Sadikin Pelukis Istimewa
Kekurangan ada kalanya malah jadi kelebihan. Kata kuncinya satu yaitu semangat pantang menyerah. Itulah yang dilakukan Sadikin Pard.
Sebagai seorang laki-laki, bagaimana dia disebut tidak punya kekurangan, karena Sadikin memang difabel, atau different abilit, atau memiliki kemampuan yang berbeda.
Ya, Sadikin tidak memiliki kedua tangan. Begitupun tubuhnya kecil di bawah rata-rata. Tapi justru karena kekurangan fisiknya itulah, sebagai pelukis, dia memiliki kemampuan melukis dengan kakinya. Akhirnya Sadikin yang kecil menjadi Sadikin besar, lebih besar dibanding rata-rata.
Hari Sabtu lalu, dia meresmikan galerinya. Kalau ini tentu kemampuan yang masih jadi impian pelukis pada umumnya. Punya galeri, tempat sepanjang waktu dapat memamerkan karya-karyanya. Bisa dikunjungi orang tak henti-hentinya. Impian para pelukis.
Tapi bagi Sadikin, punya galeri bukan lagi impian, melainkan kenyataan. Karena itu dia menangis tersedu di atas panggung ketika menyampaikan sambutan pada peresmian galerinya yang diberi nama Sadikin Pard Gallery.
“Saya lahir dari orang tua kurang mampu. Saya sendiri memiliki kekurangan. Tapi sayatidak pernah menyerah. Walaupun saya melukis dengan kaki, tapi saya tidak menyerah. Dulu banyak yang mengejek lukisan saya. Tapi saya tidak menyerah. Kalau sekarang saya punya galeri seperti ini, tidak bim salabim. Tapi karena melalui perjuangan yang tanpa kenal menyerah,” kata Sadikin dengan menangis di depan mikrofon. Berkali-kali dia berkata pantang atau tidak menyerah.
Galeri milik Sadikin terdiri dari tiga lantai, berdiri di atas tanah seluas 200 meter yang berada di Jl. Selat Sunda Blok D5, Perumahan Sawojajara, Kota Malang, Jawa Timur. Lantai paling bawah dipergunakan untuk tempat tinggal dia bersama Tini istrinya, serta kedua anaknya. Lantai dua direncanakan untuk kafe, sedang lantai tiga untuk galeri lukisan. Meskipun multi fungsi, Sadikin menyebutnya sebagai galeri.
Kecuali lantai bawah yang berfungsi sebagai rumah, lantai dua dan tiga dibuat jadi ruang terbuka. Tanpa dinding, kecuali berpagar kaca. Di komplek perumahan Sawojajar Malang, bangunan melengkung milik Sadikin ini jadi paling menonjol.
“Saya sendiri yang merancang bangunan ini, dikerjakan hanya oleh tiga tukang, tanpa arsitek. Pelan-pelan saja disesuaikan dengan rejeki. Setelah dua tahun akhirnya bangunan ini selesai. Alhamdulillah, saya bersyukur sekali bisa mewujudkan mimpi,” cerita Sadikin pada Ngopibareng.id.
Sadikin bukan hanya pelukis, ternyata. Tapi dia juga perancang dan pedagang. Maka tidak berlebihan kalau disebut dia multi talenta. Jago lobi. Suka tertawa. Bertemu siapapun, termasuk gubernur bupati dan wali kota dia tak canggung. Bahkan dia berani ngerjain mereka, kemudian sama-sama tertawa ngakak. Mudah berteman, baik dengan sesama seniman maupun dengan birokrat dan pengusaha. Tidak banyak pelukis yang mampu melakukan apa yang sudah dikerjakan pelukis yang lahir 29 Oktober 1966 ini.
Ada organisasi internasional yang berpusat di Swiss, namanya AMFPA (Association of Mouth and Foot Painting Artists). Organisasi didirikan Arnulf Erich Stegmann tahun 1957. Sesuai namanya, semua anggota organisasi ini adalah pelukis yang melukis dengan kaki atau mulut. Itu berarti semua anggota AMFPA yang total berjumlah 820 orang di 76 negara ini adalah difabel.
Sadikin adalah salah seorang anggota AMFPA. Di Indonesia hanya ada lima orang anggotanya, selain Sadikin adalah Agus Yusuf (Madiun), Sabar Subardi (Salatiga), Mohamad Asrul (Bali) dan Patricia dari Bandung. Mereka berstatus Anggota, atau Member. Artinya, mereka setiap tahun medapatkan imbalan dari AMFPA, yang besarnya bisa mencapai hampir Rp 20 juta/bulannya.
Status di bawah Anggota adalah Calon Anggota. Di Indonesia, pelukis difabel yang berstatus Calon Anggota jumlahnya mencapai puluhan. Mereka perlu waktu beberapa tahun untuk naik status menjadi Anggota. Banyak persyaratan dan ketentuannya. Status paling atas adalah Full Member. Di seluruh dunia hanya ada 40 pelukis difabel berstatus Anggota Penuh. Jumlah ini tidak akan bertambah. Kalau ada Anggota Penuh yang meninggal, maka seorang berstatus Anggota akan naik menggantikan. Tidak ada pelukis Indonesia yang berstatus Anggota Penuh dari AMFPA.
Agus Yusuf, dari Madiun, salah satu pelukis berstatus Anggota AMFPA, hadir juga pada hajatan Sadikin meresmikan galerinya. Dia datang bersama istri dan salah satu dari dua anaknya. Agus bersyukur ada organisasi AMFPA yang menaungi diri dan keempat kawannya. “Soalnya di dalam negeri sendiri tidak ada yang memperhatikan,” katanya.
“Kami itu bukannya menerima bantuan dari AMFPA, melainkan kami ini bekerja. Bekerjanya ya melukis. Setiap bulan kami kirim lukisan ke AMFPA, mereka akan memilih mana yang bagus. Lukisan yang bagus akan difoto dijadikan dicetak jadi kartu pos. Nah kartu pos dari karya-karya anggota itu dijual ke seluruh dunia. Kami para pelukisnya memperoleh royalti dari hasil penjualan kartu pos itu, yang ditransfer setiap tahun,” kata Agus Yusuf yang cara melukisnya dengan mulut menggigit kwas.
Beda dengan Sadikin yang melukis dengan kaki, Agus melukis dengan mulut karena kakinya cuma satu, sejak lahir dia sudah dalam kondisi seperti itu. Tetapi dalam hal lobi dan berjejaring, harus diakui Agus memang tidak sejago Sadikin. Bahkan dia cenderung pendiam.
Sadikin, sebagaimana Agus, setiap tahun juga menerima transferan dari AMFPA. “Ditransfer bukan pakai rupiah rek, tapi pakai franc swiss,” kata Sadikin, sambil ketawa ngakak. “Tapi AMFPA itu bukan lembaga sosial lho ya. Banyak yang mengira AMFPA lembaga sosial atau yang semacamnya. AMFPA adalah organisasi profesional,” kata Sadikin.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya ini, Sadikin sudah beberapa kali melanglang ke luar negeri. Selain umroh bersama keluarga ke Arab Saudi, dia juga ke Swiss, Perancis, Spanyol dan Brasil.
Sebagai pelukis, Sadikin ternyatajuga seringkali mendapatkan proyek pekerjaan yang lumayan. Tahun lalu misalnya, seorang dokter sepesialis di Surabaya memberinya proyek untuk mengerjakan mural pada rumah baru dokter itu di kawasan elit Dharmahusada Indah Surabaya. Dinding-dinding yang ada di tiga lantai rumah itu minta dimural semua, nilai proyeknya lumayan juga, hampir Rp 500 juta.
Tentu Sadikin tidak mengerjakan proyek mural ini sendirian, melainkan bersama salah satu anak serta tiga temannya sesama pelukis dari Malang. Awal tahun 2019 dia juga memperoleh pekerjaan serupa, dengan nilai yang juga nyaris sama.
Sadikin Pard, begitu tertulis di kartu namanya, adalah serorang pelukis difabel yang tidak terlalu sulit mendapatkan uang, dan itu amat disyukurinya, tetapi dia juga orang yang gampang membantu teman-temannya sesama pelukis, yang membutuhkan. (m. anis)