Rombak Naskah dan Kehilangan Djaduk Jadi Warna Pentas Gandrik
Tim pementasan Teater Gandrik benar-benar mempersiapkan diri dengan semaksimal mungkin untuk bisa memberikan penampilan terbaiknya dalam pementasannya di Surabaya. Direncanakan pementasan akan diselenggarakan di Ciputra Hall, Surabaya, 6-7 Desember 2019.
Persiapan itu diperlihatkan bagaimana tim berkali-kali merombak naskah yang akan dibawakan karena disesuaikan dengan kondisi terbaru. Selain itu, kata Susilo Nugroho salah satu penulis naskah, bahwa perubahan itu terjadi karena munculnya pemikiran liar dari para pemeran ketika bersama-sama membaca naskah.
"Kami rombongan orang goblok yang sok pinter. Agus Noor bikin naskah tapi masih menilai jelek. Pengen lucu kok gak ada lucunya. Akhirnya kita terus lakukan rewriting karena muncul pikiran kami yang tidak berdasar data. Jadi kami ini rombongan orang goblok tapi sok yok-yok o," ungkap Susilo dalam konferensi pers di Coffee Toffee Taman Apsari, Surabaya, Kamis 5 Desember 2019.
Susilo mengaku, jika cerita itu garis besarnya sama dengan cerita yang dibawakan sebelumnya ketika tampil di Jakarta dan Yogyakarta yaitu membawa semangat anti korupsi. Namun, setiap pementasan selalu dibuat berbeda dengan situasi yang pertama yakni di Yogyakarta dengan situasi sebelum pemilihan presiden 2019. Kedua, kondisi setelah Pilpres, dan terbaru cerita dengan kondisi pasca penetapan kabinet.
Susilo mengaku, cerita ini diangkat dengan pikiran awal yang sama. Yakni, semua orang terutama pemimpin memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Namun, apakah itu baik? Tentu tidak, mengingat saat ini berkali-kali ganti pemimpin selalu ada masalah korupsi.
"Kita mimpi bareng. Nah mimpi itu antara lain problem korupsi kita andai. Presiden akan datang dalam bayangan kita baik semua. Namun, apakah problem korupsi selesai? Intinya tetap sulit diselesaikan. Sehingga kita berhitung Jokowi 2024 habis itu. Nah kita bayangkan beberapa periode ada penggantinya yang pasti membuat langkah ekstrem," tuturnya.
Kisah gilanya pun muncul, ketika dalam pementasan ini diceritakan bahwa langkah ekstream yang diambil adalah membuat koruptor yang mati meninggalkan hutang bisa bermanfaat.
Lah gimana bisa ya?
Karena orang mati tidak boleh meninggalkan hutang. Nah, karena koruptor pasti meninggalkan hutang maka jenazah koruptor akan dimanfaatkan sebagai pakan ternak, jadi pupuk dan sebagainya sehingga hutang pada masyarakat habis.
"Kita angkat tema ini karena kalau ngomong korupsi itu gak habis-habis. Makanya kita buat dengan cerita seperti ini. Kita buat dengan kondisi yang sesuai dengan kondisi saat ini," pungkasnya.
Selain masalah cerita, persiapan ini dilakukan dengan semaksimal mungkin di tengah kondisi psikologis yang menurun pasca meninggalnya sutradara Djaduk Ferianto yang lebih dahulu dipanggil yang Maha Kuasa.
"Dari sisi teknis kita sudah terbiasa bersama-sama (walau tanpa Djaduk). Tapi ini masih berdampak pada psikologis kami karena kita dulu selalu mikir bareng," ungkapnya.
Senada dengan Susilo, pimpinan produksi pementara Butet Kartaredjasa mengaku, jika tim merasa kehilangan sosok Djaduk yang sangat memperlihatkan dedikasinya pada dunia seni.
"Semua teman-teman dalam situasi latihan merasakan ada yang asing dan ganjil. Bahkan, sampai besok pasti ada suasana yang ganjil tanpa kehadiran Djaduk," ungkapnya Butet.
Walau tampil tanpa Djaduk, Butet memastikan timnya telah berkomitmen akan menampilkan penampilan terbaik dengan kondisi apapun.