SAFEnet Kecam Pemblokiran Internet di Papua dan Papua Barat
SAFEnet organisasi nirlaba yang bergerak untuk memperjuangkan hak-hal digital di kawasan Asia Tenggara mengecam tindakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.
Diketahui, pada Rabu 21 Agustus kemarin, melalui siaran pers Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) No. 155/HM/KOMINFO/08/2019 tentang Pemblokiran data di Papua dan Papua Barat.
Sebelumnnya pada Senin 19 Agustus, Kementruian Kominfo mengambil langkah untuk melakukan pelambatan akses internet di Papua dan Papua Barat untuk mencegah penyebaran hoax yang kian memicu aksi.
Menyikapi hal tersebut SAFEnet mengeluarkan petisi online "Nyalakan Lagi Internet di Papua dan Papua Barat" melalui platform change.org.
Dari rilis yang diterima Ngopibareng.id, petisi tersebut dilakukan untuk menuntut Presiden Jokowi, Menkominfo Rudiantara dan Menkopolhukam, Wiranto untuk segera menyalakan kembali internet di Papua dan Papua Barat.
"Petisi ini akan menjadi salah satu jalan yang akan ditempuh untuk mengupayakan agar internet di Papua dan Papua Barat dinyalakan lagi secepatnya,” ujar Executive Director SAFEnet, Damar Juniarto.
Menurutnya pembatasan akses informasi ini melanggar hak digital, terutama hak warga negara untuk dapat mengakses informasi, yang sebenarnya dilindungi oleh pasal 19 ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
“Kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan menyatakan tuntutan terkait self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri, adalah hak asasi manusia yang diatur dalam pembukaan UUD 1945, Konvenan Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi Indonesia,” ujar Kepala Divisi Akses Informasi SAFEnet Unggul Sagena.
Selain itu, Damar menyampaikan dampak dari pemblokiran dan pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat menyebabkan masyarakat terhambat untuk mengabarkan situasi keselamatan dirinya dan susah mendapat informasi, terganggunya kepentingan ekonomi, terhambatnya proses belajar mengajar dari mereka yang bergantung dalam memperoleh ilmu melalui internet.
"Selain itu komunikasi untuk kepentingan medis antara dokter, rumah sakit dan pasien, sulitnya jurnalis untuk menginformasikan fakta di lapangan, dan ekspresi masyarakat yang ingin menyampaikan pendapatnya atas situasi yang ada,” tutupnya.
Advertisement