Saatnya Menyapa Anak Tiri Surabaya
Tiba-tiba saya ditelepon Sri Sajekti 'Jeanette' Sudjunadi. "Mas bisa nggak ketemu untuk diskusi tentang kebudayaan?," katanya lewat telpon.
Saya pun menyanggupinya. Ketua DPD NasDem Jawa Timur ini sudah saya kenal sejak lama. Ketika saya masih menjadi wartawan. Saat ia menjadi bos biro iklan besar di Jakarta.
Ia bercerita baru saja dua hari berada di Banyuwangi. Blusukan kampung. Dari blusukan itu, kekagumannya kepada Bupati Azwar Anas bertambah. Meski dia bupati dari beda partai.
Apa yang membuat kagum? Kemampuan Azwar Anas dalam menggerakkan kesenian di kampung-kampung. "Di kampung-kampung, kesenian tradisional mereka begitu hidup. Terasa sekali," katanya.
Ia pun kemudian flashback ke masa kecilnya di Surabaya. Saat sering diajak orang tuanya nonton berbagai pertunjukan di Taman Hiburan Rakyat (THR). Mulai dari wayang orang, ludruk, ketoprak, dan lawak Srimulat.
Jeannet memang asli Arek Surabaya. Masa kecilnya akrab dengan perkampungan di sekitar Jalan Arjuno. "Orang tua saya dulu juga suka nonton tonil di Balai Sahabat," katanya.
Balai Sahabat memang menjadi salah satu tempat kongkow yang terkenal di jaman dulu. Lokasinya ada di belakang Siola. Kono gedung tersebut menjadi milik Yayasan.
Kenangannya di masa kecil itulah yang membuat ia tergerak memikirkan bangkitnya kembali kesenian di Surabaya. Agar generasi baru juga mengenal kesenian asli di daerahnya.
Ia lantas membandingkan putrinya yang kuliah di Inggris. Yang hanya mengenal teater yang berkembang di sana. Yang tidak hanya menjadi sebuah pertunjukan. Tapi juga destinasi wisata.
Hampir setiap kota modern memang menyuguhkan destinasi wisata sebuah pertunjukan. Yang tampil setiap hari. Terkadang sehari pentas dua kali. Di hari libur bisa tiga kali sehari.
Dengan demikian, kesenian tak hanya menghibur orang. Tapi juga bisa menyejahterakan para senimannya. Karena itu, pendidikan seni dengan berbagai jurusan pun ikut berkembang.
Mulai seni pertunjukan musik, teater dan sebagainya. Menjadi ilmu terapan yang menopang dunia pertunjukan bisa terus hidup selamanya. Juga tidak bisa membuat bosan berkali-kali menontonya.
Kesenian, menurut saya, memang tidak bisa berdiri sendiri. Perlu ada penopang yang tak hanya diserahkan kepada senimannya sendiri. Perlu dukungan pemerintah untuk membangkitkan.
Setidaknya ada dua yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Pertama ketersediaan venue alias tempat pertunjukan yang permanen dan terjangkau bagi para seniman. Venue tidak melulu dalam bentuk gedung. Bisa juga jalan.
Dulu saya membayangkan jalan Tunjungan yang legendaris bisa menjadi veneu bagi para seniman jalanan. Mereka bisa perform di sepanjang jalan tersebut. Namun bukan kelas ngamen ala ala, tapi street performance yang serius.
Kedua, Plaza Balai Pemuda. Kawasan itu sudah dibangun dengan sangat baik. Tempat parkir bawah tanah. Ada halaman lapang yang sangat layak untuk menjadi venue permanen bagi para seniman Surabaya. Tinggal memberi panggung, soundsystem, dan lighting permanen.
Tentu para seniman yang bisa tampil dalam veneu publik seperti di Jalan Tunjungan maupun Plaza Balai Pemuda tidak boleh asal-asal. Harus lolos kurasi yang anggotanya para seniman kredibel. Mewakili berbagai seni pertunjukan.
Cukupkah? Belum. Perlu juga pemerintah mengungkit penonton dengan menjadikan seni pertunjukan sebagai destinasi wisata. Hampir semua seni pertunjukan dunia hidup beriringan dengan pariwisata. Menjadi destinasi alternatif.
Bahasanya Jeannet yang basicnya orang kreatif seni yang termonetisasi. Seni pertunjukan yang menghasilan reveneu sehingga bisa menjaga kualitas seni pertunjukan itu sendiri. Tanpa itu tak mungkin kesenian bisa hidup dan berkelanjutan.
Karena itu, kepemimpinan kota tidak hanya cukup menciptakan infrastruktur fisik, tapi juga menciptakan pasar agar semua potensi dalam kota hidup dan berkelanjutan. Kolaborasi dengan berbagai potensi kota menjadi sangat penting.
Banyuwangi bisa menjadi contoh sukses bagaimana mereka menghidupkan heliat seni tradisional melalui tourisme. Azwar Anas tidak hanya jago dalam membangun infrastruktur fisik, tapi juga menyiapkan konten atau event berkelanjutan yang menghidupan kesenian daerahnya.
Ia menggarapkan secara konsisten selama 10 tahun. Dan karena itu, Banyuwangi sejak itu berkembang menjadi Shadow of Bali, bayang-bayang Bali sebagai tujuan wisata. Membangun infrastruktur sekaligus kontennya dengan event beragam dan berkelaunjutan.
Surabaya mempunyai banyak sumberdaya seni pertunjukan yang sekaligus bisa menjadi destinasi wisata. Hanya saja mereka selama ini seakan masih menjadi anak tiri yang terabaikan. Menjadi kekuatan yang dioptimalkan. Bahkan bisa disebut tersingkirkan.
Rasanya saatnya merengkuh kembali anak tiri para seniman pertunjukan Surabaya. Menjadikan mereka sebagai bagian dari pembangunan kota. Memperkaya keindahan dan kebersihan kota yang telah ada.
Sungguh kita berharap walikota terpilih ke depan mampu merangkul semua anak yang menjadi anak tiri selama ini. Menjadikan mereka anak kandung untuk sebuah bangunan keluarga yang menyenangkan.
Mosok raiso Rek!