Runtuhnya Majapahit Timur (Bagian III)
Pada tahun 1294 Masehi, sesudah Perjanjian Sumenep yang membagi bekas wilayah Singosari menjadi dua bagian yaitu Majapahit di bagian barat dan Lamajang Tigang Juru bagian timur, kedua kerajaan awalnya hidup berdampingan.
Harmonisasi dua kerajaan ini tak berlangsung lama. Pada tahun 1316 Masehi terjadi "Perang Lamajang", ketika Mpu Nambi, sebagai Mahapatih Majapahit sekaligus putra mahkota Arya Wiraraja, dianggap memberontak oleh Prabu Jayanegara (penguasa Majapahit setelah Raden Wijaya).
Akhmad Mustofa Jamil, ahli sejarah dari Masyarakat Peninggalan Majapahit Timur menjelaskan, karena dianggap memberontak, Saat itu Mpu Nambi lantas pulang ke Lamajang. "Prabu Jayanegara lantas memimpin pasukan menyerbu Lamajang," kata dia.
Diperkirakan, benteng di situs Biting sengaja dibangun ketika hubungan antara Majapahit dan Lamajang retak. Sayang benteng yang diyakini menjadi yang terbesar di era klasik ini, tak mampu menandingi kekuatan tentara Majapahit. Akibatnya, Mpu Nambi beserta keluarganya gugur membela Lamajang.
Runtuhnya Lamajang, membuat wilayah yang ditinggalkan seperti daerah Sadeng, daerah yang sekarang dikenal bernama Puger; serta Ketha, atau sekarang dikenal sebagai Situbondo terus bergolak dan melakukan perlawanan terhadap Majapahit.
Bahkan, saat Majapahit dipimpin Hayam Wuruk, "Perang Paregreg" atau perang habis-habisan pernah terjadi. Akibatnya, Majapahit semakin lama semakin lemah sehingga hilang dari panggung kekuasaan nusantara.
Meski beberapa kali perang besar terjadi, tapi peninggalan Kerajaan Lamajang Tigang Juru sebenarnya masih kokoh berdiri. Menurut penelitian arkeologi, perusakan situs Biting mulai terjadi ketika Belanda masuk ke Lumajang. Hal ini karena Desa Kutorenon saat itu digunakan sebagai pusat perkebunan tebu.
Bahkan, Belanda kemudian membuat jalan Lori untuk mengangkut tebu dari Kutorenon ke Pabrik Gula (PG) Jatiroto. Pembuatan rel Lori ini merusak struktur sebagian bangunan benteng.
Perusakan juga terus berlangsung pada masa kemerdekaan. Penyebabnya adalah aktifitas penduduk di bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini menjadikan sisa bangunan benteng yang ada menjadi semakin berkurang. Setiap kali dilakukan penelitian, setiap kali juga ketebalan tembok keliling benteng semakin menipis karena sawah dan kebun semakin diperluas. Kerusakan juga diakibatkan maraknya penggalian liar untuk mencari benda-benda kuno di area situs.
Mansur Hidayat, Ketua Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur mengatakan, kerusakan terparah terjadi sejak 1996 setelah masuknya pengembang perumahan di kawasan situs Biting. Pendirian kompleks perumahan di bagian dalam bekas benteng telah merusak sekitar 15 hektare areal situs.
Menurut Mansur, Pemerintah Kabupaten Lumajang sendiri baru membentuk Tim Pelestarian dan Perlindungan Cagar Budaya Kabupaten Lumajang pada tahun 2011. Saat itu, Bupati Lumajang mengeluarkan SK Bupati 188.45/41/427.12/2011 tanggal 23 Februari 2011, yang di dalamnya berisi beberapa rekomendasi diantaranya terkait rencana menjadikan situs Biting sebagai Kawasan Cagar Budaya.
Mansur juga mengatakan Kementerian Sekretariat Negara juga telah mengirimkan surat kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Direktorat Peninggalan Purbakala dan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur.
Dalam surat bernomor B-335/Kemsetneg/D-3/Ormas-LSM/SR.02/11/2011 tertanggal 2 Novemver 2011 itu, Sekretariat Negara meminta ada upaya serius menyelamatkan situs Biting. Atas surat inilah, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur menurunkan Tim Verifikasi untuk melakukan langkah pendataan Cagar Budaya Kabupaten Lumajang termasuk dengan prioritas situs Biting. Bersambung (wah)
Advertisement