Salafi Wahabi dan Salafi NU, Ini Perbedaannya
Jakarta: Selama ini sering didengar istilah “salafi” yang cenderung bermakna “puritan” dan cenderung “keras”. Apakah perbedaan istilah salafi yang selalu dikaitkan dengan gerakan Wahabi ini dengan salafi di lingkungan NU dan kiai pesantren?
Mantan Wakil Ketua Bdan intelijen Negara (BIN) DR KH As'ad Said Ali punya penjelasannya. Di lingkungan NU dan pesantren, istilah salafi terkait dengan apresiasi dengan perilaku Kanjeng Rasul Muhammad SAW.
“Istilah salafi pada mulanya digunakan oleh beberapa komunitas Sunni. NU menggunakan istilah ini untuk kesetiaan terhadap model ajaran para imam-imam madzab dalam memecahkan problem masa kini. Sejak awal, NU juga telah mengklaim sebagai kelompok Ahlussunnah waljamaah. Istilah yang juga kini digunakan gerakan wahabi/salafi,” tuturnya.
Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, istilah Salafi kemudian digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo tatkala hendak membangun gerakan pembaharuan di Mesir. Di tangan Abduh, istilah Salafi sedikit mengalami pergeseran makna yang dikaitkan dengan semangat pembaharuan dan pemurnian. Di sini salafi dirujukkan pada model pemahaman para penganut Islam paling awal, yaitu Nabi dan Sahabat.
“Gerakan pemurnian yang lain, khususnya wahabisme, ternyata pada mulanya tidak menggunakan istilah ini. Mereka mengkampanyekan pemurnian ajaran dengan merujuk langsung Al-Quran dan Sunnah dengan model pemahaman yang literal. Di Indonesia, Muhammadiyah dan Persis yang juga mengusung tema pemurnian ajaran, juga tidak menggunakan istilah salafi. Walaupun ketiganya sama-sama menggeluti isu-isu bid’ah, kurafat dan sejenisnya,” tegasnya, dikutip ngopibareng.id, usai tampil di depan alumni ITS yang mengadakan kegiatan di Siwalan Panji Sidoarjo, Ahad (02/03/2017).
Istilah Salafi kemudian dipopulerkan kembali oleh Nashiruddin Al-bani pada dekade 1980-an di Madinah. Jamaahnya kemudian dikenal dengan al-Jamaa al-Salafiyya al-Muhtasib. Hampir sama dengan wahabisme, salafi yang dimaksudkan Albani adalah suatu gerakan untuk memurnikan kembali ajaran Islam dengan mengedepankan kampanye pembasmian terhadap segala sesuatu yang dianggap bid’ah.
“Albani tidak menggunakan nama wahabisme dikarenakan istilah ini, dianggap kurang tepat. Di dalamnya terkesan ada pemujaan terhadap tokoh. Di samping itu, salafi yang dimaksudkan, tidak sama persis dengan wahabi resmi pemerintah Arab Saudi. Perbedaannya, salafi menegaskan atau menolak semua pemikiran mazhab. Sedangkan wahabi Arab Saudi lebih cenderung pada model pemikiran mazhab Hambali (kendati tidak pernah diakui secara resmi),” kata As’ad Said, yang juga tampil di depan kader-kader NU.
Kendati berbeda, keduanya sesungguhnya berakar pada semangat yang sama yaitu keinginan untuk memahami Islam tekstual secara ketat. Sandarannya hanya Quran dan hadits sahih. Adapun terhadap hadits non-sahih mereka cenderung kritis dan lebih menyukai tidak menggunakannya. Mereka juga mengenal “golden period” praktek kemurnian Islam yaitu zaman tiga generasi awal (sahabat, tabiin dan tabiut tabiin). Zaman ini disebut salafus shaleh.
Pemurnian yang diusung Al-Bani memang tidak begitu berbeda dengan pemurnian yang dibawa Muhammad bin Wahab pada abad 13. Mereka sama-sama prihatin terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu, mereka berusaha memerangi segala sesuatu yang dianggap bid’ah.
Namun bedanya, di tangan Al-Bani dan mereka yang sehaluan dengannya, kategori bid’ah bisa sangat luas mencakup pada fenomena kemoderenan, baik yang dihasilkan kemajuan teknologi maupun perilaku dan paham pemikiran. Televisi, foto manusia dan patung adalah terlarang. Duduk berdua yang bukan muhrim, kendati di dalam taksi, adalah terlarang. Daftar sesuatu yang dianggap haram atau bid’ah ini bisa sangat banyak.
Karena semangat tekstualisme yang sangat kuat itulah maka boleh dikatakan, gerakan salafi sekarang ini adalah bentuk lain dari wahabisme namun dengan pendekatan yang lebih radikal. Radikalisme ini bersumber dari prinsip ketaatannya yang ketat pada teks Quran dan hadits shohih serta hanya melihat praktek Islam murni pada cara yang digunakan para salafus shaleh.
Karena itu, ketika mendapatkan fenomena yang berlawanan dengan teks dan tidak ada dalam praktek masa salafus shaleh, mereka akan menentangnya dan tidak akan berkompromi. Dengan cara ini mereka melawan paham-paham modern, seperti demokrasi dan partai politik. Mereka juga mengharamkan organisasi. Semua itu dianggap bid’ah karena tidak ada prakteknya pada masa tiga generasi awal Islam.
“Ketaatan pada model klasik (salafus shaleh) juga menyebabkan gerakan ini tidak mengenal organisasi resmi. Mereka mengembangkan gerakan dengan instrumen hubungan guru-murid yang sangat setia. Pola yang memang telah dikenal sejak zaman Nabi. Dalam hubungan yang bersifat personal dan penuh ketaatan ini Salafi berkecambah berbagai penjuru dunia,” kata As’ad Said, menambahkan. (adi)