Rocky Gerung Mestinya Tak Gerung-Gerung
Rocky Gerung dilaporkan ke polisi karena menyebut jenggotnya KH Agoes Salim seperti kambing. Ia dianggap melecehkan pahlawan nasional asal Sumatera Barat ini.
Kita bisa menduga maksud dosen UI yang lagi ngehits dengan dagangan narasi akal sehat ini saat menyinggung Agoes Salim. Ia diundang ke sana kemari untuk manggung tentang akal sehat Seakan segala hal yang dikatakan adalah akal sehat.
Bagi saya tampilnya Rocky Gerung dalam perpolitikan Indonesia merupakan sesuatu yang menarik. Ia dosen. Ia guru filsafat. Ketokohannya meroket setelah ia sering tampil dalam acara sebuah TV nasional yang diasuh wartawan senior Karni Ilyas.
Dalam politik, seorang aktor bisa muncul dan tenggelam. Bisa mati berkali-kali. Jika manusia mati hanya sekali. Politisi bisa mati dan hidup lagi. Tergantung kemampuannya mencari panggung. Kalau perlu menciptakan panggung sendiri.
Sejauh mana panggung akal sehat Rocky Gerung bisa bertahan? Tentu sejauh kiprah dia berhasil mempertahankan akal sehat dalam setiap narasinya.
Ia akan terjerembab ketika akal sehat hanya dipakai sebagai terminologi politik untuk menyebut orang lain dungu. Ketika ia mengkritik dan mengatakan orang lain yang tak sejalan dengannya sebagai pihak yang tak menggunakan akal sehat.
Rocky Gerung telah menikmati panggungnya sehingga mengesankan narasi akal sehat hanya untuk menunjukkan posisi politiknya. Sementara di sisi lain, narasi akal sehat yang dipopulerkan Rocky Gerung dibalas dengan narasi orang baik. Dalam konteks pilpres, akal sehat merujuk pada pendukung Prabowo. Sedang orang baik lebih ke pendukung Jokowi.
Dosen Melbourne University Ariel Haryanto punya penjelasan yang menarik tentang dua narasi itu. "Akal sehat itu akal yang sudah mampu mengritik kekurangan diri sendiri segede gajah. Bukan sibuk bertepuk dada menuding kekurangan orang lain sekecil kuman," katanya.
Lalu bagaimana dengan narasi orang baik. "Orang baik itu biasanya rajin menghargai kebaikan orang lain tanpa pamrih. Bukan sibuk membanggakan keunggulan sendiri atau kelompoknya, dan haus pujian," tutur sosiolog kritis di jaman Orde Baru ini.
Sayang Rocky Gerung yang telah berhasil menjadikan narasi akal sehat sebagai panggung politik tak pernah mengkritik diri sendiri. Ia malah berkali-kali memberikan cap "dungu" kepada pihak lain. Ia juga kurang berhati-hati ketika menyebut sumber akal sehat itu Muhammadiyah tanpa menyebut ormas Islam lainnya.
Satire --demikian ia menyebutnya ketika menyinggung jenggot Agoes Salim-- memicu warga Sumatera Barat tempat pahlawan nasional itu berasal melapor polisi. Di sini Rocky Gerung gagal mencerminkan kecerdasan akal sehat Agoes Salim saat ia menghadapi lawan-lawan politiknya di masa awal kemerdekaan.
Sutan Sjahrir pernah bercerita. Suatu ketika, ia bersama sekelompok besar pemuda mendatangi Agoes Salim yng berpidato di salah satu pertemuan. Maksudnya untuk mengacaukan acara tersebut.
"Pada waktu itu Pak Salim telah berjanggut kambing yang terkenal itu dan setiap kalimat yang diucapkan Pak Haji disahut oleh kami dengan mengembik yang dilakukan bersama-sama. Mbeek...mbeek...mbeek," cerita Sjahrir seperti dikutip penulis Belanda Jef Last seperti terungkap dalam Buku Seratus Tahun Haji Agoes Salim.
Mendapat gangguan Sjahrir dan kawan-kawan ini, Agoes Salim mengangkat tangan dari mimbar. "Tunggu sebentar. Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya," katanya kemudian.
Hanya, lanjutnya, sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. "Jadi saya sarankan agar untuk sementara tinggalkan ruangan ini untuk sekadar makan rumput di lapangan," tambahnya.
"Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam, bagi kambing pun ada amanatnya dan saya menguasai banyak bahasa."
Sjahrir mengaku tidak mau meninggalkan ruangan. Tapi ia terima jawaban cerdas Agoes Salim itu dengan muka merah disertai gelak tawa hadirin lainnya. "Setelah itu, para pemuda masih melawannya. Tapi tidak pernah lagi kami mencemoohkannya.
Masih ada cerita saling ejek antara tokoh Syarikat Islam yng kemudian menjadi tokoh sentral PKI Musso dan Agoes Salim. Keduanya menjadi tokoh SI yang kemudian pecah menjadi SI Merah dan SI Putih. SI Merah yang kemudian menjadi PKI.
Dalam sebuah pertemuan, dari podium Muso tiba-tiba melontarkan ejekan.
"Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?"
"Kambing!" jawab hadirin.
"Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa"
"Kucing!"
Agoes Salim sadar ejekan Muso ini ditujukan kepadanya. Ia memang memelihara kumis dan jenggot. Karena itu, begitu mendapat giliran pidato, ia melontarkan balasan.
"Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?"
Hadirin berteriak riuh, "Anjing!"
Agus Salim tersenyum, puas, lalu melanjutkan pidatonya.
Cerita ini terungkap dalam buku Jejak H Agoes Salim dalam Tiga Zaman yang diterbitkan Rosda Jayaputra.
Saling ejek dalam politik rupanya sesuatu yang jamak sejak jaman dulu di Indonesia. Bedanya dulu dilakukan para tokoh dengan kematangan politiknya. Kini melibatkan massa melalui media sosial.
Melihat sejarah itu, semestinya biarkan saja Rocky Gerung dengan kesinisannya. Juga kesenangannya mengidentifisi dirinya sebagai pemilik akal sehat sementara yang lain disebutnya dungu. Biarkan dia gerung-gerung (meraung-raug) dengan narasi yng diciptakan.
Yang dibutuhkan adalah jawaban-jawaban cerdas untuk membalasnya. Jadikan dia sebagai bahan ejekan dengan narasi yang mematikan. Tidak perlu dipenjarakan.
Biarkan Rocky Gerung berteriak gerung-gerung. Balas dia dengan narasi yang membuat dia menangis gerung-gerung. Impas kan? (Arif Afandi)