Saat VAR Dianggap Sebagai Biang Kerok
Sepak bola tak bisa lepas dari kontroversi. Bahkan penggunaan teknologi canggih sekalipun masih menimbulkan perdebatan. Setidaknya hal itulah yang terjadi dalam dua pekan awal Premier League 2019-2020, dimana video assistant referee dianggap sebagai biang kerok oleh beberapa pihak yang merasa dirugikan.
Dari seluruh pertandingan yang sudah digelar di pekan pertama dan kedua, ada dua kasus yang melibatkan VAR sebagai pemicunya. Selain gol gelandang Wolverhampton, Leander Dendoncker dianulir wasit setelah melihat VAR, kasus kedua menimpa Manchester City.
City nyaris menang atas Tottenham Hotspur andai gol Gabriel Jesus di menit-menit akhir sebelum laga bubar tak dianulir wasit. Sayang, sang pengadil akhirnya tak mengesahkan gol Jesus.
Kedua proses gol itu memiliki kemiripan, Jika gol Dendoncker dibatalkan karena bola sundulannya sempat mengenai tangan temannya sebelum meluncur masuk ke jala Leicester, Jesus sebaliknya, karena sebelum sampai ke dirinya, bola lebih dulu mengenai tangan Aemeryc Laporte.
Wasit tak mempedulikan proses handball itu disengaja atau tidak, dia memutuskan gol itu tidak sah karena mengenai tangan lebih dulu sebelum gol itu tercipta.
Bagi tim yang golnya dianulir, tentu mereka merasa dirugikan oleh VAR. Namun sebaliknya, bagi tim lawan teknologi itu menjadi dewa penyelamat.
Tak sedikit yang berpendapat, VAR telah mengubah sepak bola tak perlu dipertanyakan lagi, karena keputusan diambil dengan benar-benar cermat berdasarkan tayangan video yang bisa diulang-ulang untuk memastikan kebenaran yang terjadi.
Benar saja, dengan 10 kamera yang terpasang di semua sisi lapangan, seluruh area pertandingan dapat dijangkau, sehingga tak akan ada satu pun kejadian yang luput dari sorot kamera karena sebuah peristiwa bisa dilihat dari berbagai sudut.
Sayangnya, sejumlah manajer dan pemain menyangkal bukti yang ditangkap oleh teknologi ini. Padahal, di musim sebelumnya banyak yang meminta VAR digunakan agar akurasi keputusan wasit bisa dipertanggungjawabkan.
Tak cuma mereka, para penggemar dan pengamat yang selama ini kerap mencela wasit juga turut berteriak, alih-alih mendukung keputusan korps pengadil berdasarkan pengamatan VAR yang telah dilakukan.
Bukankah mereka juga menghendaki VAR ketika banyak kejadian kontroversial di sepanjang musim lalu?
Keberadaan VAR memang tak menjamin keputusan diambil secara obyektif. Teknologi ini juga tak menggaransi keputusan dibuat dengan akurasi 100 persen, karena keputusan terakhir tetap ada di tangan wasit. Tapi setidaknya VAR meminimalkan kesalahan fatal dalam pengambilan keputusan di lapangan.
Seperti dikutip dari The Sun, pada Mei 2019 lalu Ketua Komisi Wasit FA, Mike Riley, mengungkapkan bahwa hanya 82 persen dari keputusan wasit di pertandingan di Premier League musim lalu yang benar. Artinya satu dari lima keputusan adalah salah.
VAR memang tidak akan mengakhiri kesalahan. Karena kontroversi tetap akan bermunculan. Tetapi sebagian besar klub menginginkan adanya VAR. Sehingga atas kesepakatan bersama itu pula VAR akhirnya digunakan di Premier League musim ini.
Selain konsensus itu, tuntutan perusahaan TV juga memengaruhi. Sebab VAR menjadikan penonton di stadion, serta mereka yang ada di lapangan, akhirnya bisa mengetahui lebih jelas proses sebuah insiden. Sehingga ada kesamaan persepsi dengan mereka yang menyaksikan dari layar kaca yang selama ini lebih mengetahui prosesnya melalui tayangan replay.