Rokok Jatim, Kini dan Nanti
Oleh Sunaryo Kartodiwiryo
Tak tedengar riak keresahan atas Pasal 154 dan 156 RUU Kesehatan di Jawa Timur (Jatim). Pasal 154 sebagai langkah “aneksasi” rokok sebagai golongan narkoba berjalan terus dan praktis hanya hangat di kalangan tertentu.
Yang dominan protes adalah petani, asosiasi dan pengusaha. Dan yang ramai hingga turun ke jalan adalah para asosiasi medis. Tak terdengar kajian akademisi bagaimana impact rancangan beleid itu ke berbagai sektor ekonomi Jatim. Bagaimana jika tiba-tiba rokok sama dengan narkoba. Seperti diketahui sektor tembakau adalah penyumbang + 6% dari PDB regional Jatim.
Bagi Jatim, Rokok adalah “nadi” kehidupan di banyak wilayah kabupaten. Malang, Sidoarjo, Pasuruan, Jember, dan Madura merasakan betul pentingnya sektor ini. Madura khususnya, lima tahun lalu fokusnya pertanian, bukan tembakau. Tapi kini geliat ekonominya dominan Industri tembakau.
Seorang pejabat Australian Customs mengatakan, sektor tembakau adalah livelihood bagi Madura. Ungkapan ini muncul kala protes kepada Bea Cukai Indonesia atas penyelundupan tembakau dari Pulau Garam ke Australia beberapa tahun lalu. Dan sekiranya ada sesuatu yang menyebabkan kinerja sektor tembakau menurun, apakah Madura akan baik-baik saja?
Roapmap Industri Hasil Tembakau (IHT) melalui Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 mengatur salah satu agendanya adalah alih tanam dari tembakau ke sektor lain. Selama lima belas tahun berjalan, beleid itu hanya indah di webinar dan seminar. Juga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Bappenas mengatur lagi pengalihan tanaman tembakau ke sektor lain.
Beleid “kerdilisasi" sektor tembakau tak pernah berhenti, bahkan level regulasinya hingga tataran presiden. Kalau tolok ukur keseriusan sebagai faktor penentu keberhasilan sebuah program, Negeri Indonesia sudah melebihi semua negara. Dan kembali kenapa belum menuai hasil?
Tembakau adalah tanaman unik yang tumbuh pada ketinggian dua ratus sampai tiga ribu meter di atas permukaan laut. Cocok ditanam di daerah beriklim kering dan hangat dengan curah hujan rata-rata 1500 sampai 2000 mm/tahun. Untuk hasil paling baik, tembakau sebaiknya dimatangkan tanpa hujan yang deras.
Suhu udara yang ideal untuk pertumbuhan tembakau adalah antara 21oC – 32oC. Karenanya memang tak mudah menanam tembakau. Dan hingga kini belum ada komoditas yang bisa menyamai apalagi menggantikan dari aspek keekonomian.
Yang unik untuk sebuah regulasi yang berangkat dari kajian saintifik mengatur pengalihan petani tembakau ke sektor lain, di saat yang sama setiap tahun defisit berton-ton tembakau. Padahal slogan dan kampanye penggunaan produk dalam negeri tak pernah henti bahkan dimitigasi dari aplikasi pengadaan pemerintahan. Melihat ini, kembali stakeholder jawa timur tak juga reaksi.
Tahun 2022 sumbangan Jawa Timur ke APBN Nasional 61% dari sektor cukai rokok. Dua pabrik penyumbang cukai lebih dari 50% berasal dari Jawa Timur. Karena kontribusinya ini, maka Jawa Timur mendapatkan bagi hasil cukai rokok sebesar Rp 2,1 triliun tahun 2022.
Jumlahnya akan terus bertambah dari tahun ke tahun dalam hal penerimaan cukai bertambah. Terlepas dari sifat dananya yang spesifik grand, dana bagi hasil cukai rokok ini sebenarnya dana yang sangat fleksibel. Pada saat Covid-19 alokasi untuk penanganan vaksin dan juga pengobatannya dari cukai rokok. Pada saat BPJS defisit, yang nggerojok pertama kali juga berasal dari penerimaan rokok dari kantong pajak rokok.
Kalau sektor rokok kinerjanya menurun seperti tahun 2023, di mana hingga pertengahan Juni turun hingga dua digit apakah semua baik-baik saja dari dana bagi hasil cukai, pajak rokok, dan juga produk domestik regional bruto Jawa Timur?
Sebentar lagi RUU Kesehatan akan sampai pada rapat paripurna badan legislasi. Nasib Pasal 154 dan 156 kita belum tahu seperti apa. Apakah sektor rokok akan memasuki zaman baru, di mana akan disamakan dengan narkoba. Dan akankah Indonesia menjadi pioneer untuk dunia?
Pada saat yang sama India dan China berlomba-lomba menjadi leader dunia sektor tembakau khususnya turunannya, yakni ekstrack nikotin. Dan nun jauh di sana raksasa global sektor tembakau Philip Morish mengampanyekan stop merokok berasap di tangan kanannya, sementara tangan kirinya produk sigaret dengan aerosolnya.
Negeri kita sangat “visioner” jauh melangkah dalam berbagai tatanan regulasi dari hulu hingga hilir negeri. Pada saat yang sama petani tembakau dan pekerja industri tembakau berjuang mencari penghidupannya sendiri. Para politisi pun hanya berempati ke petani di kala perebutan suara dimulai. Itu pun masih dengan catatan, foto kedekatan mereka dengan industri tak tersebar ke seluruh negeri.
Selebihnya, tak ada yang berubah di sektor tembakau. Industri membuat paper akademik terbentur dengan kampanye larangan kampus menerima proposal penelitian dibiayai industri rokok. Alhasil langkah sebatas menemui para tokoh dan pejabat yang mengetahui sektor ini.
Pada waktu yang sama di lapangan berbagai praktik menghendaki sektor ini dibawa ke ilegal sangat menggoda. Bahkan membawa ke sektor yang diharamkan pun tak apa. Hebat kah jika sektor tembakau menjadi barang larangan? Rupanya merebaknya kasus narkoba tak membuat para cendekia kita membuka mata. Sektor narkoba pun tak bisa membuka mata.
Sebuah video dari Negeri Kanguru barangkali bisa menjadi bukti. Satu kontainer membawa tembakau rajang hanya dalam waktu tiga jam ludes "digilir” pick up berjejer antre membeli. Semua akan dijual menjadi tembakau tingwe alias linting dhewe. Wajar satu paket tingwe secangkir hanya sekitar Rp20.000 dan itu bisa satu minggu. Sementara rokok sigaret putih legal Rp300.000 dalam rupiah.
Teori memahalkan sigaret yang banyak digaungkan para ekspertis Indonesia tak membuat perokok berhenti. Atau barangkali karena itu lantas mengusung pasal “aneksasi” dalam RUU Kesehatan? Ah tak elok berburuk hati, sebagaimana ajaran leluhur Ndoho Kediri. Selamat menunggu warga Jatim.
*) Sunaryo Kartodiwiryo adalah Kepala Bea Cukai Kediri.
Advertisement