Royke Lumowa Selesaikan Misi Bersepeda Jakarta-Paris
Royke Lumowa akhirnya menginjakkan ban sepedanya di kota Paris, ibukota Prancis tepat Senin, 29 Juli 2024 pada jam 11 siang.
Di kota inilah akhir perjalanan gowes dari Jakarta tanggal 8 Juli 2023 menuju Paris. Sengaja dipilih kota indah ini karena bertepatan dengan Olimpiade Paris 2024.
Perjalanan selama 1 tahun 21 hari ini mencatatkan jarak 20.873,62 kilometer. Dengan elevation gain 150.583 meter.
Bagaimana kisahnya?
Inilah catatan Royke Lumowa ∂engan gaya bertutur “saya” yang ditulis oleh Jannes Eudes Wawa.
Ini bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan. Kenyataan ini membuat hati saya begitu bahagia. Saya ingin ekspresikan pencapaian ini dengan melompat kegirangan dan menangis seraya berterima kasih kepada Tuhan atas perlindungan dan penyertaanNYA saat memasuki garis finis.
Akan tetapi, saya mencoba menahan diri. Apalagi, di garis finis yakni di Club France, Grande Halle de la Villette telah menunggu Presiden Komite Olimpiade (NOC) Perancis David Lappartient. Ini sungguh sebuah kehormatan yang luar biasa.
Di tengah kesibukannya mengurusi penyelenggaraan olimpiade musim panas di Paris, Presiden Union Cycliste Internationale (UCI) ini masih mau meluangkan waktu menerima kedatangan saya di garis finis. Saya memberi hormat yang tinggi padanya.
Selamat datang di Paris
Begitu tiba di finis, saya melihat Presiden NOC Perancis David Lappartient antusias menyambut. Dia menebarkan senyum, dan spontan langsung berdiri di depan panggung seraya menyatakan, “Dengan bangga, kami menyambut Anda di Paris pada hari ini. Selamat datang di Paris. Selamat datang di Olimpiade Paris”.
Club France adalah markas kontingan Perancis selama mengikuti Olimpiade Paris. Lappartient menyatakan salut dan hormat atas keberhasilan saya yang telah mendedikasi waktu dan tenaga untuk melakukan perjalanan bersepeda yang jauh dari Jakarta hingga Paris selama 387 hari melewati 44 negara.
Apalagi, dalam misi mulia ini telah mengusung gerakan penyelamatan lingkungan dan mengampanyekan Olimpiade Paris 2024.
“Bersepeda yang begitu jauh dan lama ini sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa. Tidak banyak orang mau melakukannya. Gerakan ini sangat menarik sebagai salah satu cara mendukung pemeliharaan bumi dari kerusakan dan kehancuran,” kata Lappartient.
Kehadiran Presiden NOC Perancis ini tidak terlepas dari peran Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Raja Sapta Oktohari.
Dia memberikan perhatian yang serius atas perjalanan bersepeda yang begini jauh dan lama. Sebagai mantan Ketua Umum PB ISSI, dia bangga atas gerakan saya melakukan kampanye penyelamatan lingkungan dengan gowes keliling dunia.
Sejak sebelum memulai petulangan ini, Pak Okto sudah memberikan dukungan dan perhatian. Bahkan, selama dalam perjalanan pun, beliau selalu mengontak saya menanyakan posisi sudah dimana dan lain sebagainya.
Bahkan, dalam sebuah kesempatan, Pak Okto sempat menyampaikan rencana ingin mengundang Presiden NOC Perancis untuk menerima saya saat masuk finis di Paris. Saya sangat senang dengan ide itu dan langsung menyetujui. Ternyata, rencana tersebut menjadi kenyataan.
Timbah pengalaman
Saya sungguh berterima kasih kepada Pak Okto. Dia telah menempatkan perjalanan saya ini pada posisi terhormat. Saya tidak menduga bakal mendapatkan penerimaan yang begitu bagus dan seru. Apalagi ada pula tarian reog Ponorogo dan pementasan atraksi pencat silat.
Pak Okto juga menilai saya sebagai orang gila. “Ini aksi gila. Bersepeda dari Jakarta hingga Paris itu bukan hal gampang. Kita perlu banyak belajar dari Pak Royke tentang hal ini,” tegasnya.
Saya juga terharu dengan kehadiran Presiden Direktur Indika Energi Pak Arsjad Rasjid. Beliau adalah orang yang sangat mendukung perjalanan ini. Dia mengizinkan saya berangkat. Dia juga memutuskan Indika Energi dan kelompok usahanya menjadi sponsor utama dalam perjalanan bersepeda ini. Pak Arsjad pula yang mendorong saya agar bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan.
Di antara para tokoh itu, hadir pula Duta Besar Indonesia untuk Perancis Mohamad Oemar, Wakil Presiden NOC Perancis Joseph Pierre Luc Tardif, dan masyarakat Indonesia dan para pecinta sepeda lainnya. Banyak yang merasa bangga karena ada orang Indonesia ikut mengampanyekan Olimpiade Paris dengan cara yang unik, yakni bersepeda dari Jakarta. Ini fenomenal. Saya berterima kasih atas apresiasi mereka.
Mampu lewati rintangan
Saya memulai petualangan yang ini pada Sabtu, 8 Juli 2023 di Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Saya tidak menyangka mampu menyelesaikan perjalanan yang mengusung tema: Cycling Anywhere to Save the Earth. Bersepeda Kemana Saja untuk Selamatkan Bumi!
Apalagi sebelum saya melakukannya, nyaris tidak terdengar ada orang Indonesia pernah mengayuh sepeda dari Indonesia hingga Paris dengan mengelilingi negara sebagian besar Eropa timur dan semua Eropa barat. Sebaliknya, orang Eropa yang gowes dari wilayah benua tersebut ke Indonesia cukup sering.
Maka, begitu menuntaskan perjalanan ini, saya merasa sungguh bahagia. Saya telah mampu melewati tantangan dan rintangan, mengalahkan segala kekhawatiran yang kadang berkecamuk dalam hati, dan berhasil membuktikan bahwa segala rencana dan niat baik pasti terwujud selama kita tekun, memiliki keberanian dan tekad yang kuat untuk menjalaninya.
Selama perjalanan, begitu banyak tantangan dan kesulitan datang silih berganti seakan menggoda saya untuk putus asa dan cepat pulang. Mulai dari gangguan suhu ekstrim, elevasi ekstrim, badai angin kencang, pencurian uang, bahkan pencurian sepeda, kesulitan memperpanjang visa Uni Eropa dan lainnya.
Untung saja saya tidak menderita sakit. Semua persoalan tersebut akan menjadi gangguan pikiran apabila tanpa pertolongan Tuhan. Mungkin saya akan putus asa dan tidak melanjutkan perjalanan. Sungguh suatu mujizat Tuhan
Kejadian-kejadian spektakuler itu dapat saya rangkum menjadi tujuh bagian besar. Saat menyusuri puluhan negara yang terbentang dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Eropa Timur, Eropa Utara hingga Eropa Barat tidak segampang kita membalik telapak tangan. Super berat.
Medan terberat
Medan terberat di Tibet, China. Elevasinya mencapai 5.250 meter di atas permukaan laut (mdpl) melewati tiga gunung. Ketinggian seperti itu tentu menguras tenaga luar biasa. Apalagi kandungan oksigen pada ketinggian tersebut sangat tipis.
Tanjakan berat itu saya hadapi sejak dari dari Provinsi Yunnan. Medan berat lainnya adalah tanjakan (passo) Mortirolo, Italia utara, dan tanjakan lainnya di Pegunungan Alpen.
Saya juga menghadapi suhu panas yang menyengat di Yunnan dekat Tibet mencapai 45 derajat celcius. Wheelset belakang sepeda sampai meletus kepanasan. Suhu panas ini, menurut warga, baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Anomali ini sebagai salah satu bukti dari dampak perubahan iklim.
Masih ada lagi badai gurun di Pakistan selatan selama 45 menit, angin kencang di Yunani dan Jerman utara. Sepeda sempat melayang layang akibat tertiup angin. Badai salju dan dingin ekstrim di Latvia dan sekitarnya hingga menyentuh angka minus 26 derajat celcius.
Sementara itu, terkait perlintasan batas negara, setidaknya ada 5 border yang menguras tenaga untuk berpikir dan membutuhkan kesabaran. Pertama, di border Sadao, Thailand. Mobil tidak boleh masuk via border ini, kalau tanpa mobil boleh, entah mengapa. Akhirnya mobil berputar sejauh 300 kilometer ke border lainnya (Border Sungai Kolok).
Saya pun lanjut bersepeda dan bertemu mobil pengiring setelah beberapa hari karena jaraknya hampir 1.000 kilometer. Saya menyewa kendaraan setempat dan sopir untuk mendampingi sementara.
Kedua, di border Raxaul, India. Selepas dari Nepal saya akan melewati border ini untuk masuk ke India dan seterusnya. Parahnya ternyata visa India saya adalah visa elektronik. Visa ini diizinkan masuk India hanya melalui bandara atau pelabuhan.
Kami tidak boleh masuk melalui border darat. Saya perlu beberapa hari bertahan di Kathmandu, Nepal untuk urus masalah ini. Perwakilan KBRI Dakha yang berada di Kathmandu membantu melakukan negosiasi dengan Kedutaan India di Kathmandu namun tidak berhasil.
Jalur rawan
Akhirnya saya putuskan masuk India dengan pesawat terbang ke New Delhi lalu kembali ke border Raxaul via darat dengan naik mobil rental berjarak jarak 750 kilometer. Di border itu, saya menjemput mobil pengiring yang dikemudikankurir orang Nepal, bernama Suman.
Dari sana, saya melanjutkan bersepeda menuju ke rute selanjutnya, salah satunya ke New Delhi.
Ketiga, di border Rimdan, Pakistan yang berbatasan dengan Iran. Persoalan di sini sama dengan masalah di border Sadao, Thailand yaitu mobil dari luar Pakistan dan Iran tidak boleh melintas di border ini.
Mobil kami harus melalui border Taftan jauh di utara dengan jarak 2.000 kilometer. Kami pun kembali lagi ke timur lalu utara dan akhirnya ke barat menuju border Taftan dengan melintasi wilayah Provinsi Bolikistan yang terkenal rawan.
Sungguh jauh dan berbahaya serangan teroris. Di wilayah provinsi ini sering terjadi serangan teroris. Itu sebabnya setiap 10 kilometer ada pos penjagaan polisi. Kami kemana-mana dalam kawalan polisi secara estafet.
Kelima di border Kapikoy, Turki, petugas bea dan cukai memeriksa semua barang bawaan. Muatan mobil dibongkar dan periksa satu per satu hingga yang barang terkecil.
Hal tersebut tidak pernah terjadi di border sebelumnya yang saya lewati. Pemeriksaan memakan waktu 9 jam. Sungguh melelahkan.
Sesuai aturan bahwa perpanjangan visa Schengen harus dilakukan di negara asal masing-masing. Setelah melalui bantuan beberapa KBRI setempat yang saya lewati sejak dari Turki hingga Belanda ternyata tetap harus kembali ke Jakarta untuk mengurus perpanjangan visa tersebut.
Maka inilah pengurusan surat-surat terjauh yang saya alami selama hidup yaitu dari Amsterdam ke Jakarta pergi-pulang (pp).
Kriminalitas
Gangguan kejahatan yang saya alami sebanyak 3 kali terjadi aksi pencurian, yaitu pencurian terhadap 2 unit sepeda saya di Kota Roma, Italia. Pencurian uang tunai di kamar hotel di Kota Chalus, Iran.
Pencurian barang-barang di dalam mobil saat parkir dengan memecahkan kaca jendela di Teheran. Lalu 1 kali mobil ditabrak orang mabuk saat parkir di depan hotel di Kota Tekirdag, Turki.
Kesehatan menjadi hal utama dalam utuhnya petualangan ini. Bukan hanya kesehatan saya pribadi semata tapi juga kesehatan keluarga di rumah, keluarga dekat, sahabat di tanah air dan lainnya. Juga termasuk crew atau teman seperjuangan dalam penjelajahan ini.
Mujizat Tuhan, saya tidak pernah sakit maupun gejala sakit. Sayangnya crew yang satu per satu harus kembali ke Indonesia karena alasan kesehatan ataupun rindu rumah.
Istri saya sempat harus diambil tindakan operasi namun Puji Tuhan, hal itu tidak terlaksana karena ternyata hasil diagnosa terakhir belum membutuhkan tindakan operasi.
Patut disadari bahwa untuk melakoni medan berat penuh tantangan ini harus memiliki tiga syarat utama yaitu: Kekuatan fisik dan mental; keberanian untuk mengambil keputusan dengan segala resiko, dan sedikit gila (out of the box).
Bila ketiga hal tersebut digunakan untuk menghadapi tantangan dan hambatan yang selalu menguras tenaga dan pikiran, maka akan berubah menjadi menyenangkan dan bahagia.
Advertisement