RUU HIP Mengoyak Luka Lama
Oleh: Pe’i Haryanto
Wajar jika pada saat ini muncul kekhawatiran atas kemungkinan terjadinya penyelewengan terhadap Pancasila, yang telah mendorong berbagai ormas Islam menolak RUU HIP yang tengah dibahas oleh DPR RI atas inisiatif Fraksi PDIP. Karena penggagas RUU HIP itu bukan saja menolak untuk mencantumkan dalam konsiderannya Tap MPR No. 25 yang melarang PKI dan menetapkan komunisme dan Leninisme sebagai faham telarang, namun juga sengaja menyusupkan dalam beberapa pasalnya tafsir terhadap Pancasila versi pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang tidak pernah disepakati oleh founding fathers ketika menetapkan Pancasila sebagai dasar dan falsafah bangsa ini.
Jadi pengajuan RUU HIP itu tampaknya tak lebih dari sekedar upaya PDIP sebagai partai penguasa dalam mencari pengakuan bagi Soekarno sebagai satu-satunya orang yang mewariskan Pancasila kepada bangsa ini. Tujuannya jelas adalah untuk membersihkan dan mengembalikan nama besar Soekarno yang sempat tercoreng dan terpuruk oleh tragedi politik tahun 1965 yang telah mendorong MPR RI menetapkan TAP MPR No 26 itu.
Mengoyak Luka Lama
Oleh sebab itu pengajuan RUU HIP itu bukan mustahil mengoyak kembali luka lama bangsa ini yang disebabkan oleh tragedi politik tahun 1965, atau yang lebih dikenal sebagai Peristiwa G 30 S/PKI itu. Yakni peristiwa pembunuhan terhadap 7 jenderal TNI yang dilakukan oleh gerakan sekelompok militer berhaluan kiri dengan mengatas namakan Dewan Revolusi pada tanggal 30 September 1965 yang mengakibatkan masa jabatan Soekarno sebagai Presiden RI seumur hidup berakhir.
Peristiwa itu telah menimbulkan berbagai kontroversi. Ada yang mengatakan, merupakan konflik internal dikalangan TNI (Angkatan Darat). Namun lebih banyak yang menuding PKI dan Soekarno berada dibalik peristiwa itu. Akan tetapi terlepas dari berbagai kontroversi itu, peristiwa yang telah menjadi catatan kelam dalam sejarah negeri ini agar tidak terulang kembali, tak boleh dilupakan. Terutama mengenai komunisme dan PKI sebagai kekuatan politik yang pernah ada di negeri ini.
*
PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai salah satu partai politik yang pernah hadir di negeri ini sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, baru naik daun setelah sepuluh tahun menyelenggarakan kongresnya pada Maret 1954. Saat itu PKI tidak hanya berhasil menjadi sebuah partai besar karena keberhasilannya merekrut 3 juta anggota, namun mampu menjadi partai yang militan dan revolusioner. Sebab selama kurun waktu yang tidak terlalu lama itu, PKI begitu intensif berhasil melakukan gerakan politik radikal yang disebut gerakan perjuangan revolusioner demi mewujudkan masyarakat tanpa kelas, yang berhasil mendorong massa rakyat tak segan-segan melakukan aksi-aksi penuh dengan kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap sebagai representasi dari golongan masyarakat borjuis dan kaum kapitalis.
Gerakan politik PKI saat itu seakan-akan memperoleh momentum yang tepat untuk menciptakan revolusi, karena meluasnya kemiskinan di Indonesia akibat ketidak becusan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup (sejak tahun 1960) dalam menyelenggarakan pemerintahan yang lebih memfokuskan pada persoalan politik global dan mengabaikan persoalan ekonomi dalam negeri. Sehingga banyak orang gampang terpengaruh oleh agitasi dan propaganda PKI tentang perjuangan kelas untuk menciptakan masyarakat sama rata sama rasa dengan cara-cara yang radikal, yang tak jarang menimbulkan anarkhisme dan pertentangan diantara kelompok dan golongan di masyarakat. Jargon-jargon dan akronim-akronim politik yang provokatif seperti Tujuh Setan Desa dan Kapbir (Kapitalis Birokrat) sengaja diciptakan oleh PKI untuk membakar amarah rakyat yang tengah dilanda oleh kemiskinan terhadap tatanan yang ada di masyarakat.
Lupa
Akan tetapi tampaknya saat itu PKI lupa, bahwa Indonesia belum lama berhasil membebaskan diri sepenuhnya dari penjajahan Belanda. Pengakuan dan penyerahan kedaulatan RI baru dilakukan Belanda pada tahun 1949, sehingga masih banyak orang yang belum bisa menghapus dari ingatannya terhadap sejumlah pengkhianatan yang telah dilakukan PKI dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terutama terhadap pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 yang dengan terang-terangan dinyatakan oleh Muso, pimpinan PKI, bertujuan untuk mendirikan negara Soviet Indonesia.
Oleh sebab itu gerakan politik yang dilakukan PKI pada saat itu telah menimbulkan keresahan di antara berbagai kelompok yang pernah aktif melibatkan diri dan merasa memiliki peran dan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan, terutama TNI dan berbagai kekuatan politik berhaluan kanan. Intensitas gerakan politik PKI yang terus meningkat terutama pada periode 1960 - 1965 itu, bagi mereka terlihat sebagai gelagat yang semakin kuat ditunjukkan oleh PKI untuk mengulangi kembali pengkhianatannya terhadap republik sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Maka ketika sekelompok militer berhaluan kiri dengan mengatasnamakan Dewan Revolusi melancarkan Gerakan 30 September pada tahun 1965 yang menelan korban 7 orang jenderal, PKI tidak hanya berhadapan dengan TNI, namun juga kekuatan politik lainnya.
Raksasa Lempung
Peristiwa Gerakan 30 September itu merupakan titik balik bagi PKI yang tengah berupaya mewujutkan dengan segala cara impian revolusionernya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena menjadi bukti, bahwa PKI ternyata adalah raksasa lempung. PKI langsung ambruk oleh penumpasan yang dilakukan TNI setelah peristiwa itu. Meski punya tiga juta anggota aktif, PKI ternyata bukan partai besar yang militan, radikal dan revolusioner dalam menghadapi penumpasan yang dilakukan oleh lawan-lawan politiknya itu. Sementara itu Soekarno sebagai kepala negara yang cenderung menjadi backing gerakan 30 September itu tak berhasil menyelamatkan PKI. Justru ia dimakzulkan dari jabatannya sebagai Presiden RI seumur hidup dan dijebloskan dalam tahanan karena menolak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan 7 jenderal dan membubarkan PKI.
Peristiwa G 30 S/PKI itu telah menimbulkan perubahan dalam kehidupan berpolitik di Indonesia. Kehidupan berpolitik menjadi lebih tenang, namun bukan berarti menjadi lebih baik. Karena setelah berhasil menumpas PKI, militer yang kemudian muncul sebagai penguasa baru segera melakukan depolitisasi dalam cara-cara yang sistematis terhadap rakyat dengan dalih untuk menangkal komunis dan komunisme yang ditetapkan sebagai bahaya laten.
Untuk itu setiap orang yang sudah dewasa diwajibkan mempunyai surat bebas G 30 S/PKI. Calon pejabat di semua tingkatan termasuk calon anggota legislatif harus dilitsus, diteliti secara khusus silsilah keluarganya. Jika diketahui punya hubungan keluarga dengan anggota PKI, selain urung menjadi pejabat atau caleg juga harus berurusan dengan Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Jadi siapa pun yang dituding sebagai komunis bisa dipastikan hidupnya akan susah turun temurun. Alhasil rakyat kebanyakan selama masa pemerintahan rezim militer Orde Baru menjadi sangat traumatis untuk berpolitik.
Meski pun setelah beberapra dekade terbukti komunisme sebagai sebuah ideologi politik tidak laku di dunia dengan bubarnya Uni Soviet yang menjadi pusat komunis internasional serta negara- negara satelitnya di Eropa Timur dan di berbagai belahan bumi lainnya, penguasa Orde Baru tetap merasa perlu mempertahankan kebijakannya menjadikan komunis sebagai bahaya laten. Karena dengan begitu penguasa bisa tetap menggunakan tudingan komunis sebagai alat yang ampuh untuk menakut-nakuti dan membungkam rakyat agar tidak menentangnya.
Tak Ada Untungnya
Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu, kondisi rakyat bisa diibaratkan tak ikut makan nangkanya tapi terkena getahnya. Artinya, rakyat secara umum telah mengalami kerugian yang sangat besar oleh akibat yang ditimbulkan PKI setelah melakukan Gerakan 30 September itu. Yakni, munculnya militerisme yang membuat kehidupan berpolitik tidak lagi demokratis.
Namun setelah milterisme berakhir dan kehidupan berpolitik menjadi demokratis seperti sekarang ini, juga tidak akan ada untungnya bagi rakyat jika PKI bangkit dan hadir kembali dalam kancah perpolitikan. Sebab rakyat tidak akan pernah tentram, mengingat PKI dalam berpolitik tidak pernah menempuh jalan damai. Sehingga bisa dipastikan situasi politik akan kembali pada masa Orde Lama, saat PKI masih berjaya. Penuh dengan pertentangan dan pertikaian diantara kekuatan politik yang bisa menyeret rakyat dalam konflik horisontal.
Mati Dan Hidup Berkali-kali
Jika dilihat dari sejarahnya, PKI sejak didirikan pada tahun 1926 pernah beberapa kali mati, namun bisa hidup kembali. Pemberontakannya terhadap penguasa kolonial Belanda pada tahun 1927 yang mengakibatkan PKI dibubarkan dan menjadi partai terlarang merupakan kematiannya yang pertama kali. Akan tetapi pada tahun 1946, PKI muncul lagi dan bahkan berhasil menghimpun berbagai kekuatan politik berhaluan kiri dalam gerakan politik kemerdekaan. PKI mati untuk kedua kalinya pada tahun 1948 karena melakukan pemberontakan Madiun. Namun setahun setelah penyerahan kedaulatan RI pada tahun 1949, PKI muncul lagi dan bahkan dalam Pemilu 1955 berhasil meraih suara pada urutan keempat setelah PNI, Masyumi dan NU. Untuk ketiga kalinya PKI mati lagi karena ditumpas oleh milter setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Namun bisakah PKI hidup lagi setelah mati selama 55 tahun itu ?
Munculnya kembali PKI setelah kematiannya yang pertama dan kedua itu sebenarnya sangat terkait dengan peran Uni Soviet sebagai negara komunis yang menjadi kiblat kaum komunis serta Komintern (Komunis Internasional) yang berpusat di Moskow. Komintern merupakan jaringan komunis international yang dibentuk pada tahun 1919 oleh partai-partai komunis berbagai negara dengan tujuan untuk meluaskan komunisme di dunia, sangat aktif membantu pergerakan kaum komunis dimana saja. Banyak kaum komunis yang menjadi buronan penguasa lari ke Moskow oleh Komintern tidak hanya diberi perlindungan tapi juga dipersiapkan agar bisa balik untuk membangun kembali organisasi komunis di negaranya. Tokoh-tokoh PKI yang pernah datang ke Moskow adalah Alimin dan Muso. Keduanya adalah tokoh pemberontakan PKI tahun 1926 -1927, yang pergi ke Moskow sekeluarnya dari penjara kolonial dan memperoleh perintah dari Komintern kembali ke Indonesia pada tahun 1936 untuk menghidupkan PKI.
Begitu pula ketika dilakukan penumpasan oleh Pemerintah RI terhadap PKI yang melakukan pemberontakan Madiun hingga membawa Muso dan sejumlah tokoh PKI lainnya pada hukuman mati itu, Alimin berhasil melarikan diri kembali ke Moskow. Namun ia disusupkan lagi ke Indonesia bukan oleh Komintern yang telah dibubarkan pada tahun 1943, melainkan oleh PKUS saat dipimpin oleh Stalin. Pada tahun 1950 dia bersama kaum komunis dari generasi yang lebih muda, DN Aidit dan Lukman, berhasil menghidupkan dan membangun kembali PKI sampai pada kematiannya yang ketiga karena peristiwa Gerakan 30 September.
Tak Bisa Hidup Lagi
Akan tetapi setelah mati yang ketiga kalinya itu, bisa dipastikan PKI tidak akan bisa hidup lagi. Karena Komintern sejak lama sudah bubar dan Uni Soviet sudah runtuh pada tahun 1991. Banyak anggota PKI yang lari ke Moskow setelah peristiwa Gerakan 30 September itu, nasibnya menjadi terlunta-terlunta tak bisa kembali ke Indonesia. Apalagi sampai saat ini Pemerintah RI masih memberlakukan TAP MPR No 25 Tahun 1966 yang menetapkan PKI adalah partai terlarang.
Sementara itu negara-negara komunis yang masih tersisa makin tidak perduli terhadap gerakan komunis di luar negaranya. Karena lebih memusatkan perhatian untuk mengurusi perekonomian negara masing-masing. Bahkan RRC yang menjadi negara komunis terbesar di dunia setelah runtuhnya Uni Soviet telah berubah menjadi komunis semi kapitalis. Artinya, meski pun RRC sampai saat ini masih tetap menyelenggarakan pemerintahannya dalam sistem komunisme (satu partai), namun untuk urusan perekonomian dan perdagangan diselenggarakan dalam sistem pasar bebas.
Dalam perkembangannya RRC sebagai negara komunis kini menjadi sangat berpengaruh terhadap politik mau pun ekonomi di banyak negara terutama di Asia, karena berhasil melakukan penguasaan perekonomian mereka melalui warga negara perantauannya. Sehingga bukan mustahil komunisme Cina masih akan bermetamorfosa lagi menjadi kolonialisme baru di banyak negara. Inilah justru yang patut dikhawatirkan.***
* Pe’i Haryanto, wartawan dan politikus, tinggal di Surabaya