Saat Seseorang Berwajah Kera, Ini Sikap Kiai Hasyim Asy’ari
Menjadi pembicaraan umum seorang kiai, karena penglihatannya linuwih hingga ketika melihat orang lain terkadang dilihatnya seperi kera. “Ustadz, bisakah dijelaskan soal ini. Benarkah, seorang seperti disebut wali?”.
Demikian ditanyakan Imam Wahyudin, warga Kenjeran Surabaya pada ngopibareng.id. Untuk menjawab hal itu, kisah yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari ini bisa menjadi penjelasan.
Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya At-Tibyân fin Nahyi ‘an Muqatha’atil Arhâm wal Aqârib wal Ikhwân bercerita:
Sungguh, aku pernah melihat dengan dua mata kepalaku sendiri. Ada orang alim, cendekia dalam bidang agama. Ia begitu tekun beribadah. Kehidupan malamnya diselimuti ibadah. Sedang siangnya, ia jalani dengan berpuasa.
Orang satu ini tak pernah berbicara kecuali saat darurat. Hanya saat terpaksa saja ia mau berbicara. Haji sudah berulang kali ditunaikan. Hingga ulama ini sudah menjadi guru thariqah Al-Naqsyabandiyah.
Waktu yang dimiliki, sebagian ia habiskan untuk uzlah, menjauh dari hiruk pikuk kehidupan manusia. Ia tak pernah keluar rumah kecuali dalam rangka shalat jamaah dan mengajar dzikir kepada masyarakat.
Anehnya, orang ini, saat sampai di masjid, justru malah marah-marah kepada segenap hadirin dengan deraian kalimat kotor yang keluar dari mulutnya. Kemudian ia segera bergegas, beranjak kembali pulang ke rumahnya dengan segera.
Suatu saat, ia kedatangan tamu menteri, meminta doa kiai ini supaya kehidupan Pak Menteri menjadi enak. Sejumlah uang diberikan, dan diterima kiai ini dengan baik, disambut penuh keakraban, lembut serta penuh kedekatan.
“Iya, Anda benar, Saudaraku. Sekarang, aku tinggalkan aktivitas uzlah, kegiatan menyendiriku dari kerumunan ramainya manusia. Aku melakoni hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.”
Beberapa hari setelah itu, aku datangi rumahnya. Aku berdiri tepat di depan rumah yang ia singgahi. Berdiri sangat lama. Ku panggil ia berulang kali, tak kunjung mendapat jawaban. Hingga ada seorang wanita keluar dari dalam rumah menyapaku dari balik daun pintu.
“Saudaramu tak berkenan keluar menemui siapa pun,” kata wanita ini mengutarakan, bahwa orang yang hendak kutemui memang berada di dalam namun tak mau menemui tamunya.
“Tolong bilangkan ke dia ya. Saudaranya, Muhammad Hasyim Asy’ari ingin menemuinya. Hendaknya ia keluar. Kalau sampai tak mau keluar, aku akan keluarkan ia secara paksa,” begitu kataku pada wanita tersebut.
Wanita itu menjauh dari arah aku berbicara, lalu menyampaikan pesanku kepada pria yang ku maksud. Sejenak kemudian, kiai ini pun datang.
“Hai Saudaraku. Aku dapat kabar, engkau itu katanya begini, begitu?” tanyaku.
“Hal apa yang mendorong sampean melakukan hal tersebut?”
“Begini,” pria ini mulai menjawab. Setiap kali aku melihat manusia, yang tampak dalam pandangan mataku, orang-orang selalu tidak tampil dengan wajah asli mereka. Di mataku, yang terlihat, mereka tampak seperti kera.
Kujawab laki-laki itu, “Barangkali, setan telah menyihir pandangan kedua bola mata sampean. Ia telah menggoda hatimu, membisiki dirimu, ‘eh, janganlah kamu keluar ke mana-mana. Biar masyarakat yakin, kamu itu termasuk walinya Allah. Dengan itu, orang-orang akan berbondong-bondong sowan ke rumahmu untuk meminta berkah dan membawa banyak amplop serta barang bawaan lain’. Oleh karena itu, cobalah, aku minta engkau renungkan ini. Aku berharap engkau segera insyaf.”
Aku lantas menyitir hadits Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam yang berpesan kepada Abdullah bin Umar bin Ash sebagai berikut:
وَاِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Artinya: “Sesungguhnya, tamumu mempunyai hak yang harus kamu penuhi.”
Selain itu, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam juga berpesan:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.”
Selang beberapa hari, orang ini datang ke rumah, menemuiku. Sejenak, ia kemudian berkata “Iya, Anda benar, Saudaraku. Sekarang, aku tinggalkan aktivitas uzlah, kegiatan menyendiriku dari kerumunan ramainya manusia. Aku melakoni hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.”
Proses ini kemudian ia jalani hingga ia meninggal dunia.
Pelajaran dari kisah
Cerita langsung dari pendiri Nahdlatul Ulama ini banyak memberi pelajaran kepada kita. Di antaranya, pertama, menyendiri dengan tidak mau bergumul bersama masyarakat luas dengan perasaan, kita lebih baik dari orang lain, sedangkan orang di sekitar kita semuanya buruk, tidak layak dikumpuli, merupakan tindakan yang kurang tepat.
Kedua, kita perlu menggunakan dalil dari satu sudut pandang lain. Jika benar-benar ada orang yang menurut kita tidak baik yang datang ke rumah, kita tidak boleh hanya mengamati sudut ketidakbaikan orang tersebut lalu kita tidak mau menemuinya. Pakailah dalil bahwa tamu mempunyai hak untuk dihormati sebagaimana dalam hadis di atas tanpa pandang bulu siapa saja tamu kita.
Ketiga, pentingnya hidup bersosial, berkumpul dengan orang banyak. Supaya kita terbiasa menyikapi perbedaan. Orang yang tidak mau bergumul, ia akan merasa paling shalih sendiri, ia tidak pernah melihat keshalihan-keshalihan orang lain sebab ia menutup mata dengan tidak mau berkumpul dengan manusia.
Keempat, kita perlu waspada atas kelebihan-kelebihan kita. Jangan-jangan itu adalah tipu daya setan yang mengancam keberadaan kita. (adi)
Advertisement