Saat Meninggalkan Istana, Memori Haul ke-15 Gus Dur
Desember dikenal sebagai bulan Gus Dur. Bulan ketika KH Abdurrahman Wahid, almaghfurlah, dikenang kembali dalam kemasan acara haul. Kali ini, Haul ke-15 Gus Dur diperingati di Ciganjur pada Sabtu, 21 Desember 2024. Dihadiri sejumlah tokoh, seperti KH Ahmad Mustofa Bisri, Menag Prof KH Nasaruddin Umar, Sujiwo Tejo, dll. Termasuk, KH Husein Muhammad, yang dimintai untuk menyampaikan Doa Penutup.
Eksistensi Gus Dur dalam kehidupan bermasyarakat tak bisa dipaskan perannya secara nyata ketika mendapat amanah sebagai Presiden ke-4 RI. Namun, karena gejolak sosial dan gempuran kekuasaan dari lawan-lawan politiknya, membuat Gus Dur memilih mundur daripada terjadi korban di pihak rakyat, yang membelanya. Semua itu dilakukan Gus Dur untuk menjaga keutuhan bangsa dan negaranya. "Sejarah yang pada akhirnya membuktikan," pesan Gus Dur lirih.
Presiden KH Abdurrahman Wahid membuat keputusan besar yang tercatat manis dalam sejarah bangsa ini. Pada 23 Juli 2001, pukul 20.48 WIB, Gus Dur--demikain tokoh yang akrab disapa-- meninggalkan istana. Publik disuguhi pemandangan yang tak biasa.
Presiden Gus Dur muncul dari Istana Merdeka dengan mengenakan celana pendek dan kaos abu-abu polos melambaikan tangan ke arah lapangan timur Monas.
Gus Dur mengambil langkah besar dalam mempertahankan persatuan bangsa Indonesia. Ia mundur dari presiden demi memperjuangkan idealismenya: yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Gus Dur memegang teguh idealismenya bahwa tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian.
Gus Dur mengambil sebuah keputusan yang membuat sebagian pendukungnya kecewa. Banyak yaag berseru: “Gus, kenapa tidak melawan?” “Gus, kami siap mendukung mati-matian!”
Gus Dur bertutur: "Biar sejarah yang akan membuktikan semuanya".
“Forgive your enemies, but don’t forget their mistakes," jawab Gus Dur.
Jaringan Gusdurian menyebut, sejarah mungkin mencatat bahwa pada masa itu Gus Dur dilengserkan. Namun prosesi yang cacat hukum sama sekali tidak layak disebut upaya pelengseran.
Gus Dur bahkan tidak berupaya mempertahankan jabatannya dengan segala cara. Meski pun sebenarnya Gus Dur tidak perlu keluar istana dengan memakai celana pendek dan kaos abu polos untuk menenangkan pendukungnya.
Gus Dur bisa tetap menjadi presiden jika mau berkompromi. Tapi, sejarah telah berbicara berbeda dengan harapan publik. Demikianlah fakta sejarah yang bisa dibaca kembali kini.
Guna mengenang kembali Gus Dur saat meningalkan istana, berikut catatan penuh empati dari KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar el-Quran, Arjawinangun, Cirebon, yang dikenal mewarisan pengembangan pemikiran Gus Dur (Redaksi):
Saat Gus Dur Tinggalkan Istana
“Bila kalian menginginkan kebahagiaan, carilah kedamaian”. (23.07.2001)
Bila musim Haul Gus Dur tiba, ingatanku tentang Gus Dur meninggalkan istana selalu muncul bersama sejuta kenangan indah yang lain. Minggu akhir Juli 2001. Tepatnya tanggal 23, pagi-pagi sekali aku berangkat ke Jakarta, naik kereta api, setelah mendengar kabar memilukan bahwa Presiden Gus Dur akan meninggalkan istana untuk selanjutnya terbang ke luar negeri (Amerika) untuk berobat.
Dari stasiun Gambir, sesudah menempuh perjalanan 3 jam, aku langsung menuju istana Negara, tempat tinggal Gus Dur dan keluarganya selama menjadi Presiden. Aku acap datang ke sana sebelumnya jika diperlukan. Beberapa kali aku menginap di kamar di Istana Merdeka. Di pintu masuk aku melihat sudah banyak orang, teman-teman dan para pecinta Gus Dur, yang antri masuk ke istana.
Aku pun ikut antre. Begitu tiba di teras aku langsung memasuki kamar Gus Dur. Di situ Ibu Sinta sedang duduk di atas tempat tidur, dengan dandanan yang sudah rapi. Aku menyalami dan mendoakan kesehatannya, lalu keluar lagi. Di kamar itu aku sempat melihat kardus-kardus besar yang sudah dikemas rapih. Gus Dur di ruang lain sedang bincang dengan adiknya dan yang lain.
Di luar kamar, telah berkumpul para sahabat dan para pegawai istana. Mereka berdiri dan berbaris melingkar. Wajah-wajah mereka tampak lesu. Mataku dan mata mereka mengembang air dan tanpa terasa menetes satu-satu. Istana bagai banjir air mata. Semua yang ada di situ tak bisa menahan air mata yang menetes.
Gus Dur dan ibu kemudian keluar, lalu menyalami mereka satu-satu. Setiap orang mencium tangannya dengan dada yang berdegup, sambil menahan sedu sedan. Aku menyalaminya. Sambil tangan masih saling menggenggam, Gus Dur seakan-akan mengatakan kepadaku : “Saudara-saudara, aku akan turun dari tahta ini dan meninggalkan istana ini karena keberadaanku di sini menimbulkan perpecahan bangsa. Aku bersedia dengan tulus untuk tidak memiliki dunia ini, bila kalian menginginkannya, karena hatiku luas, seluas samudera, dan aku yakin bahwa Tuhan akan menunjukkan kebaikan dan memberikan kebahagiaan kepadaku. Aku katakan kepadamu : “bila kalian menginginkan kebahagiaan, carilah kedamaian”.
Lalu Gus Dur meninggalkan kami menuju mobil sedan. Aku melihat dari belakang, mobil itu tak lagi berplat merah nomor RI 1.
Selamat Jalan Gus Dur.
Aku selalu mencintaimu.
Tanganku melambai-lambai lalu jatuh, lunglai, tak berdaya. Tertunduk. Terisak-isak.
(Repost, 19.12.24/HM)