Roda Kehidupan, Si Anak Dikira Pengemis
Humor tak selalu harus dari kisah yang bikin terbahak-bahak. Tapi, tetap memberi renungan bagi dimensi esoteris dalam kehidupan: Nilai Religiusitas. Kali ini Amrin Pembolos tidak tertawa keras. Ia hanya tersenyum. Senyum keseharian merenungi kisah seorang kaya:
Suatu malam setelah maghrib, aku mengendarai mobil menuju rumah. Tiba-tiba rasa migrain nyeri menyerang kepala hingga aku menepikan mobilku.
Berhenti sejenak menunggu rasa nyeri berkurang, aku berusaha mengalihkan pikiran dengan melihat sekeliling. Tiba-tiba kaca mobilku diketuk seorang anak laki-laki kira-kira umur 12 tahun. “Pak.. Bapak mau parkir? Saya bantuin untuk parkir mobilnya ya.” katanya.
“Belum sekarang, saya mau istirahat dulu,” jawabku.
“Kalau begitu apa Bapak punya uang Rp2.000?” tanya anak itu.
Si Kaya Tak Mau Diganggu
Karena aku sedang tidak mau diganggu, aku buru-buru serahkan uang itu. Lalu aku mulai mengamati anak itu. Dia mendekati tukang gorengan lalu membeli beberapa gorengan. Kemudian gorengan itu dia berikan pada sesosok orang tua yang duduk di bawah tiang listrik. Ketika dia melewati samping mobilku, aku buka kaca dan memanggilnya.
“Eh.. dik sini, itu siapa?” tanyaku.
“Gak tau pak, saya juga baru saja ketemu” jawabnya.
“Loh, tadi kamu minta uang ke saya untuk beli gorengan, kenapa diberikan ke bapak tua itu?” tanyaku.
“Oh.. saya tadi duduk di situ, ngobrol sama bapak itu. Bapak itu katanya puasa. Tadi saya lihat buka puasanya cuma minum. Katanya uangnya habis. Hari ini saya nggak jualan koran. Tanggal merah pak. Jadi ga punya uang. Saya cuma ada uang 1000. Kalau beli gorengan cuma dapat 1 kasihan ga kenyang. Makanya saya minta bapak 2000. Biar dapat 3. Bapak mau parkir sekarang? Saya bantuin parkir ya pak. Bapak kan udah bayar. Kalau saya sebenernya bukan tukang parkir,” katanya tertawa sambil garuk-garuk pipinya.
Aku terdiam. Tadi aku pikir anak ini pengemis seperti anak-anak yang biasa mangkal di jalan. Ternyata aku salah besar.
“Terus uang kamu habis dong dik?” tanyaku.
“Iya pak. Nggak apa-apa. Besok bisa jualan koran. Insyaa Allah ada rezekinya lagi.” jawabnya.
“Kalau begitu bapak ganti ya uangnya, dik … Sekalian sisanya buat jajan.” kataku sambil menyerahkan lembaran uang Rp 20.000,-.
“Nggak usah pak. Jangan..! Ibu saya sebetulnya melarang saya minta-minta. Makanya saya tawarin bapak parkirin mobil. Soalnya tadi saya kasihan bapak tua itu saja. Cuma saya benar-benar nggak punya uang,” katanya lagi.
“Eh, Dik.. Bapak minta maaf ya tadi salah sangka sama kamu. Kirain kamu tukang minta-minta” kataku merasa bersalah.
“Saya yang minta maaf, Pak. Saya jadi minta uang duluan sama Bapak. Padahal saya belum kerja,” jawabnya.
“Sama-samalah. Ini ambil uangnya. Ini kamu nggak minta, bapak yang beri.” kataku.
“Nggak pak. Terima kasih. Bapak mau parkir sekarang?” tanyanya lagi.
“Nggak. Bapak nggak usah dibantu parkir,” kataku.
“Beneran pak? Soalnya saya mau jemput adik saya ngaji dulu. Takut nangis kalau kelamaan telat jemputnya,” katanya.
“Sudah, sana jemput aja adikmu.” kataku tersenyum.
“Makasih ya pak,” katanya setengah berlari meninggalkan saya yang termangu.
Aku menoleh ke tiang listrik, bapak tua itu sudah pergi. Aku lihat dari spion mobil, anak itu berjalan setengah berlari.
Di luar sana banyak orang tidak seberuntung kita, tapi mereka masih memikirkan sesama. Masih berusaha bersedekah dan sangat yakin akan jaminan rezeki.
Terima kasih nak, kamu hari ini telah memberikan pelajaran akhlak yang luar biasa untukku. Semoga hidupmu berlimpah berkah dan rezeki.
Aku starter mobil dan melaju pelan-pelan menuju rumah. Aku sediiih dan tanpa sadar meneteskan air mata, kerena belum bisa berbuat banyak untuk sesama.
"Berbagi ternyata tak harus menunggu kaya. Pelajaran berharga tak selalu dari orang yang berilmu," senyumnya mengakhirnya kisah.
Advertisement