Sadar Nafas Profetik, Hadapi Kerusakan Alam dan Kemanusiaan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyebut alam pikiran antroposen sebagai sumber penyebab terciptanya krisis perubahan iklim global.
Antroposen secara sederhana dimaknai sebagai suatu periode waktu di mana aktivitas manusia memberikan dampak yang besar pada perkembangan lingkungan. Antroposen memandang bahwa manusia sebagai pusat semesta berhak dan bebas mengeksploitasi bumi untuk kepentingannya sendiri.
“Era antroposen adalah saat ketika manusia di era modern dengan segala akibat dan aktivitasnya telah menimbulkan kerusakan alam dan semesta yang kerusakan itu sadar maupun tidak sadar terjadi akibat dari berbagai macam alam pikiran serta perilaku dan kebijakan ekonomi-politik di setiap negara dan bangsa di era ini,” jelasnya.
Dalam pembukaan Global Forum for Climate Movement: Promoting Green Culture, Innovation, and Cooperation di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, Jumat (17 November 2023), Haedar mengatakan jika pandangan antroposen telah mengubah relasi antara manusia dengan alam secara serius.
Tiga Tahap Kebudayaan Manusia
Haedar lalu mengutip pembagian tiga tahap kebudayaan manusia oleh filsuf Belanda, van Peursen. Di tahap mistis, manusia hidup tersubordinasi dan menyatu dengan alam. Pada tahap ontologis, manusia mulai berjarak dengan alam. Sedangkan pada tahap fungsional (era modern/antroposen), manusia mulai mengeksploitasi alam dengan penguasaan iptek yang dimilikinya.
Perubahan relasi ini menurut Haedar adalah tantangan yang harus dijawab oleh seluruh agama di dunia. Sebab pandangan antroposen yang bisa mewujud lewat kapitalisme, liberalisme, dan sekularisme berpotensi untuk terus berkembang hingga pada tahap tertentu yang oleh Noval Harari diistilahkan sebagai homo-deus, yaitu era ketika dominasi kekuatan manusia menghegemoni apapun di luar dirinya.
“Bahkan karena begitu dominannya pikiran antroposentrik, manusia kata Harari mengarah pada era homo deus, lahirnya manusia super dewa yang bukan hanya mengeksploitasi alam, tapi juga bisa memangsa sesama umat manusia karena ambisi ekonomi-politik dan hegemoni global lewat perang, agresi dan segala tindakan seperti yang terjadi di Palestina dan berbagai tempat lainnya, bahkan membawa pada nihilisme terhadap kekuatan Tuhan, agama dan etika yang sebetulnya bisa jadi peredam dari nafsu serakah manusia,” ingat Haedar.
Muhammadiyah, Berbasis Nafas Profetik
Organisasi kesehatan dunia, WHO menyebut perubahan iklim (climate change) sebagai masalah terbesar yang dihadapi oleh umat manusia di abad ini.
Selain membawa perubahan temperatur bumi yang ekstrim, perubahan iklim juga membawa dampak turunan seperti naiknya intensitas bencana alam, penularan wabah penyakit, hingga konflik sosial.
Tantangan ini kata Haedar harus dihadapi secara komprehensif oleh berbagai agama secara kolaboratif agar bumi tidak lagi menjadi apa yang diistilahkan oleh David Wallace-Wells sebagai tempat yang tidak bisa ditinggali (The Uninhabitable Earth).
“Maka jika kita ingin melakukan usaha-usaha perubahan dan langkah-langkah yang relevan untuk memecahkan masalah perubahan iklim dengan segala dampak ekosistemnya, diperlukan perubahan paradigma dari antroposentrisme ke teo-antroposentrisme.
"Atau paradigma profetik di mana agama hadir untuk memberikan kerangka nilai dan etika terhadap manusia dari tingkat lokal sampai global untuk selalu memiliki pandangan, sikap, dan orientasi tindakan bahwa dia hidup (di bumi) tidak sendiri, bahwa dia hidup bersama orang lain, bahwa alam semesta termasuk bumi yang ditempati oleh siapapun itu hanya satu-satunya tempat tinggal yang disebut sebagai home, rumah tempat kita (hidup) bersama,” jelasnya.
Pada usaha mencegah dampak perubahan iklim ini, Muhammadiyah kata Haedar mengedepankan pandangan profetik sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Tuhan di muka bumi). Pandangan ini menurutnya menuntut manusia untuk bertanggung jawab, memiliki etika bahwa kehidupan di bumi adalah milik bersama. Maka paradigma pembangunan tidak boleh membawa kerusakan.
“Kita perlu meninjau kembali paradigma kapitalisme, liberalisme, dan sekularisme global di mana manusia merasa digdaya dengan dirinya sendiri, tanpa orang lain, tanpa alam semesta, bahkan tanpa tuhan dan agama.
"Paradigma ini perlu kita bangun dan kita rekonstruksi dengan paradigma baru, yakni membangun tanpa merusak, bahkan membangun dengan membawa kemaslahatan,” kata Haedar.
“Sekali satu bangsa, satu etnik menghancurkan alam, menghancurkan lingkungan, bahkan menghancurkan sesama di sekitarnya, sejatinya dia sedang membuka ruang kiamat yang menghancurkan lingkungan dan alam semesta di mana dia tinggal. Kerangka berpikir ini hanya ada pada agama dan bangsa yang bertuhan, apapun agamanya dan perspektif ketuhanannya.
Maka Muhammadiyah memandang di forum yang penting ini bagaimana kita bisa mendeklarasikan suatu pandangan yang bersifat profetik, yang bersifat ada pada teo-antroposentrik di mana langit dan bumi ada di satu kesatuan dan manusia mampu menerjemahkannya dalam perspektif dia sebagai khalifatullah fil ardh yang membangun dan memakmurkan kehidupan alam semesta,” tegasnya.