RUU Pesantren Disahkan, Kitab Kuning Jadi Keberatan Muhammadiyah
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren akhirnya disahkan DPR RI menjadi Undang-Undang, dalam rapat paripur di gedung legislatif Senayan Jakarta, Selasa 24 September 2019. Para santri dan wakil rakyat yang hadir saat pengesahan UU Pesantren itu, spontan melantunkan Shalawat Nabi.
"RUU tentang pesantren diadakan karena kehadiran pesantren untuk memberikan pengakuan atas independen pesantren yang berdasarkan kekhasan dalam fungsi kemasyarakatan kedakwahan dan pendidikan," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang hadir dalam rapat paripurta DPR RI tersebut.
Begitu pun masih menyisakan masalah bagi ormas Islam, seperti Muhammadiyah. Sebab, ormas yang berdiri 1912 ini sempat meminta pengesahan RUU Pesantren ditunda menyerahkan nasib RUU itu ke DPR.
Keberatan Muhammadiyah itu disampaikan dalam surat yang dikirim kepada Ketua DPR RI, Ketua Komisi VIII DPR dan pimpinan fraksi.
Di antara keberatan Muhammadiyah adalah soal kitab kuning. Daam salah satu usulan Muhammadiyah itu terdapat dalam pasal 1 draf RUU Pesantren. Bunyinya:
Pasal 1
Teks asli:
2. Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin
Usul perubahan:
2. Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning, dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin, atau dirasah Islamiyah yang terintegrasi dengan sekolah/madrasah.
Kini, RUU Pesantren telah resmi menjadi Undang-Undang Pesantren. Bagaimana komentar PP Muhammadiyah?
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti tidak banyak memberikan komentar.
"Disahkan atau tidak terserah kepada DPR," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, pada media.
Muhammadiyah sebelumnya menyurati Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bambang Soesatyo, untuk menunda pengesahan RUU Pesantren. Muhammadiyah menilai RUU Pesantren tidak mengakomodasi aspirasi seluruh ormas Islam.
Surat permintaan penundaan pengesahan RUU Pesantren itu diteken Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan Sekretaris Umum Abdul Mu'ti tanggal 17 September 2019. Surat ditembuskan ke Presiden RI, Ketua Komisi X DPR RI dan Ketua Komisi VIII DPR RI.
Selain Muhammadiyah, ormas Islam yang turut meminta penundaan pengesahan RUU Pesantren yaitu Aisyiyah, Al Wasliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Persatuan Islam (PERSIS), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Nahdlatul Wathan (NW), Mathla'ul Anwar, Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) dan Pondok Pesantren Darunnajah. Surat juga dilampiri dengan pendapat ormas Islam yang meminta penundaan pengesahan RUU Pesantren.
"Setelah mengkaji secara mendalam RUU Pesantren, dengan memperhatikan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, antropologis, dan perkembangan serta pertumbuhan pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kami menyampaikan permohonan kiranya saudara Ketua DPR RI berkenan menunda pengesahan RUU Pesantren menjadi Undang-undang karena,
pertama: belum mengakomodir aspirasi ormas Islam serta dinamika pertumbuhan dan perkembangan pesantren,
kedua: materi RUU Pesantren diusulkan untuk dimasukkan dalam revisi Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional," alasan dalam kutipan surat itu.
Abdul Mu'ti mengatakan pihaknya keberatan atas definisi pesantren dalam RUU Pesantren. Dia juga menilai masih ada pasal lain yang seharusnya diubah.
"Muhammadiyah berkeberatan dengan definisi pesantren yang ada dalam UU. Selain itu ada banyak pasal lain yang harus diubah sebagai turunan dari definisi pesantren tersebut," ujar Mu'ti, beralasan.
Dana Abadi
Selain itu, dalam rapat pembahasan RUU Pesantren antara pemerintah dan DPR berlangsung alot karena pembahasan pasal dana abadi. DPR bersikukuh agar dana abadi diatur dalam Pasal 49 RUU Pesantren yang berbunyi 'pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren', sementara pemerintah tidak sepakat dengan pasal tersebut.
"Pemerintah menyetujui bahwa seluruh pembahasan panja ini bisa dibawa ke tingkat dua di paripurna. Khusus satu hal yang masih dipending yang masih belum mendapat kesepakatan bersama, terkait pasal 49 kami dari pemerintah ingin menjelaskan terkait keberadaan dana abadi pesantren karena ini domain Kemenkeu dan kami sudah berkali-kali mencoba mengkonfirmasi," kata Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin dalam rapat bersama Komisi VIII di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 19 September 2019.
Lukman pun memaparkan alasannya menolak pasal 49 di RUU Pesantren. Salah satunya, dana abadi yang baru di luar alokasi dana pendidikan akan membebani negara dan masyarakat.
"Nanti pengelolaannya menimbulkan beban lagi, karena akan butuh institusi baru. Ketiga pesantren akan kurang mendapatkan manfaat yang optimum, karena kalau ada dana abadi umat yang bisa dimanfaatkan hanya nilai manfaat karena namanya abadi," ujarnya.
Namun, DPR tetap ingin pesantren mendapatkan dana abadi di luar alokasi dana pendidikan. DPR beralasan dana abadi tersebut tidak digunakan hanya untuk pendidikan tapi juga untuk berdakwah.
"Kata dapat pada pasal 42 dicoret, tapi tanpa menghilangkan pasal 49," kata Ketua Komisi VIII, Ali Taher.
Pasal Penting
Dalam Bab Ketentuan Umum Pasal 1, dijelaskan soal definisi pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren mengembangkan kurikulum berbasis kitab kuning. Pasal ini jadi kontroversi, karena tak semua pesantren mengajarkan kitab kuning kepada santrinya.
Begini bunyi Pasal 1 ayat (2) dan (3):
Pasal 1
(2) Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.
(3) Kitab Kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di Pesantren.