Sakti, Akmaq, atau Kalap
DI TENGAH semacam perdebatan tentang Pancasila, ia malah memberi tawaran aneh: “Atau batalkan atau hapus saja Pancasila dari nilai keIndonesiaan, saya malah merasa aman kalau balik ke Indonesia”
“Lho, gimana to…”, tentu saja saya bingung.
“Sebab muatan Pancasila itu akhlak semua, sementara yang diperjuangkan Indonesia adalah materialisme”
“Aduh”
“Pancasila itu prinsipnya pembangunan manusia, bukan pembangunan Negara: manusia yang adil dan beradab. Gedung-gedung tinggi, kecanggihan teknologi dan kehebatan peradaban materiil hanya arena untuk memperjuangkan keberadaban manusia dan keadilan di antara mereka”
“Walah”
“Pancasila itu goal-nya keadilan sosial, bukan kemajuan fisik, bukan kemakmuran atau kekayaan”
“O jadi anti-materi ini ceritanya?”
“O tidak. Anti-materi itu lucu, tidak nalar dan haram. Tapi kalau menyembah materi lebih konyol lagi. Materi itu ‘washilah’, perangkat atau sarana. Bukan ‘ghoyah’, bukan tujuan, bukan sesembahan yang dituhankan sebagaimana dalam kasus materialisme. Yang ditempuh Indonesia adalah materialisme dan hedonisme, maka mesin yang dipakai adalah kapitalisme liberal. Sedangkan Pancasila mengutamakan bebrayan antar manusia: permusyawaratan, perwakilan, hikmat kebijaksanaan”
“Ampun…”, sementara saya belum membantah.
“Kalau pinjam istilahnya penyair Taufiq Ismail: yang diselenggarakan secara penuh gairah oleh Indonesia adalah Keuangan Yang Maha Esa. Sementara Pencasila menegakkan benang basah di Indonesia: Ketuhanan Yang Maha Esa”
“Ya nggak segitu-gitu amat…”
“Berapa kali saya ulang-ulang dalam pembicaraan kita: kalau pakai Pancasila, berarti pemegang saham primernya, bahkan absolut, adalah Tuhan. Maka semua ketetapan langkah, orientasi arah, program pembangunan, kebijakan dari atas hingga bawah – mengacu pada konsep Tuhan dalam menciptakan manusia, daratan, lautan, gunung, hutan, kandungan bumi, dan semuanya”
Saya biarkan dia menuntaskan kata-katanya.
“Maka Kitab Utama Kebangsaan Indonesia, kalau pakai Pancasila, adalah semua kepustakaan yang berasal dari Tuhan. Terserah apa Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur’an, Bagawadgita, atau apapun. Perlu ada proses verifikasi dan identifikasi yang mana yang otentik dari Tuhan, dan mana yang sudah diamandemen oleh manusia”
Agak mengerikan juga kalau itu semua digulirkan.
“Makanya saya tawarkan Catur Sila saja. Hapus Sila Pertama, daripada ruwet berurusan dengan Tuhan. Tapi kemudian saya pikir lebih lanjut: empat Sila yang lain juga merepotkan. Mana mungkin habitat politik nasional dan budaya kependidikan kita ditabrakkan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Mustahil Parpol-parpol dan Ormas-ormas, bahkan konstelasi ketokohan nasional dari berbagai latar belakang dituntut membangun Persatuan Indonesia. Lha wong mereka berhenti pada kebenaran masing-masing, tidak meneruskan langkahnya ke kebijaksanaan bersama. Mereka pikir kebenaran adalah puncak nilai hidup. Padahal kebenaran hanyalah salah satu input, alat, bekal, modal atau perangkat untuk bersama-sama mencapai hikmat kebijaksanaan”
Abracadabra!
“Begitu kalau Pancasila. Makanya sekarang ini Pancasila malah menjadi sumber pertengkaran dan perpecahan. Setiap kelompok mengklaim dirinya Pancasilais dan Pro-NKRI, dengan menyimpulkan dan menuduh bahwa yang bukan mereka adalah anti-Pancasila dan tidak Pro-NKRI. Jadi untuk apa Pancasila? Kalian ini seperti anak-anak kecil yang berebut mobil, padahal sama-sama belum bisa nyetir”
Hwarakadah!
“Mbok sudah, mobilnya taruh dulu di garasi. Sekarang sinau bareng bikin gerobak dan belajar naik sepeda”
Lama-lama jadi menyakitkan kata-kata sahabat saya ini.
“Kalian para NKRI ini kan anak bungsu Bangsa Indonesia. Masih terlalu muda usianya. Sama sekali belum matang. Bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa kalian ingin matang sebagai manusia, apalagi matang sebagai bangsa. Yang kalian inginkan kan bagaimana menjadi kaya. Yang kalian perjuangkan kan bagaimana ikut berkuasa. Sudahlah ngaku saja. Nggak usah sok Pancasila”
Benar-benar makin memanjang penderitaan telinga dan hati saya.
“Anak bungsu penuh gaya, pethitha-pethithi, merasa paling pandai dan hebat di tengah Bapak Ibu bangsanya sendiri, tapi membungkuk-bungkuk rendah diri di depan orang lain. Kalau orangtua bilang ‘Jadi dirimu sendiri dulu’, kalian teriak:
"Kami bukan kaum Xenophobia. Kami bukan jago kandang. Kami membuka pintu lebar-lebar bagi globalisasi dan masuknya tamu-tamu dari luar, karena kami perlu belajar, transformasi pembangunan, alih teknologi, kita harus mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Sementara para inovator ilmu dan teknologi kalian sia-siakan, bahkan kalian buang atau bunuh kariernya. Para jenius ilmu, para penemu, para perintis masa depan, para mujtahid cahaya esok hari, anak-anak muda kreatif di berbagai bidang, malah dicurigai oleh Pemda dan ditangkap oleh Polsek”
Saya relakan mendengarkannya sampai kapanpun dan seberapapun sengsaranya hati saya.
“Katakanlah untuk sementara saya setuju dengan globalisasi kapitalisme liberal, pasar bebas yang merobohkan pagar Negara, bahkan tak apa kalian munafiki itu semua dengan pseudo-Pancasila. Tapi kalau gerbang kedaulatan kalian copot dan pagar kenegaraan kalian robohkan seperti sekarang – saya akan mengetuk pintu rumahmu – ketika sudah tuntas kalian anak bungsu remaja puber ini ditelan mentah-mentah oleh raksasa neo-kolonialisme yang sekarang kalian sambut dengan berbinar-binar seperti menyongsong kekasih…”
Ternyata belum selesai.
“Kalian anak-anak bermain air becek di bawah hujan deras. Kalian tak merasakan sedang menderita komplikasi bermacam-macam penyakit yang hampir mustahil disembuhkan. Kalau tugas utama kepemimpinan adalah menyelesaikan masalah, maka saya sangat kagum kepada orang yang mau, bahkan meminta-minta, untuk menjadi pemimpin nasional. Kemungkinannya ada tiga. Pertama, pasti itu orang sakti mandraguna. Kedua, Ahmaq, tak mengerti masalah dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti masalah. Ketiga, itu orang kalap oleh ambisinya. (Bersambung)