Saham Murah dan Gorengan, Sebuah Pengantar
Kasus Jiwasraya dan Asabri, ramai diperbincangkan media. Kejaksaan Agung sudah menahan beberapa tersangka terkait Jiwasraya. Alasan utama, ada uang triliunan yang kabarnya hilang.
Karena sebab utama, nilai saham yang dibeli Jiwasraya sudah tak ada harga. Perusahan membeli saham di harga tinggi, lantas harganya terjun bebas. Imbasnya, sang pembeli kehilangan investasi.
Nilai saham rontok, tak sebagus di awal. Barangnya? Masih ada.
Jumlahnya? Masih tetap. Cuma itu, nilainya merosot ke titik nadir.
Petinggi Jiwasraya disinyalir melakukan cara investasi beresiko. Mencoba menginvestasikan uang dengan harapan dapat untung besar. Tapi bisa jadi, tak tepat membeli saham perusahaan.
Atau, adakah kongkalingkong dengan pemilik saham? Saya tak tahu juga. Kita tunggu ujung ceritanya saja.
Saya juga melakukan yang mirip dengan mereka. Melakukan investasi uang dengan membeli saham di pasar saham. Karena kalau beruntung, nilai uang bisa cepat terkerek dan mengembang.
Nilainya jelas mengalahkan kalau uang ditabung di bank. Yang instrumen pemberian imbal keuntungan selalu di bawah 10 persen. Dengan tempo waktu tertentu.
Saham dirasa juga lebih menguntungkan dibanding buat beli tanah atau emas. Karena pasar saham lebih likuid, cair. Barangnya selalu diperdagangkan tiap saat. Dengan catatan, sahamnya tiap saat ada yang jual dan beli.
Saya berinvestasi saham, sudah cukup lama. Dengan uang sendiri. Yang nilainya, bagi saya, lumayan juga.
Karena saya harus menyisihkan dari gaji bulanan. Saya mendaftar di sebuah perusahaan sekuritas. Lantas dibukakan akun rekening atas nama saya di bursa efek Indonesia.
Akun itu terikat dengan akun saya di bank konvensional. Kebetulan saya pakai Bank Mandiri. Untuk hal ini, keamanan uang terjamin.
Jadi saat akan membeli saham, saya cukup mentransfer uang ke rekening atas nama saya di Bank Mandiri di bursa efek. Lantas kalau saya menjual saham, uang jualannya akan tertampung di rekening saya juga. Kalau mau menarik uang di akun saham, saya tinggal mentransfernya ke rekening konvensional di Bank Mandiri.
Perusahaan sekuritas mendapatkan uang jasa dari transaksi ini. Oh ya, penjualan saham juga kena pajak penghasilan. Kini banyak perusahaan sekuritas memiliki aplikasi sendiri.
Jadi membeli atau menjual saham, segampang mengirim teks di aplikasi. Cukup tekan sana-sini di handphone kita. Jadi itu barang.
Jual beli pun tak butuh waktu sampai lima menit. Asal handphone terkoneksi dengan internet.
Nah, ada satu yang susah sekali. Yakni menemukan saham perusahaan yang bagus tapi harganya murah. Laku, dapat momentum akan segera terkerek naik.
Saya pernah membeli dan mengkoleksi beragam saham. Baik yang blue chip atau yang gorengan. Keduanya ada dua sisi mata uang yang berbeda.
Saham blue chip biasanya dari perusahaan besar. Contohnya, Gudang Garam, Unilever, BCA, Mandiri, atau BRI. Yang pasti, harga perlembarnya mahal.
Perusahaan ini terhitung berfundamental kuat. Bisnisnya jelas. Laporan keuangannya bagus.
Jajaran direksinya orang terpilih. Komisarisnya juga paten. Berbisnis dengan etika yang benar.
Karena stabil, gerak grafik harga sahamnya tak bikin jantungan. Banyak yang pengen mengkoleksi. Beli lantas diamkan saja.
Jadi investor tidur. Biar saham kerja sendiri. Sayangnya, ya itu, harganya selalu tinggi. Terus lama menunggunya.
Tentu saja di sini berlaku hukum sederhana jual beli. Kalau barang di pasar jarang, harganya mahal. Kalau barang banyak, ya harganya murah.
Kita ambil contoh harga perlembar saham Gudang Garam. Sekarang ini, berkisar di posisi Rp55.800. Aturan di Pasar Bursa Indonesia, sekali membeli, minimal satu lot alias 100 lembar.
Jadi kalau mau beli satu lot saham Gudang Garam, butuh uang Rp55, 8 juta. Mahal juga kan? Ada hal lain, yang membuat orang mau menahan saham. Biasanya, karena mereka menunggu pembagian deviden setiap tahun.
Contohnya lagi Gudang Garam. Tahun 2019, dia membagi deviden, perlembarnya dapat Rp2.600. Artinya, kalau kita punya satu lot, kita dapat jatah Rp2,6 juta.
Jadi keuntungan investor tak cuma menanti selisih harga perlembar. Tapi pembagian keuntungan yang lumayan. Kalau perusahaan berbisnis dengan baik.
Saya juga sering membeli saham murah. Biasanya harga satu lembarnya dibawah Rp100. Jadi tak butuh banyak uang.
Dulu disebut gorengan, karena harganya senilai beli gorengan di pinggir jalan. Padahal sekarang, harga gorengan sudah naik tinggi. Mungkin karena inflasi, lebih dari Rp1000 perbiji.
Istilah gorengan, sebenarnya bisa merujuk harga yang bisa gampang naik dan turun. Semudah mengoreng di wajan. Ini karena nilai kapitalisasi perusahaannya tak begitu tinggi.
Asal punya banyak uang, gampang diborong. Ketika diborong, barang jadi langka. Akhirnya harganya naik.
Jadi naiknya harga bukan sebab alami karena performa perusahaan. Tapi karena didesain. Oleh orang yang punya banyak uang. Bandar, biasa orang juga menyebutnya.
Contoh yang sederhana, adalah saat demam jangkrik atau tanaman gelombang cinta. Saat jadi trend, orang berbondong-bondong membeli. Pengen untung, lantas saat trend lewat. Barang itu tak ada harganya.
Bedanya di bursa saham, barang yang sama bisa berulang kali disetting seperti itu. Asal taat membuat laporan sesuai ketentuan pasar modal. Jadi makin pintar melihat celah, makin tebal uang digenggaman tangan.
Trend naik turunnya saham murah, ada di tangan para bandar. Bandar ada juga para pemilik perusahaan yang sudah terdaftar itu. Awalnya mereka membeli banyak saham saat harga murah.
Lantas, para pembeli eceran, seperti saya, ikut trend membeli. Saat harga di posisi tinggi, bandar pemborong, lantas menjualnya. Untungnya besar.
Pembeli eceran, akhirnya tertipu. Harga tak naik lagi. Takut rugi, barang pun dijual. Makin banyak saham dijual, harganya turun lagi.
Sampai di titik terbawah. Lantas saat itu, bandar tinggal mengulangi lagi cara yang sama. Borong lagi.
Di sini unsur spekulasinya tinggi sekali. Naik turunnya harga saham murah seperti roller coaster. Bikin jantung berdegup tidak teratur.
Naik turunnya harga biasanya hanya berlangsung sekejap. Bikin mulas perut. Jika tak telaten menantau, bisa kehilangan peluang tawa dan berakhir menjadi duka lara.
Untuk pergerakan yang tak wajar ini, otoritas bursa, menerapkan aturan yang jelas. Ada sistem otomatis untuk menghentikan perdagangan. Baik saat naik tak wajar atau turun tanpa rem penghalang.
Jika setelah sistem otomatis dibuka, yang terjadi makin gila. Kalau naik harganya makin naik. Kalau sekali turun, makin terjun.
Entahlah, mengapa para petinggi Jiwasraya memilih strategi berkongsi model ini untuk mencari laba secepat kilat. Padahal bikin jantungan tiap saat. Akhirnya, malah sakit jantung beneran, karena disetrap jaksa gedung bundar.
Saya pernah mengoleksi emiten yang jadi koleksi Jiwasraya. Pernah merasakan untung, juga buntung. Kalau untung senang, kalau buntung hanya bisa pegangan tiang.
Akhirnya uang nyangkut. Posisi barang di harga terbawah, Rp50 perlembar, tapi barang tak bergerak. Diam saja karena tidak ada yang mau membeli.
Dia akan kembali bergerak, kalau bandar mulai memainkan peran. Harga di bawah Rp50 perlembar, tidak diperdagangkan bebas. Ada pasar negosiasi.
Untuk main di sini, kita harus menghubungi pialang di sekuritas. Dia yang akan memasang harga penawaran baik untuk menjual atau membeli. Model ini, pasarnya hanya setengah hari. Dari jam 09.00 pagi sampai jam 12.00 siang.
Dalam membeli saham murah ini, referensi saya cuma satu. Insting dengan bersandar pada grafik. Biasanya saya akan melihat grafik selama setahun. Di harga berapa dia paling tinggi, dan di harga berapa dia paling murah.
Saat grafik di posisi paling bawah, saya mulai mengkoleksi. Belinya juga nyicil. Sedikit-sedikit. Biar kalau harganya turun lagi, saya tak begitu rugi.
Yang kadang tak masuk akal lagi, adalah saat emiten baru pencatatan di lantai bursa. Walau belum jelas performanya, orang bisa ramai membeli. Harganya bisa melejit. Sekali lagi, unsur spekulasi selalu menemani.
Kembali ke urusan emiten koleksi Jiwasraya, yang pemiliknya sudah ditahan Kejaksaan Agung itu. Saya berhenti memegangnya saat bertemu seorang teman. Dia pemilik perusahaan keuangan.
Masih muda sekali. Sekolahnya dulu di Malang. Kalau ngomong medok banget pokoknya.
Dia bercerita ditawari menjualkan program investasi pencadangan tanah dari anak perusaahan emiten itu. Jika laku, dapat komisi yang lumayan. Investor dapat keuntungan bulanan.
Pasalnya, model ini tak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Saat itu, dia memilih menolak pinangan. Katanya, modus ini, agak mirip saat perusahaan transportasi di Bandung, menjual program investasi. Melalui koperasi.
Tanamkan uang, tiap bulan dapat keuntungan lumayan. Masalahnya, saat bisnis utamanya tidak jelas, ya cuma skema ponzi yang dipakai. Uang dari anggota baru dipakai membayar anggota lama.
Terus saja sampai habis anggota barunya. Biasanya, saat baru dapat bagi hasil berturut-turut, langsung gelap mata. Langsung memasukkan semua uang.
Saat gagal bayar, hilang sudah semua tabungan. Pernah, dalam perjalanan ke Samarinda, seorang teman bercerita kalau dia ikut investasi di Bandung itu. Sedih rasanya.
Pas, kami lewat di sebuah lokasi tambang batu bara, terlihat ada logo perusahaan dari Bandung itu. Ada banyak eskavator yang nganggur. Tak beroperasi.
Konon, mereka coba masuk ke bisnis batubara. Tapi karena bukan keahliannya, rontok dia di tengah jalan. Padahal tanggungan pengembangan investasi dinanti.
Saya pun menyarankannya mengambil salah satu eskavator itu, "Setidaknya, kasih stiker disita investor." Dia tak menjawab. Matanya menerawang, dan hanya tersenyum masam.
Karena dia tahu, bisa jadi itu semua barang sewaan. Dan pemiliknya juga masih menagih. Yang pasti, uangnya yang hilang banyak sekali. Kabarnya, masih berkasus di pengadilan. Entah, bagaimana akhirnya.
Progam investasi anak perusahaan itu, sepertinya meledak. Masalahnya maksudnya. Karena par nasabah surat utangnya yang bersifat pinjaman individu ramai-ramai menagih. Minta uangnya dikembalikan. Desember 2019, di Surabaya ramai ceritanya.
Kembali ke urusan emiten saham itu. Akhirnya saya memilih cut loss. Alias jual rugi.
Tragisnya, sehari setelah saya jual, harganya naik lagi dua kali lipat. Nangis bombay saya. Saat itu harga dikisaran Rp180 an perlembar.
Kini, harganya hanya Rp50 per lembar. Saya yakin, tak cuma Jiwasraya yang menangis. Banyak pembeli ritel yang juga meratap dalam senyap. Karena uangnya juga hilang pergi entah ke mana.
Tentu saja, belajar dari kejadian ini, dibutuhkan pengawasan yang ketat dari otoritas bursa. Atas polah dan tingkah para pemain saham yang tak beretika ini. Sayangnya, otoritas bursa tak pernah membawa banyak penyimpangan itu ke meja hukum.
Semua berakhir dengan pencabutan saham dan sangsi administratif dan denda. Padahal banyak uang para pembeli eceran yang sirna. Yang awalnya ingin menabung saham buat uang sekolah anaknya.
Kini, saya memilih tak lagi aktif menabung saham. Masih banyak uang yang nyangkut di saham Rp50 atau harganya yang turun. Saya diamkan saja.
Kalau ada yang naik sedikit, atau impas harganya, saya memilih menjualnya. Lantas uangnya saya pakai untuk nyicil beli tanah petak saja. Karena tanah untuk rumah jumlahnya makin sedikit.
Tak ada lagi yang memproduksi tanah. Jumlahnya segitu saja. Walau kalau dijual lama, biar saja. Masih agak trauma saya dengan saham.
Kalau jumlah uang jualan rugi itu sedikit, saya berpikir menaruhnya di bawah kasur saja. Nilainya masih tetap. Karena, kalau ditabung di bank, jumlahnya juga berkurang, karena selalu kena biaya administrasi bulanan.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar.
Advertisement