KALAU betul ungkapan lama yang mengatakan, “One Picture Tells A Thousand Stories” – saya ingin menggunankan ungkapan tersebut sebagai pintu masuk mengulas apa dan bagaimana Joko Widodo, sebagai Presiden RI. Dan yang digunakan sebagai bahan sorotan adalah sejumlah foto Presiden Joko Widodo dalam dua pekan terakhir. Sebuah foto katanya bisa berbicara sebanyak seribu versi ceritera. Ujung dari ulasan nanti adalah pertanyaan dan jawaban - akankah bekas Walikota Solo ini bisa terpilih kembali sebagai Presiden RI pada Pilpres 2019?. Dalam rabaan saya, Pilpres 2019 dari waktu ke waktu akan terus menjadi topik terpenting, di antara semua topik politik yang ada. Sehingga membahas soal Joko Widodo tidak boleh tidak selalu bermuara ke Pilpres 2019. Tetapi sebelum masuk ke persoalan tersebut, saya berharap kepada para pencinta dan pembenci (haters) Joko Widodo untuk bisa berkompromi dan menahan diri. Tidak perlu merasa terganggu, bila dalam penilaian, terdapat opini yang tidak sesuai dengan selera dan harapan masing-masing. Terimalah dulu perbedaan - jika ada, sebagai kembang demokrasi. Tak perlu mutung apalagi memusuhi – dua sikap yang merupakan cerminan watak negatif dalam berdemokrasi. Jangan pula perbedaan beropini menjadi sumbuh peledak persahabatan dan persatuan. Saya kedepankan hal ini, sebab sejak menjadi pengguna aktif Facebook, sudah banyak sahabat yang saya Unfriend dan Block. Maksud memperoleh banyak sahabat melalui media sosial ini, melenceng jadinya. Namun tindakan tidak simpatik itu terpaksa saya lakukan demi mengurangi koleksi sahabat yang hanya ‘mau menang sendiri’. Pemutusan hubungan seperti itu lebih menimbulkkan rasa nyaman. Minim konflik. Walaupun semboyan ‘Satu Musuh Terlalu Banyak, Seribu Sahabat Terlalu Sedikit’ saya langgar ! Dalam era demokrasi – saya sebetulnya berharap agar kita sama-sama bisa membuktikan setelah hampir 20 tahun berada dalam zone reformasi – semestinya kita semakin matang dalam menyikapi perbedaan. Namun yang menggejala dalam berbagai komentar di sosial media , kecenderungannya tidak demikian. Kita tidak punya selera dan semangat berbagi pandangan yang positif. Paling kerap terjadi, opini yang dibangun dengan susunan 1.000 kata, hanya dibantah dan divonis dengan satu kalimat yang tak lebih dari 10 kata. Pengalaman seribu hari, dinafikan oleh yang baru sepuluh hari memperoleh gelar doktoral. Dan yang lebih menyedihkan – tidak jarang si pembuat kesimpulan hanya memetik penggalan satu dua kalimat, tidak membaca secara keseluruhan konteks yang disampaikan – lalu petikan itulah dibuat kesimpulan. Ini terjadi karena mungkin ada anggapan, menulis dan berbicara itu sama. Keliru. Menulis harus bisa memilih demikian banyak kosa kata yang sama, tapi pengertiannya berbeda - tergantung dimana kita sisipkan kosa kata tersebut. Berbicara dan bertutur, lain lagi. Kekurangan bisa dibantu dengan ‘bahasa tubuh’. Ini yang saya anggap komunikasi yang tidak nyambung, percakapan yang tidak setara. Yang disoroti misalnya olahraga tennis lapangan. Tetapi yang dikomentari perspektif tennis dari cabang olahraga tennis meja. Dua cabang olahraga yang namanya menggunakan istilah ‘tennis’ namun karakter, cara perhitungan angka serta tempat yang digunakan bermain, sangat berbeda. Atau yang dibahas soal IndoneSIA, tetapi tanggapan yang diberikan berupa masalah MalaySIA atau MelaneSIA. Kedengarannya sama, karena ada penggalan kata sama : SIA. Padahal ketiganya merupakan hal yang berbeda jauh satu sama lain. Yang dibahas soal Perang Saudara Syria yang terjadi antara lain karena campur tangan asing : Amerika Serikat dan Rusia. Tetapi yang bermunculan, reaksi di luar dari konteks tersebut. Saya sangat meyakini bahwa bangsa kita saat ini tengah terbagi dua kelompok besar : pencinta dan pembenci Jokowi. Dan pengelompokan itu tidak semata-mata soal garis dan ideologi politik. Melainkan ada faktor semantik bahasa. Hal ini antara lain terlihat dari komentar tentang perjalanan Presiden Joko Widodo ke Turki dan Jerman dalam rangka menghadiri KTT G-20. Pro kontra ini semakin ramai, antara lain karena Jokowi memboyong keluarganya. Saya melihat cara ini merupakan strategi taktisnya Jokowi untuk mengukur reaksi masyarakat Indonesia. ‘Test the water’, istilahnya. Mustahil Jokowi tidak membuat kalkulasi baik secara politik maupun psikologis. Dan dia pasang badan untuk dikritik, dikecam atau apapun namanya untuk maksud 'test the water' tersebut.. Entah terpancing atau disengaja, di saat Jokowi sedang melakukan perjalanan ke luar negeri, saat itu pula muncul reaksi, pernyataan dari Wapres Jusuf Kalla. Yaitu yang menyangkut soal rencana Hak Angket KPK oleh DPR dan rencana pemindahan ibukota negara ke luar dari Jakarta. JK - Jokowi berbeda visi tentang kedua topik ini. Pernyataan Wapres semakin mengentalkan persepsi bahwa duet Jokowi – JK sebetulnya sudah tidak harmonis. Sebab kedua pernyataan tersebut seperti mendiskreditkan kewibawaan Presiden. Terutama karena hal itu disampaikan secara terbuka. Maaf, untuk pernyataan ini tidak ada foto statisnya. Tetapi saya melihat gambar Wapres soal ini di layar kaca dan gadget. Sebelum ke Hamburg, Jerman, Jokowi mampir di Ankara, Turki , bertemu Recep Tayyip Erdogan. Keduanya tertangkap kamera dalam satu momen yang sangat bersahabat. Erdogan menggandeng tangan Jokowi dengan cara yang sangat khas. Foto ini setidaknya menggambarkan, Jokowi diperlakukan seperti teman lama yang memiliki kemistri bersenyawa oleh seorang Presiden yang memimpin sebuah negara Islam modern di persimpangan Eropa – Asia. Sikap Erdogan tersebut memiliki banyak makna dan dimensi. Terkait dengan posisi Turki sebagai negara ataupun Erdogan selaku tokoh Islam. Turki merupakan negara yang ‘diperebutkan’ oleh dua kekuatan global – Amerika Serikat dan Rusia. Turki anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization – Pakta Pertahanan Atlantik Utara), sebuah organisasi yang didirikan Amerika untuk menghadapi Uni Sovyet maupun Rusia yang jadi pecahan Uni Sovyet. Dari konteks ini Turki adalah pro atau negara satelitnya Amerika. Namun perkembangan terakhir, khususnya dalam konflik Syria, Turki lebih tertarik berkoalisi dengan Rusia, ketimbang Amerika. Dalam konteks ketokohan dan kepemimpinan, Erdogan sesungguhnya tidak nyaman dengan kebijakan standar ganda Amerika. Sebab sekalipun mendukung pemerintahan Erdogan sebagai Presiden Turki, tetapi Amerika juga memberi payung perlindungan kepada tokoh anti-Erdogan di Amerika Serikat, Fethullah Gulen. Peta politik Turki dan posisi Erdogan dalam kaitan dengan Amerika Serikat, bisa menjadi bahan pelajaran oleh Indonesia atau Jokowi sendiri. Bahwa Amerika senang memelihara kekuatan oposisi dalam menghadapi sebuah rezim. Atau Amerika bisa kelihatan sedang memberi bantuan, tetapi dibalik bantuan itu, Amerika tidak ragu melaksanakan kebijakan yang lainnya, yang berbeda. Terjemahannya bisa banyak. Mulai dari soal investasi, bantuan luar negeri, kebijakan soal Laut China Selatan khususnya Natuna, PT Freeport dan Papua sebagai sebuah paket, Islam moderat versus Islam fundamentalis. Dan yang tak boleh dilupakan sikap dan keberpihakan para jenderal baik yang sudah pensiun maupun masih aktif. Kalau selama 10 tahun terakhir, Amerika dikesankan seperti mengabaikan dan mem-block Prabowo Subianto yang berakibat bekas menantu Presiden Soeharto itu tidak bisa menjadi Presiden RI, di tahun 2019, situasinya bisa berubah. Amerika mungkin akan lebih suka Prabowo menjadi Presiden RI. Karena sacara usia, kekuatan fisik Prabowo sudah tidak lagi sekuat seperti 10 tahun lalu. Deterninasi Prabowo pasti tergerus oleh umur. Bisa juga Amerika menjadikan Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI saat ini, sebagai ‘kuda hitam’. Sebab Gatot memiliki beberapa kekuatan – seperti hubungannya dengan kekuatan Islam yang tidak sejalan dengan Jokowi. Tapi di sisi lain, Gatot juga belum mengakar kuat di kalangan tentara seperti halnya Prabowo. Artinya, ada waktu yang cukup untuk menimang-nimang apakah Prabowo atau Gatot yang harus didukung. Sementara Jokowi mungkin tidak lagi menjadi pilihan, berhubung selama 3 tahun dia menjadi Presiden, kelihatannya Jokowi sudah belajar banyak soal trik-trik berpolitik. Jokowi misalnya juga sudah semakin akrab dengan RRT dan mulai mendekati lobi-lobi Rusia dan yang non-Amerika. Hal mana bisa mengancam pengaruh Amerika di Indonesia. Amerika memang butuh pemimpin sebuah negara sahabat yang lemah, sehingga dia bisa mendikte bahkan bila perlu mengelabui. Dan itulah yang dalam pikiran Amerika dan para pelobinya di Indonesia - ketika mendukung Jokowi di Pilpres 2014. Amerika paling takut pada pemimpin muda dan berkarakter ‘bondo nekad’ seperti Presiden Korea Utara Kim Jong un (31 tahun) atau Presiden Filpina Rodrigo Duterte yang ‘ndeso’ tapi lebih preman dari orang kota. Bahkan Fidel Castro almarhum, Presiden Cuba selama setengah abad. Pengalaman dari Tukri bisa juga mengajarkan, jangan lagi percaya begitu saja terhadap usaha Amerika mempersatukan dunia. Mulai dari PBB, kerja sama regional seperti APEC dan G-20. Bisa-bisa semua organisasi itu hanya eksis di atas kertas. Bahkan kalau mau radikal, jangan lagi terlalu percaya kepada teknokrat dan intelektual didikan Amerika. Maksud saya kita boleh percaya, tetapi curiga harus tetap jalan. Jadi, kehadiran Jokowi di KTT 20, Jerman dengan transit di Turki, boleh dibilang membawa hikmah. Membuka banyak hal yang tidak terlihat. Saya lebih memandang pertemuan sela antara Jokowi dan Erdogan lebih konkrit ketimbang G-20. Pertemuan di Turki tidak hanya bermanfaat bagi pribadi Jokowi, tetapi buat seluruh bangsa Indonesia. Jokowi semakin pede ketika berada di luar, tidak berbanding lurus dengan tajamnya berbagai kritik di dalam negeri. *) Derek Manangka adalah Wartawan Senior yang tingal di Jakarta. Presiden Jokowi