Robohnya Pusat Kesenian Kami
Sudah tepatkah dalam judul itu saya menggunakan “kami”? Saya kan orang Sidoarjo (meski lahir dan besar di Surabaya)? Apa hak saya menyebut "kami" dalam urusan Balai Pemuda?
Mak Ning, Balai Pemuda sebagai pusat kesenian bukan milik orang Suroboyo saja lho, tapi juga milik orang Jawa Timur, orang Indonesia, bahkan warga dunia. Seperti halnya Taman Ismail Marzuki (TIM), bukan milik orang Jakarta saja, tapi juga sebagai pusat keseniannya Indonesia. Sudah sejak lama sekali Balai Pemuda diakui menjadi pusat kesenian!
Karena itu, ketika Balai Pemuda sebagai pusat kesenian dan kepemudaan sedikit demi sedikit dipreteli, wajar-wajarlah kalau saya bersedih Mak Ning. Keyakinan saya Mak Ning, lambat laun fungsi Balai Pemuda sebagai pusat kesenian akan lenyap karena sengaja dilenyapkan (entah kalau kelak ada Walikota Surabaya yang peduli kesenian).
Mak Ning, saya tidak akan menjelaskan siapa saja seniman Surabaya yang berproses di Balai Pemuda hingga menjadi seniman nasional dan mengharumkan nama Surabaya (kalau mekso kepingin tahu baca bukunya Amang Mawardi, Monumen Kesenian he he...). Juga saya tidak bercerita siapa saja seniman besar Indonesia yang selalu singgah di Balai Pemuda. Lokasi Balai Pemuda yang strategis, di tengah kota, sungguh sangat tepat jadi tempat jujukan dan pertunjukan.
Mak Ning, saya baru bergabung di Bengkel Muda Surabaya tahun 1986-an. Dalam kesaksian saya, antara tahun 86-an sampai awal tahun 2000-an pergelaran kesenian di area Balai Pemuda sungguh jos-jos. Ini didukung dengan ruang-ruang ekspresi. Bengkel Muda Surabaya, ketika masih berada di depan, punya ruang latihan sekaligus tempat pergelaran kesenian.
Ruang Merah Putih namanya. Ruang yang mungil dan anyep itu, yang di depan pintu masuknya sesak oleh bonsai dan manuk doronya Jhon Pai, rajin mengadakan kegiatan lho. Penyair di luar Surabaya seperti D. Zawawi Imron, Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Sony Farid Maulana di antaranya yang pernah baca puisi di ruang Merah Putih ini. Juga diskusi-diskusi teater, salah satunya dengan narsum Hare Rumemper. Di Bengkel Muda Surabaya ini pula tempat nongkrong dan diskusi seniman, pemerhati dan wartawan. Juga lahir pemikiran-pemikiran tentang kesenian yang kemudian dimuat di media massa.
Adalah Akhudiat dan Rusdi Zaki yang rajin menulis artikel di koran. Wartawan budaya Jill P. Kalaran, Djoko Su'ud Sukahar, Pocek, Rokim Dakas dan Sirikit Syah juga sak petarangan di Bengkel Muda Surabaya, yang tulisan-tulisannya menggairahkan atmosfir kesenian di Surabaya. M. Anis, wartawan yang juga penyair itu, kerap pula nulis berita-beritanya di ruang Merah Putih ini.
Di area Balai Pemuda ini juga ada sanggar Aksera yang melahirkan perupa-perupa top Surabaya.
Lalu DKS mempunyai galeri yang selain sebagai tempat pameran lukisan juga tempat pentas teater, tari dan musik. Teater Gandrik, ketika masih belum top benar, mementaskan lakonnya di galeri ini. Judulnya “Pensiun.” Juga diskusi sastra, salah satunya, yang ciamik pol, ketika Budi Darma bercerita tentang proses kreatif dan novel terbarunya, “Rafilus” (diselingi juga pembacaan nukilan "Rafilus" oleh Tengsoe Tjahjono, Setya Yuwono Sudikan, Leo Ida Adriana). Saking menariknya acara ini sampai-sampai Hazim Amir dari Malang hadir.
Di teras galeri DKS ini setiap tahun digelar pentas puisi Malsasa. Jauh sebelum itu DKS, semasih biro sastranya Sirikit Syah, punya sayembara penulisan cerpen (kebetulan saya pernah juara III, 1990, hi hi…). Lalu di gedung utama, yaitu tempat bioskop Mitra, Gandrik pentas lagi, judulnya “Dhemit.” Terus di halaman Balai Pemuda, tak terhitung seniman unjuk karyanya, salah satunya Parmin Ras. Di Balai Pemuda pula Yayasan Seni Surabaya rajin menggelar iven, seperti Pekan Seni Surabaya 700, Pekan Seni Pemuda, Parade Seni WR Soepratman dan Festival Seni Surabaya.
Apakah pernah dulu sampean ke Balai Pemuda menonton itu semua Mak Ning?
Kini yang saya sedihkan Mak Ning, adalah sekonyong-konyong berdirinya gedung DPRD yang konon bertingkat delapan yang tempatnya di masjid Assakinah itu. Dulu kami mengalah ketika gedung Lokaseni dan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) digusur untuk gedung DPRD Surabaya yang memanjang kayak kapal tanker itu. Sebelum itu Balai Budaya Mitra juga dirampas untuk pembangunan gedung bioskop Mitra. Sejak itu mulai susutlah jumlah pertunjukan-pertunjukan kesenian di Balai Pemuda.
Lha sekarang malah menjarah ke selatan, mencaplok masjid Assakinah, gedung DKS dan Bengkel Muda Surabaya. Mak Ning, jika DKS dan Bengkel Muda Surabaya hilang dari komplek Balai Pemuda, maka matilah jiwa Balai Pemuda sebagai pusat kesenian Surabaya. Juga tidak ada seniman yang mampir ke sana, berdiskusi dan berproses bersama, karena tempatnya tidak nyaman lagi. Dulu masih ada pohon-pohon rindang, tapi kini berupa balok-balok tok.
Dulu seniman se Nusantara pernah menggadang-gadang Surabaya dengan Balai Pemuda-nya menjadi pusat keseniannya Indonesia Timur, sementara Taman Ismail Marzuki jadi pusat keseniannya Indonesia Barat (kayak Armatim dan Armabar saja he he...). Biar kesenian tidak tersentral di Jakarta saja.
Mak Ning, kenapa akhirnya Walikota, perencana kota dan pimpinan DPRD Surabaya punya pikiran men-DPRD-kan komplek Balai Pemuda ya? Apa karena Balai Pemuda dilihatnya sebagai "lahan tidur" maka ditanamilah dengan jambu madu deli? Atau bisa saja ya Mak Ning mereka beranggapan 'wong di Balai Pemuda sudah tidak ada apa-apa lagi, tidak ada pertunjukan-pertunjukan adiluhung.' Atau karena Walikota, perencana kota dan pimpinan DPRD ehe... ehe... saja dengan "konsultan-konsultan keseniannya" yang tidak paham, tidak terlibat, tidak tahu sejarah dan tidak sehidup-semati dengan Balai Pemuda!!!!
Sik... sik... nyelat... ngomong "lahan tidur" jadi ingat rumah di Jalan Mawar 10-12 itu Mak Ning ya. Rumah tempat Bung Tomo siaran di jaman revolusi dulu, rumah bersejarah itu, kan juga dianggap "lahan tidur" lalu diam-diam dilenyapkan. Itu kan cagar budaya ya Mak Ning, kok bisa dibegitukan sih?
Mbalek maneh. Mereka bilang: sudah tidak ada Gandrik main di sana, tidak ada Rendra, Sutardji Caulzum Bachri, Putu Wijaya, Abdul Hadi WM, Emha Ainun Nadjib, Eka Budianta, Budi Darma, NH Dini, dll, baca sajak dan cerpen di sana. Tidak ada pentas tari lagi, tidak ada pentas teater lagi, tidak ada pameran lukisan besar lagi, tidak ada pentas musik lagi seperti dulu Harry Rusli pentas. Dan tidak ada lagi anak-anak muda bengak-bengok latihan vokal.
Atau mungkin kesenian sudah dianggap tidak penting lagi ya Mak Ning. "Jaman now masih ngomongin kesenian. Kagak ada urgensinya," mungkin begitu pikirnya. Mending mikir taman, ada penghargaannya. Mikir sampah, ada penghargaannya. Mikir polusi, ada penghargaannya. Mikir lalu lintas, ada penghargaannya. TIDAK ADA PENGHARGAAN UNTUK KEPALA DAERAH PEDULI KESENIAN. (Mak Ning mesem rek, ketok manise).
Itu sebabnya saya usul, kalau boleh usul, kalau saban tahun ada penghargaan seniman berprestasi, mbok ya sekalian Gubernur Jatim memberikan penghargaan kepada bupati/walikota peduli kesenian--koperasi saja setiap tahun ada penghargaan kepada bupati/walikota yang peduli koperasi. Yok opo Dewan Kesenian Jawa Timur usulku?
Mungkin itu sebabnya Mak Ning ya, karena dianggap "lahan tidur," lalu dari jendela kaca lantai dua gedung DPRD, pimpinan dewan dan perangkatnya menunjuk-nunjuk masjid Assakinah, gedung DKS dan Bengkel Muda Surabaya. "Di situ, di situ nanti kita bangun gedung delapan lantai. Setiap anggota disediakan ruang kerja lengkap dengan kamar mandinya," katanya. "Itu... itu... lahan di atas bunker itu bisa untuk parkir mobil kita."
Dan... robohlah Balai Pemuda sebagai pusat kesenian.
Dan Mak Ning, apa yang saya takutkan kok sepertinya bakal terjadi: Turis-turis yang masuk komplek DPRD... eh Balai Pemuda... yang hendak ke pusat informasi turis (Surabaya Tourism Information Center) disumanggakno, dihormat-hormati oleh yang jaga pintu masuk komplek. Sedang saya? Hmmm.... "sembarang orang tidak boleh masuk Cak, dikhawatirkan mobil-mobil dines dan bagus-bagus itu tergores." Camkan, komplek Balai Pemuda bukan ruang seni dan publik lagi, tapi komplek D-P-R-D! Rungokno: D-P-R-D!!
Ah Mak Ning, yang kutakutkan jaman Simpangsche Societeit akan terulang lagi. Di gerbang pintu masuk itu Mak Ning... seperti di jaman Belanda dulu... di gerbang pintu masuk itu... ojok-ojok nanti akan terpampang tulisan: "Verboden voor Inlander!" Yang terakhir ini cuma guyon Mak Ning. Guyooon.... (Leres Budi Santoso)