Rumitnya CMNP Tagih Utang ke Pemerintah
Oleh: Djono W. Oesman
Pemerintah tak selalu benar, tapi selalu menang. Bos PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) Jusuf Hamka menagih utang pemerintah Rp800 miliar. Padahal, proses hukum sudah inkracht, lalu 2016 Kemenkeu sepakat bayar. Ternyata ingkar.
--------------
Utang itu ditagih Jusuf lagi. Menteri Keuangan (selaku juru bayar pemerintah) Sri Mulyani, menjawab pertanyaan wartawan soal itu di Gedung DPR RI, Kamis, 8 Juli 2023 mengatakan: "Saya belum lihat, saya belum pelajari.”
Sri Mulyani menjabat Menteri Keuangan sejak 27 Juli 2016, setelah dia meninggalkan jabatan Direktur Pelaksana Bank Dunia. Berarti, kesediaan Kemenkeu bayar ke CMNP sebelum Sri Mulyani menjabat menteri.
Jusuf kepada pers, Rabu, 7 Juni 2023 mengatakan: "Saya bilang, mana ada itu? Sudah kami gugat di pengadilan pada 2012. Perkara sampai Mahkamah Agung dan diputuskan, Kemenkeu harus bayar ke kami. Perkara sudah inkrah, kami menang. Harus dibayar pemerintah berikut bunganya setiap bulan. Ada dendanya.”
Tapi, sejak belasan tahun lalu sampai Kamis, 8 Juni 2023 Jusuf masih terus menagih pemerintah.
Ini masalah sangat lama. Juga sangat rumit. Dulunya, terkait anak mantan Presiden RI, Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut.
Jusuf adalah pemilik mayoritas saham CMNP, pengelola enam ruas jalan tol di Jakarta dan Bandung. Dulunya, CMNP milik Siti Hardiyanti Rukmana. CMNP perusahaan Tbk yang listing di Bursa Efek Indonesia (waktu itu namanya Bursa Efek Jakarta). Kemudian dibeli Jusuf.
Sebelum dibeli Jusuf, CMNP punya deposito ke Bank Yakin Makmur, disingkat Bank Yama. Senilai Rp 78 miliar sampai dengan 1997. Waktu itu CMNP milik Tutut, Bank Yama milik Tutut juga.
Pada 1997 adalah awal mega-krisis ekonomi Indonesia. Nilai tukar Rupiah terhadap USD merosot parah. Dari semula di kisaran Rp 2.500 per USD, jadi tembus Rp 15.000. Krisis moneter berdampak pada krisis ekonomi.
Akibatnya perbankan hancur-hancuran. Terjadi rush (pengambilan dana pihak ke tiga skala besar). Sebaliknya, pembangunan tidak jalan, sebab pengusaha melakukan wait and see. Diam, sektor riil tidak memproduksi barang dan jasa. Sehingga perbankan tidak bisa menyalurkan kredit.
Dalam kondisi begitu, pihak International Monetary Fund (IMF) menyarankan ke pemerintah Indonesia, agar menutup bank-bank kecil yang kesulitan, akibat rush. Jika tidak dilakukan cepat, kata pihak IMF, Indonesia akan masuk kelompok poor country dengan segala konsekuensi.
Sebagai gambaran, data terbaru IMF tentang 100 negara termiskin di dunia, dikutip dari Majalah Global Finance edisi 24 Mei 2023, berjudul “Poorest Countries in the World 2023”, negara termiskin di dunia sekarang Sudan.
Indikator versi IMF untuk negara Sudan adalah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 516. Di urutan pertama termiskin. Sedangkan, Indonesia berada di urutan ke-92 termiskin dengan PDB sebesar USD 15.855.
Kita tahu kondisi Sudan yang kaya minyak bumi itu sekarang, akibat kemiskinan yang parah, diacak-acak negara-negara maju melalui operasi intelijen. Menghasilkan perang saudara berkepanjangan. Berdarah-darah.
Pertengahan Oktober 1997 Presiden Soeharto menuruti saran IMF. Daripada Indonesia jadi poor country, kata IMF.
Pada 1 November 1997 enam belas bank dilikuidasi pemerintah. Termasuk Bank Yama.
Agar bank-bank yang ditutup memenuhi kewajiban dana pihak ke tiga (tabungan, deposito dan giro) maka pemerintah membentuk BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) menalangi 16 bank itu untuk memenuhi kewajiban pengembalian dana pihak ke tiga.
Sedangkan deposito CMNP di situ Rp 78 miliar. Belum terbayarkan. Ketika CMNP dibeli Jusuf, otomatis mengambil alih asset and liability. Termasuk deposito tersebut. Mulailah, Jusuf menagih.
Di awal penagihan, 2011, pemerintah ogah bayar. Dalihnya, itu deposito terafiliasi. Artinya, CMNP milik Tutut menabung di Bank Yama, milik Tutut. Terafiliasi.
Jusuf menggugat pemerintah melalui pengadilan negeri. Pada 2012 ia memenangkan gugatan. Putusan pengadilan menyatakan, pemerintah harus membayar ke CMNP.
Pemerintah naik banding, lalu kasasi. Hasil putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung, menguatkan putusan pengadilan negeri. Perkara inkracht (berkekuatan hukum tetap). Pemerintah harus bayar deposito itu.
Utang itu belum dibayar sejak krisis moneter 1998, kala Bank Yama dilikuidasi pemerintah. Sejak saat itu, Jusuf mengaku tidak mendapatkan kembali uang depositonya. Maka, ia menagih.
Jusuf keliling ke beberapa kementerian dalam upaya menagih. Selain ke Menkeu saat itu Bambang Brodjonegoro. Juga ke Menko Perekonomian. Juga ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Sampai ke Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan. Luhut menjembatani Jusuf ketemu dengan Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara agar utangnya dibayar.
Pada 2015, Jusuf dipanggil Kepala Biro Hukum, Kementerian Keuangan, Indra Surya. Waktu itu Indra Surya mengatakan, pemerintah mengakui utang tersebut dan berjanji akan membayar. Namun, Kemenkeu meminta diskon. Dari nilai yang diajukan Jusuf saat itu Rp400 miliar akibat kalkulasi akumulasi bunga sejak Bank Yama ditutup, 1 November 1997.
Jusuf: "Waktu itu Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro. Saya disuruh buat kesepakatan. Pemerintah minta diskon. Kemudian tercapailah angka Rp 170 miliar. Ya sudahlah, saya pikir. Asal duitnya balik saja. Lalu kami tanda tangan perjanjian. Pembayaran akan dilaksanakan dua pekan sejak perjanjian diteken.”
Jusuf kepada wartawan menunjukkan bukti surat perjanjian tersebut. Isinya begini:
Surat itu berjudul: Amandemen Berita Acara Kesepakatan Jumlah Pembayaran Pelaksanaan Putusan Hukum, Perkara No. 137/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Sel. jo. No. 128/Pdt/2005/PT.DKI. jo. No. 1616 K/Pdt/2006 jo. No. 564 PK/Pdt/2007 a.n. PT. Citra Marga Nusaphala Persada Tbk.
Diputuskan bahwa pemerintah akan membayar utang kepada PT CMNP. Besaran pembayaran yang diajukan CMNP Rp 389.863.153.898,14 atau hampir Rp400 miliar termasuk bunga.
Tapi pemerintah sanggup membayar tanpa bunga. Lalu diadakan negosiasi besaran pembayaran.
Bunyi surat: "Pihak Pertama (pemerintah) meminta Pihak Kedua (CMNP) untuk memahami kondisi keuangan Negara dan kondisi ekonomi saat ini, sehingga kiranya menerima penawaran bahwa pembayaran dalam rangka pelaksanaan putusan in kracht a.n. PT. CMNP akan dibayar atas pokok tanpa bunga dan atau denda.”
Dilanjut: "Pihak Kedua menyampaikan sangat keberatan atas penawaran Pihak Pertama bahwa yang akan dibayarkan hanya pokok tanpa bunga, dan Pihak Kedua tetap berpedoman pada hasil kesepakatan pertama, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan Jumlah Pembayaran Pelaksanaan Putusan Hukum Perkara No. 137/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Sel. jo. No. 128/Pdt/2005/PT.DKI. jo. No. 1616 K/Pdt/2006 jo. No. 564 PK/Pdt/2007 a.n. PT. Citra Marga Nusaphala Persada No. BA-004/BA/INKRACHT/2015 tertanggal 12 Agustus 2015.”
Akhirnya: "Bahwa Pihak Pertama akan melaksanakan pembayaran jumlah pokok dan bunga atas deposito berjangka, dan pembayaran jumlah pokok dan bunga atas rekening giro account nomor 00960.2.11.01.62 sebesar Rp 78.919.666.781,00 + Rp 100.543.655.478,82 = Rp 179.463.322.259,82 (seratus tujuh puluh sembilan milyar empat ratus enam puluh tiga juta tiga ratus dua puluh dua ribu dua ratus lima puluh sembilan rupiah koma delapan puluh dua sen), kepada Pihak Kedua, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun anggaran, dengan jumlah yang sama.”
Surat diteken: Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Putusan Hukum, Indra Surya. Anggota Tim Percepatan Penyelesaian Putusan Hukum, Purwanto. Anggota Tim Percepatan Penyelesaian Putusan Hukum, Sofandi Arifin. Anggota Tim Percepatan Penyelesaian Putusan Hukum, Encep Sudarwan.
Tapi, janji pemerintah yang sudah diteken 12 Agustus 2015 itu belum direalisasi sampai kini. Jusuf sering menagih ke Kemenkeu, tapi jawabnya selalu: Masih diproses.
Menurut hitungan Yusuf, nilai utang yang semula disepakati Rp170 miliar itu sekarang jadi Rp800 miliar, termasuk bunga, karena utang tersebut berbentuk deposito.
Jusuf akan berusaha menemui Menko Polhukam, Mahfud Md. ia akan curhat soal ini kepada Mahfud.
Mengapa curhat ke Mahfud? “Ya, Bapak Mahfud tokoh bangsa yang bijaksana. Saya mau minta tolong Pak Mahfud.”
Prof Mahfud memang tokoh yang selalu mendorong perkara hukum agar ditangani secara adil. Tapi, entah di perkara yang rumit ini.
(*) Penulis adalah wartawan senior
Advertisement