Roehana Koeddoes, Pelopor Feminis Indonesia di Era Kolonial
Jika sebagian besar literatur gerakan feminis dimulai dengan gelombang pertama di tahun 1800 hingga 1920an, Indonesia atau Hindia Belanda saat itu juga terpapar gelombang ini. Ada Roehana Koeddoes, jurnalis asal Sumatera Barat yang wajahnya menjadi Google doodle hari ini, menjadi pelopor feminis di masa itu.
Roehana Koeddoes
Googgle doodle menggunakan wajah perempuan Sumatera Barat lengkap dengan kerudung di masa itu, dalam wajah Roehana Koeddoes, per Senin 8 November 2021. Dooddle ini bisa dinikmati di seluruh beranda mesin pencari Google yang dibuka di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam keterangannya, Google menyebutkan jika Roehana Koeddoes adalah pejuang kesetaraan perempuan sekaligus kebebasan berekspresi. Presiden Joko Widodo mengangkat Roehana Koeddoes sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2019, atau sekitar 47 tahun setelah ia wafat, pada 17 Agustus 1972.
Warisan Pendidikan Roehana Koeddoes
Google menyebut jika Roehana Koeddoes lahir dengan nama Siti Roehana pada 20 Desember 1884 di kota kecil bernama Koto Gadang di Sumatera Barat. Saat itu Indonesia masih menjadi wilayah jajahan Belanda di bawah Hindia Belanda.
Roehana Koeddoes dibesarkan di zaman di mana perempuan Indonesia terpinggirkan dari pendidikan. Ia yang gemar membaca koran kemudian menumbuhkan kebiasaan membagikan informasi dari surat kabar itu, kepada sekelilingnya.
Tahun 1908 ia menikah dengan aktivis pergerakan yang juga notaris dan penulis, Abdoel Koeddoes. Bagi Rohana pernikahan semakin mendorong aktivitas dan perjuangannya dalam mencerdaskan perempuan.
Tahun 1911 Roehana Koeddoes mendirikan sekolah pertama di Indonesia yang khusus menampung pelajar perempuan. Sekolah itu bernama sekolah Kerajinan Amal Setia (KAS) dikutip dari kompas.com. Sekolah Roehana memberdayakan perempuan sekitar dengan mengajarkan banyak hal, mulai dari membaca literatur Arab hingga tata krama.
Roehana Koeddoes sebagai Jurnalis
Kecintaanya tentang surat kabar sekaligus upaya memberdayakan perempuan, membuatnya mendirikan surat kabar pertama khusus perempuan Soenting Melajoe tahun 1912. Surat kabar yang menginspirasi lahirnya surat kabar perempuan lainnya di Nusantara, berdiri untuk menyuarakan suara kaum perempuan.
Soenting Melajoe yang bermakna Perempuan Melayu berdiri dengan kerja sama bersama Soetan Maharadja, pemimpin redaksi surat kabar Utusan Melayu. Di Soenting Melajoe, Roehanna Koeddoes menjadi pemimpin redaksinya.
Roehana Koeddoes juga terlibat dalam penerbitan beberapa surat kabar yang lain. Surat kabar itu antara lain Perempoean Bergerak di Medan bersama Siti Satiaman dan Parada Harahap serta surat kabar Radio di Padang.
Pelopor Feminis
Tak salah bila Roehana Koeddoes disebut sebagai pelopor gerakan dan pemikiran feminisme di Indonesia, seperti yang disampaikan oleh Gadis Arivia dan Nur Iman Subono, dalam A Hundred Years of Feminism in Indonesia, an Analysis of Actor, Debates and Strategis, dikutip dari indonesia.go.id, pada Senin 8 November 2021.
Sejumlah pelopor feminis Indonesia lainnya, seperti Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Siti Walidah, RA Kartini dan Nyi Achmad Dahlan, bersama Roehana Koeddoes, mereka hidup dan berjuang di era dan generasi yang sama.
Roehana Koeddoes dan pelopor feminis lainnya berjuang di tengah penindasan penjajah serta budaya patriarki di masa itu, terhadap mereka dan kaum perempuan.
Dalam konteks inilah, sejarah mencatat kelima figur perempuan itu masing-masing memiliki jasa dan kontribusi besar dalam agenda gerakan kemajuan dan pemajuan kaum perempuan. Arivia dan Subono mencatat kelima sosok perempuan itu sebagai “tokoh pelopor feminis” di Indonesia.
Merekalah para peletak dasar bagi ide-ide gerakan emansipasi kaum perempuan Indonesia. Kini, setelah Roehana Koeddoes menjadi penerima gelar sebagai pahlawan nasional yang paling akhir di antara lima nama feminis tersebut, pada hari ini di tahun 2019. (Gog/Kmp/Ind)