Sakit pun Memikirkan Islam, Ini Renungan Terakhir Gus Sholah (1)
KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang telah wafat pada Minggu 2 Februari 2020 pukul 20.55 WIB di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Jenazah putra KH Wahid Hasyim ini dimakamkan di Kompleks Makam Tebuireng Jombang, Senin, 3 Februari 2020 pk 14.00 WIB. Gus Sholah menghadap ke Rahmatullah dalam usia 77 tahun, dimakamkan di dekat makam Gus Dur, kakak kandungnya.
Gus Sholah selain dikenal sebagai Tokoh NU, juga dikenal sebagai Bapak Bangsa karena renungan-renungannya. Ia pun tetap mengajak masyarakat untuk berpikir tentang masa depan masyarakat dan bangsanya. Beberapa hari menjelang wafat, dalam kondisi sakit pun Gus Sholah masih berupaya untuk memberi solusi bagi problem bangsa dan keumatan.
Untuk lebih memahami Gus Sholah, berikut renungan terakhirnya yang dimuat di Kompas, pada 27 Januari 2020: "Refleksi 94 Tahun NU". Ngopibareng.id, menghadirkan kembali dalam dua edisi. Berikut bagian pertama:
Refleksi 94 Tahun Nahdlatul Ulama
Pada Januari 2020 Nahdlatul Ulama berusia 94 tahun. Dengan kalender Hijriah, usianya 97 tahun. Berarti tiga dan enam tahun lagi lembaga ini akan berusia 100 tahun. Suatu usia yang panjang.
Tidak banyak organisasi yang mencapai usia 100 tahun, apalagi berprestasi tinggi. Di Indonesia organisasi besar yang sudah berusia 100 tahun dan punya prestasi tinggi adalah Muhammadiyah.
Kita perlu merefleksi perjuangan panjang jama’ah (warga) dan jami’yah (organisasi) supaya bisa meneruskan dengan arah dan cara yang benar. Pesantren Tebuireng bekerja sama dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah menggarap film Jejak Langkah Dua Ulama, berkisah tentang perjuangan KH Ahmad Dahlan dan KH M Hasyim Asy’ari. Film itu diharapkan bisa menggambarkan perjuangan kedua tokoh itu dalam mendirikan dua organisasi yang menjadi jangkar Indonesia.
Nahdlatul Ulama (NU) mengandung empat pengertian. Pertama adalah ajaran, kedua ulama dan pesantren, ketiga warga, dan keempat organisasi.
Ajaran yang dianut organisasi NU adalah ahlussunnah waljama’ah (aswaja) an nahdliyah. Istilah aswaja dipakai oleh banyak kalangan Islam. Untuk memberi kekhususan, diberi ciri annahdliyah.
Dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut ahlussunnah waljama’ah. Pahamnya bersumber pada Al-Quran, sunah, ijma’ dan qiyas. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham aswaja yang dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam bidang fikih, NU mengakui mazhab empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Dalam tasawuf, NU mengikuti Imam Al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam lain.
Dalam penerapan nilai-nilai aswaja, NU menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah ada. Dari sini aspek lokalitas NU sangat jelas dan ditekankan.
Dalam sikap kemasyarakatan, Khitah NU menjelaskan empat prinsip aswaja: tawasut (sikap tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan), tawazun (seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama manusia), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Ada satu aspek yang belum dicantumkan sebagai bagian dari aswaja an nahdliyah, yaitu dalam bidang politik. NU ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945. NU adalah pelopor dalam menerima Pancasila pada Muktamar 1984. NU ikut berjuang dalam ikhtiar mendirikan Departemen Agama pada 1946.
NU menjadi pelopor dalam terbitnya UU Perkawinan pada 1973-1974. Juga dalam terbitnya UU Peradilan Agama pada 1989 serta sejumlah UU yang mengakomodasi syariat Islam. Ada aspek lain yang amat penting, tetapi belum banyak dibahas, yaitu pemikiran ekonomi Islam aswaja. Menurut saya, ini perlu dimasukkan ke dalam aswaja an nahdliyah.
Belakangan para tokoh PBNU gencar berkampanye tentang Islam Nusantara meski sejumlah ulama NU menolak istilah itu, seperti KH Hasyim Muzadi dan Lukman Hakim Saifuddin. Mereka lebih setuju istilah Islam di Nusantara. Tampak bahwa para tokoh PBNU masih berbeda pandangan dan pengertian tentang Islam Nusantara. Diharapkan Muktamar Ke-34 bisa mempertegas substansi Islam Nusantara.
Ulama dan pesantren
Organisasi NU didirikan para ulama dan disebarkan oleh santri di ribuan pesantren. NU adalah pesantren besar, dan pesantren adalah NU kecil. Pesantren didirikan warga NU, bukan organisasi NU. Jadi, mereka independen terhadap organisasi NU.
Jumlah pesantren di seluruh Indonesia saat ini mencapai 28.000, berkembang pesat dari 10.000 pesantren pada 1999. Sebagian besar adalah pesantren kecil. Di Jawa sekitar 80 persen. Lebih dari 90 persen adalah pesantren warga NU.
Muhammadiyah dan Hidayatullah dalam dua dekade terakhir giat mendirikan pesantren. Ratusan pesantren mendirikan sekolah tinggi agama dan belasan pesantren mendirikan universitas.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara, memberikan sumbangsih besar dalam upaya mencerdaskan bangsa, memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan. Namun, perhatian pemerintah belum sebanding dengan peran pesantren.
Direktorat yang membawahkan pesantren baru berdiri tahun 2000. Dengan adanya UU Pesantren, diharapkan direktorat ditingkatkan menjadi direktorat jenderal: semacam ”program afirmatif” untuk mendorong pesantren lebih maju.
Menurut lembaga survei, jumlah orang yang mengaku warga NU dan cenderung ke NU mencapai 40 persen jumlah umat Islam, sekitar 90-95 juta. Itu terdiri dari mereka yang mengikuti ajaran aswaja an nahdliyah, para keturunan warga NU, atau yang cenderung pada sikap keberagamaan NU.
Kebanyakan dari mereka adalah petani dan masyarakat menengah bawah. Warga NU alumnus pesantren sudah banyak yang belajar di universitas ternama di banyak negara Barat, tidak hanya di Timur Tengah. Muncullah perbedaan penafsiran ajaran Islam, yang harus dijembatani dengan arif.
Kita sering mendengar ucapan bernada bangga dari tokoh NU tentang fakta jumlah warga NU. Apakah fakta itu membuat NU dalam politik lebih kuat? Ternyata tidak. Dalam Pemilu 2019, menurut exit-poll sebuah lembaga survei, 15 persen warga NU memilih PKB, 17 persen memilih PDI-P, dan 5 persen memilih PPP (partai yang NU pernah terlibat di dalamnya).
Apakah fakta itu membuat prestasi organisasi NU lebih baik dibandingkan ormas lain? Juga tidak. Ribuan pesantren dan sekolah/masyarakat yang berada di dalamnya bukan prestasi organisasi NU. Jusuf Kalla pernah mengatakan, Muhammadiyah adalah holding company, NU lebih mirip franchise. (bersambung)