Saat Gus Dur Tinggalkan Istana, Kesaksian Seorang Humanis
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden dengan masa jabatan terpendek. Setelah mengangkat sumpah sebagai Presiden ke-4 RI, Gus Dur meninggalkan istana pada Juli 2001.
Ada catatan istimewa sebagai kesaksian sejarah. Ditulis Dr. (H.C.) K.H. Husein Muhammad, Pendiri Institut Studi Islam Fahmina, Komisioner Komisi Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan. Kiai Husein Muhammad dikenal dekat dengan Gus Dur, yang humanis.
Berikut catatan tentang Saat Gus Dur Tinggalkan Istana:
“Bila kalian menginginkan kebahagiaan, carilah kedamaian”.
Bila musim Haul Gus Dur tiba, ingatanku tentang Gus Dur meninggalkan istana menyembul lagi bersama dengan sejuta kenangan yang lain. Minggu akhir Juli 2001 (aku tak ingat tanggal pastinya) pagi-pagi sekali aku berangkat ke Jakarta, setelah mendengar kabar bahwa Presiden Gus Dur akan meninggalkan istana untuk selanjutnya terbang ke luar negeri (Amerika) untuk berobat.
Dari stasiun Gambir aku langsung menuju istana Negara, tempat tinggal Gus Dur dan keluarganya selama menjadi Presiden. Aku acap datang ke sana sebelumnya jika diperlukan. Beberapa kali aku menginap di kamar di Istana Merdeka.
Di pintu masuk aku melihat sudah banyak orang, teman-teman dan para pecinta Gus Dur, yang antri masuk ke istana. Akupun ikut antri. Begitu tiba di teras aku langsung memasuki kamar Gus Dur. Di situ Ibu Sinta sedang duduk di atas tempat tidur, dengan dandanan yang sudah rapi.
Aku menyalami dan mendoakan kesehatannya, lalu keluar lagi. Di kamar itu aku sempat melihat kardus-kardus besar yang sudah dikemas rapih. Gus Dur di ruang lain sedang bincang dengan adiknya dan yang lain.
Di luar kamar, telah berkumpul para sahabat dan para pegawai istana. Mereka berdiri dan berbaris melingkar. Wajah-wajah mereka tampak lesu. Mataku dan mata mereka mengembang air dan tanpa terasa menetes satu-satu.
Istana bagai banjir air mata. Gus Dur dan ibu keluar, lalu menyalami mereka satu-satu. Setiap orang mencium tangannya dengan dada yang berdegup.
Aku menyalaminya. Sambil tangan masih saling menggenggam, Gus Dur seakan-akan mengatakan kepadaku : “Aku akan turun dari tahta ini dan meninggalkan istana ini karena keberadaanku di sini menimbulkan perpecahan bangsa. Aku bersedia tidak memiliki dunia ini, bila kalian menginginkannya, karena hatiku luas, seluas samudera, dan aku yakin bahwa Tuhan akan menunjukkan kebaikan dan memberikan kebahagiaan kepadaku. Aku katakan kepadamu : “Bila kalian menginginkan kebahagiaan, carilah kedamaian”.
Lalu Gus Dur meninggalkan kami menuju mobil sedan. Aku melihat dari belakang, mobil itu tak lagi berplat merah nomor RI 1. Selamat Jalan Gus Dur.
Aku selalu mencintaimu. Tanganku melambai-lambai lalu jatuh, lunglai, tak berdaya.
29.12.19
HM
Advertisement