Saat Butet Bertutur soal Muhammadiyah dan Jagad Teater Jogja
Butet Kartaredjasa memang tidak terlahir dari keluarga Muslim, bahkan Muhammadiyah. Namun, ternyata cita rasa seni yang dibawakan Butet memiliki pertalian erat dengan Muhammadiyah, atau tokohnya.
“Masa kecil saya ya gaulnya sama anak-anak sepakbola Hizbul Wathan anak-anak. Orang di kampung kami karena dekat dengan lapangan Asri tentu saja itu Muhammadiyah banget," tuturnya
Hal ini ia sampaikan ketika menjadi pembicara dalam acara yang diselengarakan oleh Jaringan Islam Berkemajuan (JIB) untuk memperingati Milad Muhammadiyah ke-108, dengan tema Seniman Berbicara Muhammadiyah.
Butet adalah seorang seniman dan actor yang lahir di Yogyakarta, 21 November 1961, anak dari koreografer sekaligus pelukis legendaris Bagong Kussudiarjo.
Di masa kecilnya, Butet tingal kawasan sebelah selatan Lapangan Asri (Sekarang; Asri Medical Center) milik Muhammadiyah. Setiap sore Butet kecil sering bermain atau hanya menonton latihan Persatuan Sepakbola Hizbul Wathan (PSHW).
Selain Muhammadiyah, latar belakang yang membentuk dirinya kini adalah Tapol PKI. Kedekatannya dengan Muhammadiyah juga terbangun semasa ia sekolah di Pangbudi Luhur yang letaknya tidak jauh dari Kampung Kauman. Setiap istirahat jam sekolah, Kauman adalah tempat mainnya.
Bergaul di Masa Kanak-kanak
“Hari besar agama semua berkegiatan, Idul Fitri segala macam di Lapangan Asri. Kami anak-anak di kampung itu pasti beramai-ramai ikut nyengkuyung kegiatan itu,” ucapnya, dilansir laman resmi muhammadiyah.or.id.
Dari sekian momen tersebut, Butet mengakui Muhammadiyah menjadi suatu bagian yang berpengaruh terhadap perjalanan hidupnya.
Termasuk ketika ia mulai tumbuh dan mencintai kesenian, keberadaan tokoh Muhammadiyah juga berpengaruh terhadap pilihannya sebagai pekerja teater. Karena sering menyaksikan Teater Muslim Jogja dengan tokohnya Mohammad Diponegoro, Chairul Umam, Arifin C. Nur, Amak Baldjun dan lain-lain.
Pak Dipo sapaan Mohammad Diponegoro merupakan kader Muhammadiyah, ia tercatat juga sebagai redaktur sastra di Majalah Suara Muhammadiyah. Sehingga nafas seni yang berhembus di Teater Muslim Yogyakarta kental dengan aroma Islam Muhammadiyah.
“Itu tokoh-tokoh hebat yang sangat mewarnai sejarah teater Indonesia. Saya banyak belajar dari pengalaman saya menyaksikan produk-produkkreatif dari Teater Muslim Jogja,” tuturnya.
Pak AR dan Jagad Teater Jogja
Selanjutnya yang sangat mempengaruhi pilihannya untuk memilih seni monolog (seni peran yang dilakuklan oleh satu orang aau dialog bisu untuk mlakukan adegan/sketsa) selain Mudayat dan seniornya di Jagad Teater Jogja adalah Pak AR Fachruddin.
“Beliau memang bukan actor monolog, tapi saya sama ayah saya itu pada masa kecil saya selalu rajin menyaksikan Mimbar Agama Islam di TVRI Jogja kalau pembicaranya Pak AR," tutur Betet.
Pak AR dimatanya digambarkan sebagai sosok yang dingin, bahkan tuturnya, Pak AR bisa membawakan materi yang sensitive dalam urusan agama dengan cara yang dingin, santai, dan tetap mengena.
“Pak AR itu menjawab hal-hal yang mungkin perkara agama itu sensitive, tapi jawabnya itu anyep, sejuk, dan lucu. Kejenakaan itu seperti tidak disengaja tapi vibrasinya adalah kesejukan,” imbuhnya
Kini dengan banyak gejolak yang timbul dari sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, Butet mengaku rindu dengan sosok ulama dan umara’ seperti Pak AR Fachroddin. Karenanya keberadaan Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya penting untuk menjaga suasana keumatan dan kebangsaan.
Advertisement