Sakit pun Memikirkan Islam, Ini Renungan Terakhir Gus Sholah (2)
KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang telah wafat pada Minggu 2 Februari 2020 pukul 20.55 WIB di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Jenazah putra KH Wahid Hasyim ini dimakamkan di Kompleks Makam Tebuireng Jombang, Senin, 3 Februari 2020 pk 14.00 WIB. Gus Sholah menghadap ke Rahmatullah dalam usia 77 tahun, dimakamkan di dekat makam Gus Dur, kakak kandungnya.
Gus Sholah selain dikenal sebagai Tokoh NU, juga dikenal sebagai Bapak Bangsa karena renungan-renungannya. Ia pun tetap mengajak masyarakat untuk berpikir tentang masa depan masyarakat dan bangsanya. Beberapa hari menjelang wafat, dalam kondisi sakit pun Gus Sholah masih berupaya untuk memberi solusi bagi problem bangsa dan keumatan.
Untuk lebih memahami Gus Sholah, berikut renungan terakhirnya yang dimuat di Kompas, pada 27 Januari 2020: "Refleksi 94 Tahun NU". Ngopibareng.id, menghadirkan kembali dalam dua edisi. Berikut bagian terakhir:
Organisasi NU
Organisasi NU didirikan pada Januari 1926 untuk meningkatkan efektivitas dakwah jama’ah NU. Sampai tahun 1950-an organisasi NU berjalan baik dan berencana kerja sama ekonomi dengan pihak Jepang.
Saya ingat, pada 1951/1952 saya sering diajak ayah saya mengunjungi percetakan Yamunu (Yayasan Muawanah NU) di Jalan Juanda dekat rel. Percetakan itu mencetak buku nikah. Namun, beberapa tahun kemudian percetakan berhenti karena order dialihkan ke percetakan milik tokoh NU.
Saya juga ingat, pada 1959 dalam rangka pelatihan pandu Ansor untuk Jambore Internasional di Makiling, Filipina, saya dan sejumlah kawan menginap di gedung milik NU di Jalan Sudirman.
Di banyak kota terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, ada fasilitas sosial, kesehatan, dan pendidikan yang didirikan organisasi NU dan organisasi di bawahnya, terutama Muslimat NU.
Setelah NU berubah menjadi Partai NU akhir April 1952, budaya dan paradigma ormas NU berubah menjadi partai politik. Fokus organisasi NU bergeser dari usaha sosial dan pendidikan menuju kegiatan politik.
Titik lemah NU justru terletak pada organisasinya. Ketua Umum PBNU pasca-KH A Wahid Hasyim (wafat April 1953) bukan tokoh yang sadar organisasi, termasuk aspek keuangan. Organisasi badan otonom dan lembaga di bawah PBNU yang memberi perhatian besar kepada kegiatan sosial dan pendidikan adalah Muslimat NU dan Fatayat NU.
Praksis parpol
Banyak tokoh PBNU pada posisi strategis adalah politisi atau bersikap politis. Paradigma dan praksis organisasi menjadi seperti parpol: pragmatis dan menghalalkan segala cara. Muktamar Ke-32 NU (Makassar) dan Muktamar Ke-33 (Jombang) jadi contoh nyata.
Satu masalah lain di dalam organisasi NU adalah kerancuan kepemimpinan: siapa pemimpin tertinggi dalam organisasi NU, antara rais aam dan ketua umum? Secara teori, yang tertinggi adalah rais aam, tetapi karena keduanya dipilih dalam muktamar, ketua umum tidak selalu manut pada rais aam. Seperti ada dua matahari.
Sejak awal rais aam adalah penentu kebijakan dan ketua umum adalah pelaksana kebijakan. Jadi, ketua umum sebaiknya organisator, pemimpin dan punya kemampuan manajerial. Dia eksekutor, bukan hanya orator. Ketua umum sebaiknya punya integritas tinggi, berwawasan agama luas, mampu berkomunikasi, dan tidak menggunakan posisi untuk kepentingan diri dan kelompok.
Kenyataannya, kehadiran NU sebagai partai politik 1952-1984 amat membekas dalam diri para tokoh NU. Keterlibatan sebagai partai politik selama 32 tahun tidak mudah dihapus bekasnya, apalagi pada 1998 tokoh-tokoh PBNU mendirikan PKB. Jadi, NU lepas dari keterlibatan politik hanya pada 1984-1998 (14 tahun).
Kiprah NU dalam kehidupan politik sudah diatur dalam Khitah NU. Khitah menjadi landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU: perseorangan maupun organisasi.
Khitah NU ada 9 butir: 1. Mukadimah; 2. Pengertian; 3. Dasar-dasar Paham Keagamaan NU; 4. Sikap Kemasyarakatan NU; 5. Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan; 6.Beberapa Ikhtiyar; 7. Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama; 8. NU dan Kehidupan Bernegara; 9. Khatimah.
Perhatian masyarakat terutama pada butir delapan tentang NU dan kehidupan bernegara. Di dalamnya terkandung banyak alinea, tetapi fokus masyarakat hanya pada alinea kelima yang isinya adalah: ”NU sebagai jam’iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun . Setiap warga NU adalah warga negara dengan hak politik dan dilindungi undang-undang”.
Sejak awal sudah ada yang mengusulkan supaya NU tidak sepenuhnya meninggalkan politik praktis. Mahbub Djunaedi mengusulkan ”Khitah Plus”, tetapi tidak ditanggapi positif.
Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz menyatakan bahwa politik NU adalah politik kebangsaan, politik keumatan, bukan politik kekuasaan atau politik praktis. KH As’ad Syamsul Arifin menyatakan bahwa NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Maksudnya organisasi NU tidak ikut partai mana pun, tetapi warga NU ada di banyak partai.
Dalam kenyataan, organisasi NU pergi ke (ikut) satu partai (PKB). Bahkan, sedikit atau banyak ada campur tangan partai terhadap struktur NU. Ternyata warga NU yang memilih PKB hanya 15 persen dan yang memilih PPP hanya 5 persen. Struktur NU mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan 2/3 warga NU memilih pasangan itu.
Yang kurang elok, saat tidak ada menteri yang dianggap mewakili PBNU, tokoh-tokoh NU seperti ngambek. Tentu tidak ada menteri yang mewakili PBNU karena NU bukan partai politik walaupun berperilaku dan bertindak seperti partai.
Struktur NU saat ini berpendapat bahwa Khitah NU dalam masalah politik bersifat situasional dan kondisional. Mereka mengatakan bahwa NU adalah ashabul qoror, bukan hanya ashabul haq.
NU juga berkepentingan dengan kekuasaan, bukan hanya kebenaran. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa karena organisasi NU memberi perhatian utama pada masalah politik, maka kegiatan organisasi dalam amal usaha (kegiatan pendidikan, sosial, kesehatan dan ekonomi) terabaikan.
Pendapat dan sikap PBNU bahwa NU adalah ashabul qoror, bukan ashabul haq harus dibahas dalam muktamar. Masalah ini amat mendasar dan menentukan masa depan NU, bahkan masa depan Indonesia.
NU sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat madani. Sikap istikamah dan konsisten bergiat membuat NU bermartabat dan efektif menjadi jangkar bangsa Indonesia. (selesai)
Advertisement