Saat Megawati Tersenyum Mencari Juru Foto, Ini Anekdot Lho!
Pada diri seorang tokoh, selalu ada hal-hal kecil yang menarik. Inilah sejarah kecil (La' petite histoir). Megawati Sukarnoputri, di antara empat tokoh penandatangan "Deklarasi Ciganjur" yang masih segar-bugar hingga kini.
Di antara mereka, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur, almaghfurlah) telah lebih sepuluh tahun wafat. Amien Rais sudah bermetamorfosis, dari pendiri PAN dan kini mendirikan Partai Ummat. Sri Sultan Hamengku Buwono X berkuasa di DI Jogjakarta hingga kini.
Megawati kini menjadi tokoh politik terkuat karena PDIP, partai yang dipimpinnya, memegang kekuasaan dengan tampilnya Joko Widodo sebagai Presiden Ri, dua periode. Bagaimana kesan pengamat politik Fachry Ali tentang Megawati? Ini catatan pakar politik berdarah Aceh yang besar di kalangan warga Betawi ini:
Dalam beberapa kesempatan di televisi atau diskusi lisan, saya selalu menyebut Megawati Sukarnoputri dengan Mbak Mega saja. Ini saya sebutkan baik ketika mengeritik maupun dalam memberikan penjelasan tentang tingkah laku politik pemimpin puncak PDIP ini.
Panggilan Mbak Mega ini terinspirasi pada cara Guruh memanggilnya: ‘Mbak Ega’ —seperti pernah beberapa kali saya lihat di televisi. Karena merasa lebih kurang seusia dengan Guruh, adik politisi besar ini, maka saya merasa pantas juga memanggilnya Mbak Mega. Analisa ‘akademis’ tentang kebangkitan kepemimpinannya telah saya tuangkan satu bab tersendiri dalam buku saya ‘Esai Politik tentang Habibie’.
Karena itu, sekarang saya cuma cerita saja.
Pada 2008, setahun menjelang Pillres 2009, PPP di bawah Suryadharma Ali (SDA) membuat penjaringan calon presiden. Maka Mbak Mega diundang menyampaikan pikirannya. Untuk membahas pikiran Mbak Mega, saya dan Dekan FE UI —kini Menteri Ristek— di minta menjadi pembahas. Duduk di atas panggung, saya melihat Sekjen PDIP Pramono Anung dan putri Mbak Mega Puan Maharani.
Sebelum naik ke podium, saya berbisik kepada Mbak Mega. Pertama, apakah ia bersedia berfoto bersama dengan saya. Kedua, mengapa tidak mau bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi presiden waktu itu.
Tentang yang pertama, Mbak Mega memandang saya dengan tersenyum. Dan senyum Mbak Mega ini saya jadikan bahan awal pembahasan gagasan Mbak Mega. Baru kemudian saya mengatakan bahwa justru di bawah Mbak Mega apa yang disebut ‘Nasionalisme Ekonomi’ menjadi pertanyaan. Sebab, kata saya, Indosat dijual kepada Singapura pada masa kepresidenan Mbak Mega.
Ketika Mbak Mega kembali naik panggung —untuk merespons pembahasan saya dan Dekan FE UI— ia berkata bahwa program penjualan Indosat (sering disebut ‘privatisasi’) telah ada di zaman kepresidenan Abdurrahman Wahid. ‘Saya,’ demikian Mbak Mega katakan, ‘hanya meneruskan program tersebut.’
Lalu bagaimana tentang ‘senyum’ Mbak Mega?
Di awal pembahasan, saya menceritakan kepada hadirin bahwa tadi, ketika sama-sama duduk, saya berbisik kepada Mbak Mega untuk berfoto bersama. ‘Dan,’ kata saya, ‘Mbak Mega hanya menjawab dengan tersenyum.’ Hadirin tertawa mendengar cerita saya.
Inilah yang dibantah Mbak Mega. Berdiri di atas panggung, Mbak Mega berkata: ‘Tidak benar saya hanya tersenyum. Sambil senyum, saya mencari-cari juru potret saya.’ Dan hadirin kembali tertawa.
Memang benar, usai acara Mbak Mega memanggil juru potretnya. Dan kami berdua berfoto. Saya tidak tahu apakah Mbak Mega tersenyum atau tidak ketika difoto. Sebab, hingga kini saya tidak memperoleh hasil jepretan itu.
Lalu, bagaimana dengan pertanyaan kedua saya tentang mengapa Mbak Mega tidak mau bertemu SBY?
Jawaban Mbak Mega pendek: ‘Kamu bisa jawab sendiri.’ (Saya lupa apakah ketika menyatakan itu Mbak Mega tersenyum atau tidak).
Sehat terus Mbak Mega.