Ruang Publik, Penistaan Agama dan Keberagaman
Mohammad Kece dan Yahya Waloni, keduanya terlibat dalam kasus penistaan agama (blasphemy) melalui medsos. Diduga keduanya melanggar KUHP pasal 310 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 156 (a) KUHP tentang penistaan agama.
Pasal-pasal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kebersamaan khususnya kerukunan umat beragama. Dalam hal ini medsos menjadi media yang rawan karena jangkauannya sangat luas dan cepat menyebar, sehingga memicu pro-kontra di masyarakat dan potensial mengganggu kerukunan beragama dan bahkan konflik sosial.
Di negara negara Barat, penistaan agama (blasphemy) berada diluar ranah hukum sesuai dengan prinsip sekularisme, yang didalamnya agama menjadi domain individu dan diluar domain negara atau publik. Sebagai contoh media Perancis memuat kartun gambar Nabi Muhammad saw, meskipun mendapat protes keras dari umat Islam tetapi tidak bisa disentuh hukum.
Komitmen Bapak Pendiri Bangsa (Founding Father)
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), para pendiri bangsa menyadari bahwa perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) potensial menjadi sumber perpecahan. Oleh karena itu Presiden Sukarno pada 1951 menciptakan semboyan “Bhineka Tunggal Ika" yang dicengkeram kuat oleh burung Garuda Pancasila yang dimaksudkan sebagai lambang “Keberagaman”.
Secara ringkas, pesan kebhinekaan tersebut adalah perbedaan agama dikelola sedemikian rupa, sehingga menjadi salah satu fondasi persatuan yang kokoh. Ketika kita mendiskusikan ajaran agama yang berbeda dengan agama lain seperti soal aqidah, maka gunakanlah “Ruang Privat" misalnya tempat ibadah atau ruang tertutup lainnya. Dalam ruang privat tersebut primordialisme agama dibicarakan secara bebas, tetapi jangan sampai keluar ke Ruang Publik.
Demi Kepentingan Bersama
Sedangkan “Ruang Publik" merupakan ruang bersama untuk membahas kepentingan bersama warga bangsa, sehingga sedapat mungkin dijauhkan dari unsur premordial. Rapat RT, RW,DPR, Kantor Pemerintah dll-nya merupakan ruang publik. Medsos juga bagian dari ruang publik, hati hati mengggunakannya.
Umat Islam yang merupakan mayoritas, idealnya menjadi yang paling depan dalam memelihara dan membangun kerukunan beragama. Apalagi sebagian besar kaum Muslimin di negara kita sebagian besar mengikuti prinsip Wasathiyah mengedepankan sikap toleransi.
Wasathiyah Islam
Sikap Wasathiyah itu merujuk kaidah kaidah baku dalam Al-Quran yaitu “Keadilan - Kebebasan - Keberagaman”. Banyak ayat Quran yang berisi kaidah tersebut antara lain Surat Al-Maidah ayat 8 tentang “Keadilan" yang pada intinya bersikap adil lebih dekat dengan takwa dan perintah untuk bersikap adil dan tdk menbenci terhadap pengikut agama lain.
Surat Al-Kahfi ayat 29 mengandung makna “Kebebasan“ atau lebih tepat tidak ada paksaan dalam agama. Adapun ayat Al-Quran yang sering dikutip dalam membahas tentang “Keberagaman" suku dan bangsa adalah Surat Al- Hujurat ayat 13.
Terlepas adanya kritik terhadap pasal pasal penistaan agama yang bersifat pasal karet dari pembela HAM, namun eksistensi pasal-pasal itu diperlukan dilihat dari perspektif Keberagaman dan Persatuan.