Benteng Kedung Cowek, Saksi Bisu Pertempuran Surabaya di Front Laut
Angin laut yang terasa cukup panas perlahan menembus kulit dan tubuh ketika memasuki salah satu tempat bersejarah terletak di pesisir utara Kota Surabaya. Ya, tempat bersejarah yang masih kokoh berdiri walaupun tidak terawat tersebut adalah Benteng Kedung Cowek.
Benteng yang dibangun dengan sistem cor tersebut masih nampak tegak tersusun di dekat pantai pesisir utara. Lokasinya berseberangan langsung dengan Jembatan Suramadu di wilayah Kedung Cowek. Lumutnya yang mulai menyatu dengan tembok-tembok bangunan itu sudah terlihat berwarna hitam, menandakan ini sudah lama tidak terawat.
Selain lumut yang menghitam, tumbuhan-tumbuhan liar pun menjalar dan menyelimuti seluruh sisi bangunan benteng yang terdiri atas sembilan bagian. Pohon-pohon berukuran tinggi juga tumbuh dan menutupi area bangunan benteng, dan menjadikan tempat tersebut seakan-akan seperti hutan belantara hijau di pinggir laut. Tulisan maupun coretan yang dilakukan manusia-manusia tidak bertanggung jawab pun terlihat sangat jelas di seluruh sisi bangunan benteng.
Saat memasuki salah satu bangunan dari benteng, para pengunjung harus senantiasa berhati-hati. Pasalnya, ruangan-ruangan yang tampak seperti bunker terlihat gelap, walaupun pada saat fajar hinggap di atas kepala. Beberapa ruangan dari benteng pun bervariasi bentuknya, ada yang berbentuk segi empat dan yang memanjang.
Pegiat Sejarah dari Komunitas Roode Brug Soerabaia Ady Setyawan menjelaskan, Benteng Kedung Cowek didirikan pada tahun 1900 sebagai basis pertahanan kolonial di Selat Madura. Saat itu, Surabaya sebagai salah satu kota terbesar di Hindia-Belanda dirancang oleh kaum kolonial untuk menjadi pusat kegiatan dan perdagangan maritim pada abad ke-20.
"Surabaya ini didesain sebagai kota maritim modern abad 20, yang ditandai dengan dibangunnya satu pelabuhan dagang Tanjung Perak, pelabuhan angkatan laut terbesar dan juga ada lapangan terbang di sebelah Tanjung Perak, Moro Krembangan. Nah dengan aset yang sebanyak itu, perlu dibangun perbentengan untuk melindungi. Salah satunya Kedung Cowek ini," ucap Ady kepada Ngopibareng.id, Sabtu 28 November 2024.
Ady menjelaskan, Belanda menggunakan benteng tersebut hingga sekitar tahun 1942. Ketika tentara Kekaisaran Jepang tiba, otomatis benteng tersebut lalu diambil alih dan digunakan hingga direbut oleh para pejuang-pejuang Republik.
Dalam kepingan fragmen Pertempuran Surabaya 1945, Ady mengatakan, Benteng Kedung Cowek menjadi tempat duel artileri antara tentara Republik asal Sumatera yang dahulu bertugas di kesatuan Heiho atau tentara pembantu, dengan pasukan Sekutu.
"Yang menarik adalah tempat ini dipertahankan bukan oleh arek-arek Suroboyo, tetapi orang-orang Heiho yang asalnya dari Sumatera. Jadi mereka saat itu bertugas di Front Indonesia Timur, dari daerah Morotai, Sorong, dan mereka sudah pernah merasakan perang sama Sekutu seperti apa, beratnya seperti apa," paparnya.
Saat Jepang sudah menyatakan kekalahannya kepada Sekutu, otomatis para tentara pribumi yang berada di bawah kesatuan Jepang dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing. Rute kapal yang membawa mereka pulang dari Indonesia Timur ke Makassar, dari Makassar lalu singgah di Surabaya.
Saat tiba di Surabaya, salah satu perwira Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau cikal bakal TNI, yakni Letkol Wiliater Hutagalung meminta bantuan para bekas prajurit Heiho yang sedang singgah di Surabaya untuk bisa ikut membantu mereka dalam pertarungan melawan Sekutu.
"Ajakan Wiliater lebih kurangnya begini, kami ini sedang diambang perang, kami punya meriam-meriam besar di Benteng Kedung Cowek, tapi kami tidak punya tenaga untuk mengoperasikan tetapi anda-anda ini bisa, apakah kira-kira mau bergabung bersama kami," ucap Ady.
Menurut Ady, tawaran yang dilontarkan Letkol Wiliater Hutagalung tersebut kepada para bekas prajurit Heiho adalah tawaran yang cukup gila. Para bekas prajurit Heiho itu, lanjutnya, sudah pernah melihat dan merasakan bagaimana brutalnya perang melawan Sekutu dan kemudian diminta sekali lagi untuk melawan mereka lagi di Surabaya. Para prajurit itu lalu memutuskan tinggal di Surabaya dan menamakan dirinya Batalion Sriwijaya, di bawah pimpinan Yansen Rambe.
"Konsekuensinya itu, akhirnya batalyon ini musnah. Inggris menduduki benteng itu pada tanggal 27 November 1945, 17 hari pertempuran. Sampai sekarang kita bisa melihat di benteng itu bekas-bekas lubang tembakan, sisa-sisa barang-barang relik, sisa Perang Dunia II itu berserakan di sana," jelasnya.
Menurut data, orang-orang yang gugur di Benteng Kedung Cowek dituliskan lebih kurang 200 orang. Ady menerangkan, mereka semua terbunuh dan tidak sempat untuk dievakuasi jasadnya karena gencarnya tembakan artileri yang dilancarkan oleh tentara Sekutu.
"Orang-orang ini sudah memberikan yang terbaik yang mereka bisa, yang mereka punya. Mereka tidak memikirkan bahwa ini kan perangnya orang-orang Surabaya, buat apa saya ikut-ikutan, tidak. Namun, mereka berpikir bahwa kita membela bangsa yang sama, negara yang sama, kehormatan yang sama, untuk itu mereka siap menerima konsekuensi yang luar biasa besar," tegasnya.
Dengan besarnya memori revolusi fisik yang terpendam di benteng tersebut, Ady menyebut, masih hanya segelintir masyarakat yang paham dan mengerti keberadaan dari benteng tersebut. Tidak ada makam maupun monumen yang dibangun untuk menjadi pengingat atas perjuangan yang dilakukan prajurit Batalyon Sriwijaya.
"Tetapi apakah kita warga Surabaya akan sungguh-sungguh melupakan mereka, ya jangan sampai, jadi saya harap cerita ini masih tetap terjaga dalam memori kolektif atau ingatan bersama warga Kota Surabaya," pungkasnya.
Advertisement