RUU HIP, Menggugah Anjing Tidur
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) benar-benar bikin geger. Pancasila sebagai konsensus nasional haluan negera diusik lagi. RUU HIP merupakan bara panas yang bisa terus membakar situasi. Di mana sence of crisis para wakil rakyat, terhadap kepentingan rakyat? Ketika pandemi Covid-19 menyibukkan perhatian dan mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk mengatasinya, mereka pun hendak mencairkan dana-dana sidang di legislatif.
Sejak awal pembahasan RUU HIP, usulan Fraksi PDIP, menimbulkan sederet masalah. Sempat beredar kabar, anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning adalah Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HIP. Menggegerkan karena Ribka adalah penulis "Aku Bangga Jadi Anak PKI". Informasi tersebut ramai beredar di media sosial Facebook dan Twitter.
Namun, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas membantah kabar itu. Ketua Panja RUU HIP, tak lain, adalah Rieke Diah Pitaloka. Demikian pun ada kecurigaan terhadap si Oneng, sosok komedi situasi di televisi yang diperankan Rieke, sebelum jadi wakil rakyat. Di masa Orde Baru, Rieke yang pernah merapat ke Gus Dur -- sebelum bergabung ke PDIP -- tergolong dalam keluarga tersangkut masalah "bersih diri" dan "bersih lingkungan".
Dari kalangan Islam secara resmi mengeluarkan pernyataan sikap. Mulai dari Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, juga kalangan Islam lainnya. Di antara anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan pernyataan di pers.
Padahal Kiai Said Aqil Siroj yang Ketua PBNU juga anggota Dewan Pembina Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Ada apa dengan RUU HIP? Try Sutrisno demikian pula, bersama sesepuh Veteran pun protes stas RUU HIP.
Bagaimana kalangan pemerintahan menyikapi memanasnya situasi ini? Presiden Joko Widodo tak kunjung bicara. Juga, di manakah Megawati Soekarnoputri, anak kandung Penggali Pancasila Bung Karno, yang Kepala Dewan Pembina Badan Pembinaan Ideologi Pancasila?
Melihat situasi memanas di kalangan tokoh Islam, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengadakan pertemuan di kediamannya. Dihadiri perwakilan dari ormas Islam, seperti Helmy Faishal Zaini (Sekjen PBNU), Abdul Mu'ti (Sekreteris Umum PP Muhammadiyah) dan utusan MUI. Menkopolhukam Mahfud MD, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut mengumumkan sikap pemerintah agar DPR RI menunda pembahasan RUU kontroversial itu.
Persoalan terkait Pancasila bersinggungan dengan bidang kerja Komisi II di DPR. Usulan RUU berangkat dari Fraksi PDIP di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang itu, memperkuat landasan hukum pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang selama ini diatur peraturan presiden. BPIP saat ini dipimpin, salah satunya, oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai ketua dewan pembina.
Ahai, di sinilah sebenarnya masalah berakar. Sangat personal. Kita pun teringat akan awal Joko Widodo dicalonkan sebagai presiden sebagai "petugas partai" pada Pemilu 2014. Kata-kata Megawati itu sungguh mengerdilkan posisi Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Nah, ketika dibentuk Badan Pembina Ideologi Pancasila dan Megawati diangkat menjadi Dewan Pembina BPIP, yang teken tentu saja ya Presiden.
Lalu siapa yang menjadi atasan, siapa yang menjadi bawahan? Sang Godmother tergoyang pusing.
Joko Widodo, kita menyaksikan-- berdampingan Wapres Ma'ruf Amin -- foto-fotonya tetap terpampang di atas pintu masuk rumah warga dan, tentu saja, di gedung-gedung pemerintahan. Dan kehidupan kenegaraan berdasar Pancasila tetap berlangsung aman.
Mari kita cermati data faktual berikut. Rekaman dokumen rapat yang diperoleh dari dpr.go.id rencana pembahasan RUU HIP dimulai dengan rapat dengar pendapat umum pada 11 Februari 2020. Sebanyak 37 orang hadir dan 15 izin dari 80 anggota dewan dalam rapat yang mendatangkan pakar ketatanegaraan Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof FX Adjie Samekto tersebut.
Dalam risalah rapat tersebut, Prof Jimly menilai RUU Pembinaan HIP diperlukan dalam kaitannya dengan kewenangan BPIP yang ia usulkan berubah menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP). Prof Jimly juga mengusulkan UU Pembinaan HIP nantinya bisa menjadi semacam 'omnibus law' yang jadi parameter untuk mengevaluasi dan mengaudit undang-undang lainnya agar sesuai haluan Pancasila.
Prof Jimly mengusulkan regulasi tersebut tak terlalu konkret dan mendetail. Prof FX Adjie Samekto secara umum mendukung dengan alasan pentingnya menanamkan ideologi Pancasila. Perlu dicatat, naskah draf RUU HIP belum dilampirkan dalam rekaman rapat ini.
Rapat selanjutnya juga mendengarkan pandangan tim ahli pada 12 Februari, meski notulennya tak bisa diakses di dpr.go.id saat saat ini. Kemudian pada 8 April dilakukan rapat Panitia Kerja Badan Legislasi RUU HIP yang diketuai Rieke Diah Pitaloka. Rapat itu mulai membahas draf RUU dan mengusulkan tim ahli menyempurnakan draf tersebut. Rapat-rapat panja pada 13 April dan 20 April kemudian dilakukan secara tertutup.
Kini, RUU HIP ditunda pembahasannya. Dengan menunda pembahasan RUU ini, bara panas itu untuk sementara waktu dapat dihindarkan. Penundaan pembahasan RUU HIP mendinginkan suasana politik. Tapi, benarkah pemerintah cukup mendengar aspirasi masyarakat terkait hal ini?
Krisisnya watak negarawan menyebabkan RUU HIP dipaksakan. Problem kenegaraan seperti ini, segera mengingatkan kita pada perdebatan menggebu-gebu dalam Sidang Konstituante ketika membahas dasar negara: “Apakah Islam atau Pancasila/UUD 45”.
Dari kajian Adnan Buyung Nasution dalam "Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstitusi 1956-1959", kita tahu, jalan tengah disepakati berupa voting terhadap pilihan: UUD '45 dengan dimasukkannya kembali Piagam Jakarta atau UUD '45 tanpa Piagam Jakarta. Partai-partai Islam setuju UUD 45 dengan dimasukkan kembali Piagam Jakarta. Partai-partai sekuler mau UUD 45 tanpa Piagam Jakarta.
Bersatunya partai-partai Islam, mulai Nahdlatul Ulama (NU), Masjumi, PSII, Angkatan Kemenangan Umat Islam (AKUI), PSII, Perti, dll, tak lain lantaran fakta adanya kelompok komunis yang selalu memusuhi Islam. Kita pun akhirnya tahu, kelompok komunis-marxisme tak hanya dari PKI. Ada juga Acoma -- meskipun menyebut diri komunis, Angkatan Comunis Muda, tapi lebih dekat Partai Murba dan agak jauh dari PKI.
"Propaganda antiagama harus dilarang dan tuntunan ini harus dikaitkan dengan pandangan bahwa HAM berasal dari Tuhan dan karena itu propaganda antiagama atau anti-Tuhan sebenarnya bertentangan dengan HAM". Kiai Ali Manshur, juru bicara NU dalam sidang Konstituante, sebagaimana tokoh Islam lainnya, terkesan menggebu-gebu.
Kita pun tahu, dalam kondisi ketegangan ideologi di masa itu, Kiai Ali Manshur pun menyusun kasidah Shalawat Badar -- yang hingga kini sangat akrab di telinga umat Islam Indonesia, dan bahkan tersebar di dunia seperti di Azerbajan.
“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka….” tegas Buya Hamka dalam sidang konstituante, Bandung, 15 November 1957.
“Kalau Pancasila itu adalah sebagai suatu ajaran, dari manakah sumbernya dan bagaimana pula saluran serta pedoman-pedomannya,?” tanya tokoh NU, KH Achmad Zaini (14 November 1957) dalam sidang Konstituante.
Kiai Achmad Zaini, ulama dari Banyuanyar Sampang, Madura, mengaitkan Pancasila dengan ajaran Islam, kemudian melanjutkan: “… sehingga masing-masing dari kelima sila itu benar akan merupakan suatu pokok rumusan yang mempunyai perincian-perincian dengan dasar yang kokoh serta kuat yang bersumberkan Al-Qur’an, dan Al Hadits, Al-Qias, dan Al-Ijmak.“
KH Achmad Zaini dengan tegas mengatakan: “Saudara Ketua yang terhormat, jelaslah kiranya saudara Ketua bilamana Nahdlatul Ulama beserta partai Islam lainnya menuntut hanya dasar Islamlah yang harus dijadikan Dasar Negara kita.”
Pada 22 April 1959 diadakan sidang lengkap Konstituante di Bandung. Pada sidang tersebut Presiden Sukarno mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945.
Perdebatan indah terjadi. Bersemangat dan menggebu-gebu. Demikianlah para tokoh politik kita di panggungnya, memberikan keteladan. Ide atau gagasan harus diperjuangkan mati-matian.
Perdebatan di Konstituante soal ideologi memang menggemuruh. Begitu indah pendapat disampaikan, begitu pula sanggahan ditegakkan. Sesuatu yang bisa kita bayangkan kini terjadi sebagai suatu impian semata.
Kembali dalam sidang Konstituante 1955-1959. Voting pertama (29 Mei 1959), dari 470 anggota yang hadir, 201 suara mendukung Piagam Jakarta. Anggota yang menolak sebanyak 265 suara. Absen, 4 suara. Voting dilakukan kembali (30 Mei) dengan hasil: 269 anggota setuju Piagam Jakarta. Anggota yang menolak, 199 suara. Voting kali ketiga (1 Juni), 264 orang anggota setuju dan 204 menolak. Voting kali terakhir, (2 Juni), 263 orang anggota setuju dan 203 menolak.
Dari angka tersebut, kita menyaksikan, mayoritas anggota parlemen menyetujui Piagam Jakarta yang berarti, setuju Islam sebagai dasar negara. Namun, UUD yang berlaku waktu itu (UUD 1950) menetapkan, harus 2/3 suara anggota yang hadir setuju. Kedua kubu, Islam dan sekuler, sama-sama tidak mencapai 2/3 suara. Sidang Konstituante ditunda.
Badan Konstituante adalah lembaga negara yang dibentuk lewat Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Badan tersebut dibentuk untuk merumuskan UU baru, tapi sejak di mulai persidangan pada 1956 hingga 1959 tidak berhasil merumuskan. Kondisi itu membuat Indonesia semakin buruk dan kacau. Banyak muncul pemberontakan di daerah-daerah, mereka tidak mengakui keberadaan pemerintahan pusat dan membuat sistem pemerintahan sendiri.
Tak satu pun undang-undang dihasilkan dari lembaga Konstituante, Presiden Sukarno (tentu masukan dari PNI dan PKI) akhirnya menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan dekrit itu, Badan Konstituante dibubarkan, dan kembali ke UUD 45 (dengan dijiwai Piagam Jakarta).
"Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut," kata Presiden Sukarno, dalam pertimbangan pada Dekrit tersebut.
Kini, RUU HIP ditunda pembahasannya. Penundaan pembahasan, tak berarti tidak melanjutkan pembahasannya di masa-masa mendatang. Karena itu, ketika ada reaksi keras dari kalangan umat Islam, hal itu merupakan suatu yang lumrah.
Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 telah ditandatangan oleh BPUPKI yang dipimpin oleh Sukarno. Dalam Piagam Jakarta disebutkan sila pertamanya berbunyi: "Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Rumusan sila pertama itu kemudian diubah melalui sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi rumusan Pancasila yang seperti yang tercantum dalam UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam sejarah, Sukarno enggan mengutak-atik lagi isi Piagam Jakarta karena merupakan gentleman's agreement dari para tokoh bangsa dan disahkan secara aklamasi dalam rapat BPUPKI. Sikap Bung Karno ini dapat dimengerti. Rumusan yang ada di dalam Piagam Jakarta merupakan hasil lobinya selama semalam suntuk dengan para tokoh dari kalangan nasionalis dan Islam.
Selepas Proklamasi Kemerdekaan dibacakan, pada hari Jumat 17 Agustus 1945 sampai menjelang dibukanya sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, atas inisiatif Mohammad Hatta terdapat lobi untuk mengubah keputusan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengenai rancangan Undang-Undang Dasar, utamanya kalimat dalam preambul: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Betapa Islam telah mengorbankan ideologi dalam perjuangan untuk keberlangsungan tegakknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain banyak yang terlupakan, beberapa episode dalam pembahasan Undang-Undang Dasar Indonesia dalam rapat BPUPKI dan PPKI pada 1945 pun masih ada yang menjadi misteri.
Salah satunya adalah mengenai alasan apa yang membuat Bung Hatta hingga sangat bersemangat melakukan lobi sebelum rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk mencabut "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta.
Akhir kata, RUU HIP memang telah mengharu-biru kesadaran kalangan Islam yang lama mengubur keinginan memperjuangkan negara berdasar Islam. Umat Islam yang telah mengorbankan nyawa dan harta benda dalam perjuangan berdirinya negara 17 Agustus 1945, pun berhak memberikan pandangan dan pendapatnya untuk keberlangsungan negeri ini.
Negeri ini bukan hanya milik satu golongan. Bukan hanya milik PDIP atau kaum Marhaenis yang sedang berkuasa sekarang.
Dengan mengusung RUU HIP, kalangan PDIP benar-benar telah bertindak gegabah: "nggugah asu turu", atau "nggugah macan turu". Membangunkan macan tidur. Mengutak-atik Pancasila yang telah menjadi konsensus nasional kehidupan bangsa Indonesia. Dengan RUU HIP, kaum Marhaenis telah membangunkan orang-orang mewarisi spirit "macan" dalam sidang Konstituante yang telah tidur, sebagai pewaris sah Piagam Jakarta.
Bukankah Bung Karno telah mengingatkan Jasmerah: Jangan melupakan sejarah. Umat Islam di Indonesia pun belajar dari sejarah.
Jangan-jangan yang ahistoris justru dari mereka yang mengaku kader Bung Karno ya? Demikian kita menyaksikan dengan jisal: Melunturnya figur negarawan, sikap ahistoris aktor politik marhaenis.