Saatnya PDIP Merenung, Jokowi Milik Siapa?
Membaca dan mempelajari peta pertarungan politik di arena pilkada serentak yang baru saja usai, ada catatan yang dapat ditarik sebagai benang merah hubungan antara pilkada dan pilpres yang menarik untuk dikaji. Membaca hasil pilkada serentak kali ini, PDIP sebagai partai terbesar dan pemenang Pemilu 2014, sudah saatnya melakukan evaluasi kerja politik para kader dan fungsionarisnya yang diberi tugas sebagai petarung di lapangan pilkada.
Karena bagi PDIP, untuk 2019 hampir seluruh daerah strategis yang merupakan kunci pemenangan Pilpres-Pileg 2019, yakni Jawa sebagai lumbung perolehan suara terbesar (sekitar 65 persen suara), semuanya dalam keadaan kritis. Hal ini dapat terbaca dengan jelas setelah kekalahan pilkada di Banten, Jakarta, kini disusul oleh Jabar dan Jatim. Bahkan Jawa Tengah yang menang mempertahankan Ganjar, masih layak dimasukkan dalam kategori yang juga kritis. Mengapa? Karena kemenangan Ganjar di Jawa Tengah, lumbung massa PDIP, yang hanya berada di angka satu digit terhadap pendatang baru Sudirman Said, bisa dikategorikan rawan dan kritis. Sementara Daerah Istimewa Yogyakarta, sudah lama lepas dari genggaman PDIP.
Berdasarkan kabar bisik-bisik yang beredar, dalam pilkada kali ini, mesin partai kurang berjalan secara efektif. Hal ini pun bukan hanya terjadi di Jawa Tengah, tapi hampir di seluruh wilayah dimana jagoan PDIP berlaga di medan pilkada.
Yang paling nyata di Jatim. Tempat-tempat pemilihan dimana PDIP dipastikan akan meraup perolehan suara yang signifikan, malah jeblok dengan perolehan suara yang sangat mengejutkan. Walau atas kekalahan ini, alasan yang diajukan sebagai argumentasi cukup masuk akal; pilihan sembrono memasukkan PKS ke barisan pendukung Gus Ipul-Puti. Alergi politik massa banteng dan pihak gereja berikut umatnya, pendukung tradisioanal PDIP terhadap PKS, masih begitu tinggi. Utamanya di daerah pemilihan Surabaya dan Sidoardjo.
Di lain pihak, menjual nama besar Bung Karno dengan pendekatan emosional semata, ternyata tak lagi begitu efektif. Tanpa kejelasan pijakan ideologi di satu sisi, dan memahami realita pasar yang sudah terkonteminasi dengan pendekatan pragmatis-ekonomis, ternyata membuahkan hasil capaian yang jauh dari target dan harapan. Kekalahan di Jawa Timur ini, telah memperjelas kenyataan bahwa kerja politik yang memahami pasar dan pergeseran paradigma politik belakangan ini, lebih menentukan hasil akhir kinerja politik di arena Pilkada, dan tentunya pada pileg dan pilpres mendatang.
Upaya Megawati yang mencoba membangun emosi massa pemilih dengan pidatonya yang begitu dramatik, terbukti mengalami kemandulan respon masyarakat Jawa Timur yang begitu fanatik terhadap Bung Karno berikut simbol-simbolnya. Di lain sisi, para pemilih pemula yang terdiri dari para remaja yang jumlahnya cukup signifikan, mereka sangat a ideologis-historis.
Sementara di kalangan para Sukarnois, kelompok tradisionil pecinta Bung Karno menuntut kejelasan pijakan ideologi PDIP dengan menuntut jawaban serius alasan menggandeng PKS dalam konteks ideologi. Hal mana telah menggelembungkan kejenuhan terhadap politik partai yang serba pragmatis dan non ideologis.
Hal yang juga menarik, lewat Pilkada Jawa Timur ini, Jokowi yang sering distempel sebagai kader partai dan ‘petugas partai’, ternyata telah berhasil mebangun dirinya sebagai institusi politik tersendiri. Apakah Jokowi sama dengan PDIP, dan PDIP melekat dalam setiap gerak politik Jokowi? Jawabannya adalah hasil Pilkada Jawa Timur..TIDAK! Jokowi secara cerdik telah berhasil membangun kekuatan sendiri melalui massa pendukungnya yang mengatasnamakan ‘relawan Jokowi’. Mereka berasal dari segala partai, walau awalnya warna merah banteng yang dominan.
Langkah Jokowi ini bisa jadi untuk menjawab Megawati yang selalu memberinya stempel sang ‘petugas partai’, sekalipun ia telah menjabat sebagai orang nomer satu di republik ini. Setidaknya lewat pilkada ini pesan politik yang agaknya ingin disampaikan Jokowi kepada Mega kira-kira berbunyi...” Maaf ibu...I am no longer Petugas Partai, lho...! Saya adalah Pemimpin, Presiden RI, dan saya politisi yang perlu Anda hargai..!’’
Agaknya buat Jokowi, cukup membuktikan dirinya sebagai petugas partai yang baik dengan selalu hadir di setiap Rakernas dan perhelatan akbar, seperti HUT. PDIP, dan lain-lain. Selebihnya dengan cerdik ia memoncerkan kharisma poliktiknya. Walhasil, sekarang justru Jokowi lebih layak yang mempersilahkan PDIP dan partai lain berkoalisi dengan dirinya.
Orang Jawa bilang...”wolak walike jaman, yo ngene iki..!”
Bravo pak Jokowi, you are the real winner! Dan untuk PDIP silakan merenung dan bertanya; sebenarnya Jokowi ini milik siapa?!
*Erros Djarot - Dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com