Rupiah Melemah, Ketum PB HMI: Segera Perketat Lalu Lintas Devisa
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PB HMI) Saddam Al Jihad mengatakan pemerintah perlu mengambil langkah yang strategis dalam menghadapi pelemahan rupiah di hadapan dollar AS.
Langkah-langkah itu salah satunya adalah pemerintah harus segera memperketat lalu lintas devisa.
"Yang perlu jadi penekanan adalah bagaimana caranya mengembalikan devisa ekspor yang masih parkir di perbankan luar negeri seperti Hongkong dan Singapura," kata Saddam dalam keterangan persnya, Jumat, 14 September 2018.
Menurut Saddam UU No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar masih sangat longgar dan tidak banyak berubah. Sistem devisa ultra-liberal ini membuat uang bebas berpindah tempat kapan pun.
Karena untuk menyempurnakan UU itu membutuhkan waktu apalagi harus melalui amandemen Parlemen. Kata Saddam, pemerintah melalui Bank Indonesia bisa mengeluarkan aturan yang memperketat tentang devisa.
"Untuk mengatasi hal ini jika sangat mendesak pemerintah bisa juga mengeluarkan Perppu karena kondisi pelemahan rupiah akibat sistem devisa bebas telah mendarah daging," ujar Saddam.
Saddam juga menegaskan pemerintah harus sudah mulai mempertimbangkan untuk mengurangi impor terutama yang berkaitan dengan bahan baku dan barang modal.
Tidak bisa pemerintah hanya memajaki impor barang konsumsi yang porsisnya hanya 5,5 % dari total impor. Hal itu jelas tidak signifikan. Sebaiknya pengendalian impor difokuskan ke impor pangan, atau impor bahan baku proyek infrastruktur.
"Kinerja ekspor juga perlu ditingkatkan, dengan catatan hasil yang membawa devisa negara mesti ditempatkan pengusaha di bank-bank plat merah bukan di luar negeri," ujarnya.
Menurut Saddam, pelemahan rupiah diakibatkan kebijakan Bank Sentral AS The Fed yang memutuskan secara bertahap menaikkan suku bunga dalam rangka mendorong pertumbuhan dan menghindari terjadinya overheating yang dinilai tidak sehat bagi perekonomian.
Artinya pertumbuhan baik tetapi di saat sama inflasi di AS juga tinggi karena menguatnya daya beli masyarakat.
"Kondisi itu membuat AS menerbitkan surat utang, dan bahkan sempat menaikkan imbal hasil bertenor 10 tahun sehingga membuat pasar uang tertarik memiliki surat utang tersebut," katanya.
Sehingga, kata Saddam, dana dari banyak negara akan mengalir ke sana. Apalagi sekitar 40 % surat utang Indonesia dikuasi oleh investor asing.
"Jika terjadi shock di pasar, para investor akan menjual surat utang pemerintah dan menukarnya ke dollar. Itu menguras devisa," ujarnya.
Saddam melihat kondisi saat ini tidak lepas dari konstelasi global. Turki, India, China juga terkena dampaknya. Ia mengimbau supaya para pemangku kepentingan, pengusaha dan masyarakat tenang dan tetap menjalankan aktivitas seperti biasa.
"Ini tantangan yang bisa diselesaikan kalau semua berpikir dingin, dan tidak mencari keuntungan politik jangka pendek," katanya.
Data Bloomberg Vulnerability Index atau Indeks Kerentanan Global menyebutkan ekonomi Indonesia cukup rentan dengan rincian defisit neraca berjalan 2018 minus 1,9 %, utang luar negeri 2017 sebesar 34,8 % atau 1 % dari PDB dan inflasi pada 2018 mencapai 3,3 %.
"Tetapi kita tetap harus waspada dan menyiapkan langkah antisipasi, saya membaca laporan Blooberg Vulnerability Index menempatkan Indonesia di urutan ke 6 negara yang perekonomiannya rentan, setidaknya 2 negara sebelum Indonesia seperti Turki, Argentina sudah terkena krisis. Jangan sampai Indonesia jadi korban berikutnya," tutupnya. (wit)
Advertisement