Saat Maulana Rumi Pulang, Wali Kekinian Menyambut Bulan Gus Dur
Jalaluddin Rumi, penyair sufi, yang kerap mendendangkan syair-syair indah semesta kaum sufi. Ia mabuk cinta pada Sang Khaliq.
Bagaimana kemabukan cinta pada Kekasihnya itu terwujud di era kini? KH Husein Muhammad memberikan catatan penting berikut:
Aku membaca sebuah buku : “Min Balkh Ila Konya”, yang ditulis Badi’ al-Zaman Furuzanfar, spesialis Rumi dari Iran, Persia. Ia menceritakan situasi kepulangan Maulana, 17 Desember 1273.
Suasananya sangat mirip dengan saat kepulangan Gus Dur, 30 Desember 2009.
اهل المدينة من صغير وكبير أخذوا جميعا بالتفجع والتأوه والصياح. الريفيون كذلك من الروم والترك, شقوا جيوبهم ألما عليه. حضر الجميع جنازته حبا له وعشقا. أهل كل دين صادقون فى محبتهم إياه. أناس كل أمة عاشقون له. قال قوم عيسى : إنه عيسانا. وقال قوم موسى : إنه موسانا. وقال المسلمون : إنه خلاصة الرسول ونوره . قالوا : إنه بحر عظيم وعميق
Seluruh penduduk kota Konya, Anatolia, besar, kecil, laki-laki dan perempuan berduka cita dengan sangat mendalam. Mereka menangis tersedu-sedu dan sebagian sampai histeris
Orang-orang desa dari Roma dan Turki merobek-robek bajunya, mengekspresikan luka jiwa yang mendalam.
Mereka hadir mengantarkan jenazahnya, dalam suasana hati yang mencinta dan merindu
Para pemeluk berbagai agama sangat dan sungguh mencintainya. Semua bangsa merindukannya
Kaum Nasrani dalam histeria : “oh, (penerus) Isa ku”.
Kaum Yahudi berteriak dalam luka: “O, (penerus) Musaku”.
Kaum Muslim menyebut : “O, engkau penerus Nabi Muhammad dan pantulan cahayanya.
Engkaulah samudera maha luas dan maha dalam”.
Yang Lebih Penting dari Politik
(Menyambut Bulan Gus Dur)
Meski tiap bulan selama kurang lebih tiga tahun untuk mengaji kitab kuning di rumah Gus Dur, aku jarang bertemu beliau, baik pagi, siang ataupun malam. Beliau juga sering tak di rumah. Hari-harinya tampak begitu sibuk bertemu dan melayani umat. Bila beliau pulang aku sudah tidur, karena beliau pulang larut malam atau dini hari yang sepi. Bila pagi jam 8 aku diajak sarapan di dalam rumah, aku pun tak menjumpainya. Beliau sudah berangkat entah ke mana.
Seorang teman bertanya. "Jadi apa saja kerjaan Gus Dur sehari-hari selama hidupnya?".
Gus Dur menyusuri jalan cahaya. Beliau menjalani hari-harinya untuk bekerja keras menerjemahkan gagasan kemanusiaan, baik melalui tulisan-tulisan di berbagai media, ceramah-ceramah di berbagai tempat, di seminar-seminar, maupun dan terutama dalam sikap hidupnya sehari-hari di mana dan kapanpun. Gus Dur mengunjungi orang-orang yang dimarjinalkan, direndahkan didiskriminasi hak-hak hidupnya dan mengembalikan hak-hak mereka yang dirampas. Siapapun mereka.
Dengan penuh gairah cinta, ia sering berjalan sendiri, tanpa rasa gentar, menerjang terjang setiap penghalang, untuk mewujudkan impian-impiannya itu. Ia siap melawan siapa saja yang berusaha menghalangi geraknya itu.
Bahkan bagi Gus Dur berjuang demi Kemanusiaan jauh lebih penting daripada memperebutkan politik kekuasaan. Atau dalam bahasa Gus Dur : "Yang lebih penting dari politik adalah Kemanusiaan".
Aku ingat kata-kata indah yang ditulis oleh Abu Nu'aim al Ashbini dalam bukunya yang terkenal "Hilyah al Awliya". Ia menulis :
فقد أخرج أبو نعيم في الحلية (2: 364) عن مَالِكِ بْنُ دِينَارٍ رحمه الله وهو من صغار التابعين قَالَ: " قَالَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَا رَبِّ أَيْنَ أَبْغِيكَ؟ قَالَ: أَبْغِنِي عِنْدَ الْمُنْكَسِرَةِ قُلُوبُهُمْ ".
Malik bin Dinar, seorang sahabat kecil, mengatakan: Musa A.s. mengatakan : "Wahai Tuhanku, di mana aku bisa menjumpaimu?. Tuhan menjawab : "Carilah aku di tengah-tengah mereka yang hatinya luka".
Begitulah yang aku tahu.
Demikian catatan KH Husein Muhammad.
Advertisement