SAJAK MERINDU RENDRA
KITA renda malam hingga pagi buta dengan cinta Tanah Air yang kusut masai
Tapi mata kita senantiasa menyala
Semangat tersampir pada kantung bawah matamu menggantung
Kita saling menatap dan menemukan masa depan yang sedang kita rebut
Berdepa-depa bicara
Tak kita pedulikan berpoci-poci teh dan berkristal-kristal gula yang kau lumat dengan hemat.
Tugasku cuma membersihkan buku sejarah dari air ludah Sukarno yang nyiprat di mana-mana, katamu sembab
Tugasku sekadar menyapu bekas-bekas darah injakan kaki Soeharto. Katamu lagi
Dan seperti ada lebam di hatimu
Aku meja karambol licin yang siap jadi tempat generasimu membenturkan bola-bola peradaban hingga bersua lubang di penghujung, katamu
Aku suka suara dahakmu setiap kali kau usaikan makan malam kita
Lalu, kau mulai habiskan berhelai-helai tissu untuk menyeka mulutmu
Lalu kau guyur kepalaku dengan berbilang abad hikayat kebudayaan itu
Dik, kita bangsa besar tapi bernasib buruk dikuasai terlalu banyak orang kerdil yang berebut remah-remah kekuasaan, katamu
Dik, kau jaga akal sehatmu, jangan terbuai goda rayu akal busuk yang bergantungan di udara
Parau suaramu menikam bulan
Aha! Rendra! Kau selalu saja punya alasan untuk membuat kita berdua punya pengharapan
Seorang lelaki besar, katamu, bukan penakluk perempuan tapi penghancur tirani yang bercokol di kepalanya sendiri
Seorang perempuan besar, katamu, bukan penakluk laki-laki, tapi ibu yang melahirkan kebudayaan adiluhung
Lalu, kantung bawah matamu menarik kepalamu jatuh ke atas meja makan
Malam telah tunai dan kita masih juga bicara
Dan pagi mengetuk pintu lewat berkas temaram cahaya yang menyemburat dari balik punggungmu
Dalam kantuk yang menghebat kita bicara tentang Nusantara
Redup matamu tak kuasa sembunyikan daya hidup perkasamu
Sebuah Tanah Air telah dilupakan oleh orang-orang yang terlihat kerdil di atas panggung besar sejarah yang pikuk.
Pada perjumpaan terakhir, kau hitung beratus batang kayu kecil yang kelak menghutankan padepokanmu
Kau risaukan anak-anakmu sambil janjikan masa datang yang mesti kau bikin lebih baik untuk mereka
Sepanjang seperenam hari, kita sudah saling merindu ketika mata kita masih saling bersirobok
Tapi, bukan kerinduan akan perjumpaan yang membikin kita saling lekat, melainkan kerinduan akan tegaknya kembali peradaban
Peradaban itu, katamu, tengah dirobohkan oleh orang-orang picik yang terendam dalam lumpur kepongahan mereka sendiri
Kita berdua muak: Terlalu banyak orang kerdil berbaju kebesaran yang memberaki bendera kebangsaan kita
Kita impikan kanal besar tempat kapal besar kita berlayar dengan panji-panji menjulang
Dan kita muak karena terlalu banyak orang kerdil dengan kepala besar dipenuhi kepicikan membangun berdepa-depa comberan
Dari mulut bau anyir mereka yang terbuka kita dengarkan nyanyian sumbang itu: Indonesia Baru sedang kita layari, tralala trilili...
Dan sebelum penat menghantam kita ke peraduan, kau meneriakiku dengan ucapan selamat tidurmu itu: Bah!!
Rabu, 6 Juli 2011, malam