Saktinya Setya Novanto dan Jokowi Mantu, Ini Gunjingan Ibu-Ibu
Perlawanan Ketua DPR RI Setya Novanto terhadap KPK setelah menjadi tersangka jilid kedua, ternyata menjadi gunjingan para ibu-ibu. Mereka penasaran mengapa Ketua Umum Golkar itu begitu sakti. Pergunjingan para ibu itu sama menariknya dengan gawe Presiden Joko Widodo mantu anak semata wayangnya. Berikut Catatan Tengah Derak Manangka, wartawan senior yang tinggal di Jakarta.
"Alhamdulilah, Puji Tuhan. Anak ibu bisa belanja empat buah teh botol di warung saya. Sebab dari belanjaan anak ibu, saya bisa untung dua belas ribu rupiah. Sisa delapan ribu lagi, kami sekeluarga sudah bisa beli lauk untuk makan sehari….”, begitu terdengar sebuah percakapan ringan antara dua ibu rumah tangga.
Percakapan di pagi hari - Minggu 12 November 2017 tersebut, terdengar sangat akrab dan polos. Terjadi antara pembeli dan penjual. Tempatnya di sebuh warung kecil di kawasan Jakarta Selatan, tepatnya daerah Ciganjur.
Kalau mendengar tempatnya, Jakarta Selatan, daerah yang sering diasosiasikan sebagai tempat bermukim kalangan berpunya di Indonesia, mungkin tak akan banyak yang percaya. Bahwa yang jadi pembicaraan, koq, topiknya hanya berkisar uang recehan – belasan ribu rupiah.
Mestinya uang milyaran bahkan triliunan rupiah.
Begitu pula nama Ciganjur.
Nama ini dikenal sebagai tempat tinggalnya keluarga Gus Dur, Presiden ke-4 Republik Indonesia.
Sejak dikenal sebagai tempat tinggal pribadi keluarga Presiden, banyak warga yang ikut-ikutan membeli rumah atau tanah di Ciganjur dan sekitarnya.
Ditambah kawasannya yang masih asri, sejuk dengan pepohonan dan beberapa pojoknya masih seperti suasana pedesaan, telah membuat Ciganjur sebagai salah satu tempat pilihan baru untuk bermukim, orang kota yang telah letih hidup di kawasan yang dikelilingi tembok-tembok kaku.
Tidak jauh dari tempatnya Gus Dur, terdapat Matoa.
Sebuah padang golf yang pernah disorot oleh media-media Australia pada tahun 1990-an.
Disorot karena di tengahnya, terdapat sebuah kolam pemancingan berisikan ratusan bahkan mungkin ribuan ikan mas.
Ikan-ikan itu boleh dipancing untuk dimasak di dapur restoran Golf House.
Bagi wartawan Australia – di mana di negara itu terdapat ribuan padang golf, tidak pernah terjadi di tengah-tengah tempat bermain golf, pegolf diberi kesempatan untuk bisa memancing ikan.
Australia yang sudah menghasilkan pegolf legendaris seperti Greg Norman, menganggap - golf dan memancing, merupakan dua kegiatan out-bound yang berbeda karakter apalagi dilihat dari sisi olahraganya.
Tapi itulah Indonesia.
Padang golf Matoa, memang unik seperti itu dan ada sejarahnya.
Padang golf itu sejatinya hanya disediakan untuk Jenderal Besar Soeharto, Presiden yang berkuasa di Indonesia selama 32 tahun (1966 - 1998).
Hanya orang-orang kepercayaan Presiden Soeharto yang punya akses ke padang golf itu.
Developernya, Bob Hasan, seorang konglomerat yang maniak golf dan dikenal pernah sangat dipercaya oleh Presiden Soeharto, di masa jayanya Presiden ke-2 RI tersebut.
Pak Harto dan Bob Hasan - di tahun-tahun 1990-an sering berpasangan di padang golf tersebut.
Percakapan kedua ibu rumah tangga itu terasa mengalir lancar. Yang mereka bahas kehidupan sehari-hari warga ibukota, yang tergolong kelas bawah.
Si ibu pemilik warung, berceritera tentang kehidupan suaminya. Yang setiap malam tidur pisah dengannya. Sang suami terpaksa tidur di mushollah – tak jauh dari warung mereka.
Masjid berukuran kecil itu menjadi pilihan untuk tidur di malam hari, karena di warung kontrakannya mereka, tidak cukup tersedia kamar untuk dijadikan tempat tidur. Sang suami harus mengalah.
Kedua ibu itu bercakap-cakap akrab atau lebih tepat disebut “ngerumpi”, tanpa mempedulikan sekeliling.
Di sekitar mereka terdapat bapak-bapak yang berprofesi macam-macam.
Ada pengemudi ojek, PNS Kecamatan, pegawai bank dan WTS – Wartawan Tanpa Suratkabar seperti saya.
Tiba-tiba saja percakapan mereka beralih. Ke soal kekayaan, materi atau uang belanja.
Ujung-ujungnya soal pesta pernikahan anak Presiden.
Mereka membandingkan biaya yang dikeluarkan oleh keluarga Presiden SBY dengan Presiden Jokowi.
“Saya dengar Pak SBY mengeluarkan puluhan milyar. Pak Jokowi juga. Tapi katanya lebih kecil dari SBY”.
“Waduh jangan bicara soal Presiden Jokowi deh. Sebab kalau saya tetap bela dia. Berapapun biaya yang dikeluarkannya untuk pesta pernikahan anak perempuannya, saya anggap wajar. Seandainya suami saya juga Presiden, saya akan marah kalau pernikahan anak perempuan kami, dia lakukan hanya sederhana begitu…”, ujar si ibu pembeli.
“Wah maaf, kalau begitu. Artinya, ibu masih akan milih Pak Jokowi lagi kalau ada Pemilu?”, bertanya si pemilik warung.
“Kalau soal itu, masih belum pasti. Kalau keadaan ekonomi, uang belanja tidak sebanding dengan harga barang kebutuhan, yah tunggu dulu…..”, jawab si ibu pembeli.
Seorang pemilik apotek yang terus mengikuti pembicaraan kedua itu, tiba-tiba menyelah.
“Iya saya juga bingung. Yang belanja obat di Apotik saya, sangat sedikit. Padahal orang sakit kan banyak. Mereka semua perlu obat……”, ujarnya
“Sehari, kalau lagi ramai, paling banter bisa ada pemasukan seratus ribu rupiah…” tambahnya lagi.
Pemilik warung menyela. Bahwa sekecil apapun pendapatan itu, harus dilihat sebagai sebuah rezeki pemberian Tuhan Allah.
Dia malah dinasehati, agar tidak terpengaruh dengan cerita-cerita orang kaya apalagi kisah para koruptor.
“Saya tida terpengaruh. Tapi saya merasa keadilan tidak berpihak kepada saya”
“Coba bayangkan, seorang Setya Novanto katanya melakukan korupsi sebanyak limaratus lima puluh miliyar rupiah. Lebih dari setengah triliun rupiah. Dipanggil oleh KPK, dia tidak mau hadir. Pengacaranya pun saya dengar membelanya dengan argumentasi yang aneh”.
“Saya baca di media, orang ini sangat sakti. Sejak tahun 2001, dia terlibat di berbagai kasus. Tapi koq lolos terus yah. Apa betul orang ini sakti…….?”
Corak pembicaraan di warung pun, mulai berubah. Kalimat-kalimat bernada emosional, makin banyak digunakan.
Mulai terjadi debat yang mempersoalkan tentang sikap yang berbeda antara Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.
Presiden Jokowi terkesan tidak mau peduli dengan kasus e-KTP dimana Setnov disebut-sebut banyak terlibat.
Berbeda dangan Wapres JK yang bahkan membela para netizen yang dilaporkan oleh Setnov, karena membuat “meme”.
Yang jadi pertanyaan, apakah percakapan di atas merupakan cerminan situasi dan mewakili sikap rakyat Indonesia atau tidak sama sekali ?
Entahlah…. Meneketehe ! Mana Aku Tahu.*****