Sahkan Undang-undang Anti Terorisme, Filipina Panen Kritikan
Filipina mengesahkan Undang-undang Anti Terorisme. Namun undang-undang ini banyak mendapat kritik dari pegiat hak asasi manusia (HAM). Protes terbaru datang dari Wakil Indonesia untuk Komisi HAM antar Pemerintah ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum.
Menurutnya, undang-undang itu bisa menjadi alat bagi penguasa untuk memidanakan kelompok oposisi, aktivis, akademisi, dan warga sipil lainnya, dengan mencurigai mereka sebagai teroris.
Selain itu, UU juga mengancam hak dasar manusia, seperti kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat di Filipina.
"Definisi terorisme dan aksi teror yang terlalu luas dalam RA 11479 sehingga memungkinkan aparat melakukan penindakan secara acak, melanggar hak privasi, dan menekan kelompok oposisi,” katanya.
Menurutnya, kondisi ini telah dialami sejumlah pegiat HAM, akademisi yang kritis atau para pekerja kemanusiaan. Saat ini, ia juga telah menerima laporan bahwa pemerintah setempat telah menetapkan sejumlah anggota organisasi masyarakat sipil, kelompok gereja, akademisi dan wartawan, termasuk Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Masyarakat Adat, Victoria Tauli-Corpuz, sebagai bagian dari kelompok teroris atau terlibat dengan aksi teror.
Sehingga uu ini dianggap lemah dalam tujuan menegakkan hak asasi manusia dan aturan hukum yang ada. “Jika tidak, pengesahan UU itu akan menjatuhkan keabsahan kebijakan anti-terorisme itu sendiri,"lanjutnya.
Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Duterte mengganti Undang-Undang Keamanan Individu 2007 dengan Undang-Undang Anti-Terorisme 2020 yang juga disebut dengan Undang-Undang Republik 11479.
UU itu diteken oleh Duterte, meski kritikan banyak datang dari organisasi masyarakat sipil, anggota parlemen, dan komisi HAM setempat.
Pada bagian kesembilan undang-undang itu menyebutkan aparat dapat memidanakan mereka yang dicurigai melakukan penghasutan lewat orasi, pernyataan sikap, tulisan, poster, spanduk, dan alat lainnya tanpa harus terlibat langsung dalam aksi teror.
Ancaman lain, Bagian 29, yang menyebutkan penegak hukum dapat menangkap dan menahan tersangka selama 14-20 hari tanpa perlu ada surat perintah. Tersangka, dalam beleid itu, merujuk pada siapapun yang dicurigai terlibat aksi teror.
Pasal-pasal itu bisa bertentangan dengan Kovenan untuk Hak Sipil dan Politik yang juga telah diratifikasi, selain Deklarasi HAM yang sudah dirancang sekaligus ditandatangani oleh Filipina.
(Antara)