Rumah Baru Untuk Para Mualaf Pancasila
SEPANJANG pekan kemarin kita dibombardir kampanye dengan tagline “Saya Indonesia, Saya Pancasila.” Dari sisi proyek atau mungkin lebih enak menyebutnya sebagai program, kampanye yang dirancang Badan Ekonomi Kreatif ini sungguh sukses.
Digarap secara serius, dengan gelontoran dana yang kelihatannya juga tidak kalah “serius,” kampanye program tersebut berlangsung sangat massif. Mulai dari pejabat tinggi negara, para pesohor dunia bisnis, artis sampai kalangan rakyat awam, ikut meramaikannya.
Para “Indonesia” dan para “Pancyasila,” itu ramai-ramai memasang foto tercantik, terganteng, terkeren, di sebelah kolom yang telah disediakan.
Tampilannya sungguh menarik dan menggoda. Paduan warna merah dan putih nampak sangat heroik. Kampanye ini agaknya disiapkan pemerintah untuk menyambut Hari lahirnya Pancasila yang diputuskan jatuh pada tanggal 1 Juni.
Gairah warga menyambut “Hari Lahirnya” Pancasila sungguh gegap gempita, terutama di dunia maya. Sebuah hal yang patut kita syukuri. Artinya ada semangat, ada kesadaran warga kita berbangsa dan bernegara dengan dasar Pancasila.
Hanya masalahnya, entah disengaja atau tidak, pilihan diksi “Saya Pancasila,” dinilai kurang tepat.
Beberapa kalangan akademisi, sampai budayawan sekelas Emha Ainun Najib dan Eros Djarot mempertanyakannya. Eros Djarot yang mengaku sebagai pendukung Jokowi --dan setidaknya sampai saat ini masih tetap mendukung Jokowi—mengaku terpaksa menyampaikan kritiknya. *“Saya Pancasilais…Saya bukan Pancasila,” tegasnya.*
Hegemoni tafsir dan makna
Argumen para pengritik atas kampanye tersebut sangat jelas. “Saya Pancasila” selain secara kata atau kalimat salah, secara makna dan tafsirnya bisa menjurus pada personifikasi bahkan bisa memecah belah bangsa.
Masih untung bila yang memasang foto di sebelah teks “ Saya Indonesia. Saya Pancasila” itu artis atau penyanyi, yang kata anak-anak muda sekarang super cantik sekelas Raisa, atau “tante cantik” Sophia Latjuba .
Bagi para pria muda dan pria yang tidak lagi muda, Pancasila menjadi hal yang sangat menyenangkan, cantik, sexy. Pancasila bisa membuat kita batal puasa, bila sampai terlalu lama memandangi wajah keduanya.
Bagi para turis asing Indonesia menjadi sangat menarik untuk dikunjungi dan disapa, karena dia adalah wanita cantik dan jelita. Kalau ini urusannya, maka harus kita dukung, karena akan menghasilkan devisa negara.
Namun bila foto yang dipasang di sebelah adalah foto Presiden Jokowi, urusannya bisa menjadi sangat serius dan sensitif. Kalimatnya bisa menjadi “Saya (Jokowi) Indonesia. Saya (Jokowi) Pancasila. Jadi Presiden Jokowi adalah personifikasi Pancasila.
Jokowi adalah presiden, figur yang harus sangat kita hormati. Beliau adalah kepala negara, tapi bukan negara itu sendiri. Presiden boleh dikritik, sementara negara harus kita jaga.
Bila kita mengkritik presiden, maka tidak boleh ditafsirkan kita mengkritik dasar negara. Ini bisa berbahaya, karena Pancasila adalah dasar negara yang telah kita sepakati bersama.
Bila kita ingin mengganti Presiden Jokowi—tentu saja harus melalui mekanisme yang demokratis, konstitusional, yakni pilpres—kita bisa dituduh ingin mengganti dasar dan idiologi negara.
Sementara kata “saya,” lawan katanya “kamu.” Kalau “saya” Pancasila, maka tafsirnya bisa menjadi “kamu” bukan Pancasila. Nah mengklaim diri sebagai Pancasila dan yang lain bukan Pancasila saat ini tengah menjadi fenomena. Yang satu Pancasilais yang satu “kafir” Pancasila.
Padahal kedua-duanya sama-sama anak bangsa. Sama-sama mengakui Pancasila sebagai dasar negara yang bisa menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Bedanya yang satunya adalah mualaf Pancasila, baru “beriman” dengan Pancasila, yang lainnya kendati sudah lama menjalankan dan mengamalkan Pancasila, tapi tidak pernah mengaku-aku apalagi mengklaim diri sebagai Pancasila.
Kampanye “Saya Indonesia, Saya Pancasila,” bila tidak ditangani dengan hati- hati, maka maksud baik dari pemerintah tadi bisa menjadi bumerang. Alih-alih menjadi faktor perekat dan pemersatu bangsa, tapi malah menjadi pemecah belah bangsa.
Mengapa? Ya karena tafsirnya masing-masing berbeda.
Rumah bersama
Para mualaf Pancasila, maupun yang sudah lebih dahulu ‘mengimani” Pancasila, semuanya adalah anak bangsa, bersaudara.
Dalam Islam para mualaf ini diperlakukan dengan mulia, harus dibantu, disantuni, karena mereka telah menjadi saudara seiman.
Rencana pemerintah membentuk sebuah Unit Kerja Presiden Pembinaan Idiologi Pancasila (UKP-PIP), harus disyukuri dan patut didukung, utamanya dalam meningkatkan “iman” dan “takwa” berdasar Pancasila,
Terbentuknya UKP-PIP selain akan memberi “rumah” bagi Pancasila, sekaligus bisa menjadi “rumah baru” bagi para mualaf Pancasila.
Fenomena banyaknya muncul mualaf Pancasila ini harus ditangani dengan tepat. Mereka harus diurus, dibina, diperlakukan dengan baik. Bukan dimusuhi.
Perlakukan pada mereka standarnya paling tidak harus sama dengan orang yang berpindah agama. Di Jakarta ada lembaga bernama Mualaf Center Indonesia. Motonya "Dare to Know The Truth,” berani mengetahui kebenaran.
Tugas lembaga ini membantu agar pengetahuan mereka tentang Islam semakin mendalam. Pemahaman mereka tentang praktik ibadah ritual dan sosialnya kian meningkat.
Di luar semua itu yang paling penting adalah menjaga iman mereka agar tetap kuat. Sebab sebagai mualaf, kondisi keimanan mereka masih sangat rentan. Mudah goyah.
Para mualaf Pancasila ini juga harus mendapat perhatian serius. Mereka ini adalah potensi bangsa yang mesti dirawat dan dijaga. Jangan sampai mereka mengaku, berikrar dan bertekad sungguh-sungguh menjadi seorang Pancasilais, namun karena dasar pemahamannya atas Pancasila masih sangat rendah, praktiknya menjadi menyimpang.
Mereka tidak salah. Yang salah adalah mereka yang mengajak ber-Pancasila, namun praktik Pancasila yang menyimpang.
Mereka mengajarkan bahwa bila beda pandangan dan pilihan politik dengan mereka sebagai “kafir” Pancasila.
Situasi dan kondisi saat ini mengingatkan kita dengan fenomena di perkotaan dan kampus-kampus di Indonesia, beberapa waktu lalu. Banyak anak muda yang semangat (ghiroh) keagamaannya tinggi, tapi salah mengambil ustadz atau guru mengaji.
Niat menjadi Islam yang baik, malah terjebak dalam gerakan Islam radikal. Niatnya pingin menjadi Islam yang saleh, malah terjebak dalam gerakan-gerakan Islam yang menyimpang. Niatnya ingin memahami mendalami Islam yang lebih kaffah (menyeluruh), malah masuk ke kelompok-kelompok yang mengajarkan Ahmadiyah dan Syiah.
Pembentukan UKP-PIP bisa menjadi solusi agar elemen anak bangsa tidak punya tafsir sendiri-sendiri tentang Pancasila. Samanya pemahaman tentang Pancasila bagi mualaf, maupun bukan, sangat penting dan mendesak.
Yang harus digaris bawahi tafsir tentang Pancasila, haruslah tafsir negara, bukan penguasa.
Pengalaman buruk pada masa Orde Baru harus kita cegah dan jangan sampai terulang. Saat itu tafsir Pancasila dipergunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Melawan penguasa berarti melawan Pancasila.
Dalam kondisi seperti itu Pancasila bukan lagi idiologi dan dasar negara, tapi telah menjadi alat gebuk penguasa.
Penguasa dan negara harus dibedakan. Penguasa, pemerintah boleh datang dan pergi silih berganti, sesuai mandat rakyat. Sementara negara akan langgeng selamanya, tergantung bagaimana kita menjaganya.
KITA (SAYA, KAMU) ADALAH PANCASILAIS. KITA ANAK BANGSA INDONESIA. end
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik.
Advertisement