai sekarang, yaitu tentang kesetaraan perempuan, persatuan, keadilan untuk perempuan, serta isu tetang pernikahan dini,” tutur Siti Noordjanah
Dalam kesempatan itu Noordjannah menyampaikan peran ‘Aisyiyah dalam konteks ke-Indonesiaan. Sesuai dengan misi dijalankan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah hadir sebagai organisasi perempuan berkomitmen pada pengembangan potensi yang dimiliki perempuan.
“‘Aisyiyah bergerak dengan komitmen pada nilai-nilai bahwa, perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama untuk menggerakkan dan mengembangkan, termasuk dalam beramal shaleh dalam kehidupan tanpa diskriminasi,” ujar Noordjannah.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, ‘Aisyiyah menjadi salah satu organisasi yang menjadi inisiator terselenggaranya Kongres Perempuan pertama yang di gelar pada 1928 bersama organisasi perempuan lainya. Kongres yang diselenggarakan di kompleks rumah milik Pangeran Joyodipuro, menantu dari Sultan Hamengkubuwono ke VII, ‘Aisyiyah diwakili oleh Siti Hajinah dan Siti Moendjijah.
“Isu yang diangkat kedua tokoh ini merupakan isu yang tetap hangat sampai sekarang, yaitu tentang kesetaraan perempuan, persatuan, keadilan untuk perempuan, serta isu tetang pernikahan dini,” tuturnya.
Lebih dalam Noor menjelaskan, tentang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia diperbolehkannya anak menikah. ‘Aisyiyah dalam melakukan pencegahan pernikahan dini melalui jalur-jalur kultural, melalui pendidikan, penguatan keluarga, dan penyadaran kesehatan reproduksi.
“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 13 Desember 2018 yang menyatakan bahwa perkawinan anak untuk yang perempaun berusia 16 dan laki-laki 19 tahun, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidakk memiliki kekuatan hukum mengikat. Serta bersifat diskriminatif,” jelasnya.
Noordjannah mengajak kepada peserta yang hadir untuk terus memupuk kesadaran kolektif demi memajukan perempuan Indonesia.Perjuangan perempuan masih panjang, jangan berhenti ditengah atau tidak berbuat sama sekali. Kedepan masih banyak persoalan yang harus kita selesaikan. (adi)